Film ini bercerita kisah hidup Iwan Setyawan, anak sopir angkutan umum asal Batu, Malang. Keterbatasan ekonomi tak menyurutkan niat Iwan meraih pendidikan tinggi. Ia berjuang keras untuk bersekolah hingga kuliah jurusan statistik di Institut Pertanian Bogor (IPB). Hidup di rumah kecil tanpa memiliki kamar, memotivasinya untuk memiliki kamar sendiri. Usai menuntaskan pendidikan tinggi di IPB sebagai lulusan terbaik, ia bekerja selama 3 tahun di Jakarta. Anak lelaki dari lima bersaudara ini berhasil mencapai puncak karir sebagai Director, Internal Client Management di Nielsen Consumer Research di New York. Namun, ia justru memilih kembali ke kampung halaman di Batu.
Penulis akhirnya
menonton film ini tanggal 07 Mei 2013 di XXI Pondok Indah Mall. Bersama dua
rekan Penulis yang bersama-sama sedang mengikuti pelatihan di Pertamina
Learning Center Simprug, kami menyempatkan diri menonton film ini. Sudah lama
sebenarnya Penulis ingin menonton film ini setelah membaca novel Iwan yang
berjudul “Ibuk”, atas rekomendasi teman dari Surabaya yang mengatakan cerita
novel ini hampir mirip dengan cerita hidup Penulis. Merasa penasaran, akhirnya
novel tersebut selesai penulis baca.
Sedikit banyak
memang perjalanan hidup Iwan sama dengan Penulis, lahir dan besar di keluarga
miskin dan harus berjuang keras untuk mencapai
cita-cita. Sebenarnya Ibu Penulis jauh lebih hebat, melahirkan dan membesarkan
10 orang anak. Pendidikan bapak dan ibu Penulis yang tidak lulus SD membuat
tidak ada pilihan dalam mencari kerja selain sebagai buruh tani. Namun, ditengah
keterbatasan tersebut, Penulis tidak mau patah semangat dan menyerah dalam
mengejar cita-cita. Demikian juga dengan didikan Bapak (Alm) yang agak keras,
sehingga Penulis menjadi lebih dekat dengan Ibu. Penulis juga dibesarkan bersama
dengan 4 saudara perempuan (kebetulan 5 saudara lainnya telah menikah atau merantau)
dan sulit berteman dengan anak laki-laki lainnya. Dengan perjuangan yang luar
biasa dari bapak dan ibu serta seluruh saudara Penulis, serta para donatur
akhirnya Penulis lulus sebagai lulusan terbaik dari Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran pada tahun 2010. Cerita mengenai perjuangan Penulis dalam mencapai
ini telah dituangkan dalam tulisan Surat untuk Mama.
Pada saat
menonton film ini atau membaca novel sebelumnya, Penulis sering menitikkan air
mata karena merasakan hal yang sama dengan isi novel/film tersebut. Penulis merasa
seperti ada flashback ke kehidupan lampau. Hanya saja satu hal yang Penulis
sayangkan, bapak telah dipanggil Tuhan ketika Penulis hendak menyelesaikan
pendidikan tinggi. Semua jerih payah bapak belum pernah Penulis balas hingga
akhir hidupnya. Kisah ini sedikit berbeda dengan kisah Iwan, dimana dia masih
sempat membahagiakan bapak dan ibunya. Dan satu perbedaan lagi antara kisah
Penulis dengan kisah Iwan adalah, Iwan telah menginjakkan kaki di New York dan
bahkan bekerja selama 10 tahun disana setelah bekerja 3 tahun di Jakarta. Inilah
yang masih menjadi cita-cita Penulis, tinggal atau bekerja di New York, kota
impian, untuk jangka waktu beberapa tahun. Semoga dapat dicapai. Amin..
Bahwa kemiskinan dan keterbatasan bukanlah
alasan untuk tidak mau mencapai cita-cita. Ada sebuah kalimat yang sangat luar
biasa dari Donald Trump, seorang pengusaha sukses asal Amerika, ia berkata
“Lahir miskin bukan salah anda, tapi mati miskin itu kesalahan anda”. Kalimat
ini membuat saya berkata dalam hati “saya tidak mau mati dalam keadaan miskin
meskipun saya terlahir miskin“. Semoga kisah Iwan maupun kisah Penulis dapat
menginspirasi banyak orang Indonesia.
No comments:
Post a Comment