Jakarta, 1 July 2012
Mama yang kurindukan,
Surat ini kutulis bukan untuk kukirim padamu. Karena saat surat ini kutulis,
memang aku sudah tidak pernah mengirim surat lagi untukmu. Selain dengan adanya
handphone yang memudahkan kita untuk saling melepas rindu, aku juga semakin
sibuk dan tidak ada lagi keinginan untuk menulis surat. Dulu mama pasti selalu menantikan suratku dari Bandung ketika aku masih kuliah, dan Mama pasti sangat
sangat senang ketika surat itu dibacakan. Dan sebagaimana ceritamu dulu padaku,
Papa pasti akan membaca suratku berkali-kali, seakan-akan ada kebahagiaan
dimatanya ketika membaca surat-suratku. Juga Mama dan Papa selalu menyimpan
rapi semua surat yang pernah kukirimkan. Hal itu kuketahui ketika aku pulang
sewaktu Papa meninggal tiga tahun yang lalu. Sayang Papa tidak pernah bertemu
dengan anaknya yang sangat dibanggakannya. Terakhir kali dia melihatku, ketika
mengantarku ke gang rumah kita, sebelum aku berangkat ke Medan dan terbang ke Jakarta tujuh tahun
lalu. Ntah mengapa, Papa yang biasanya paling tegar dan keras pendiriannya
dalam keluarga kita, seakan-akan tahu bahwa itu adalah pertemuan terakhirnya
denganku, dia meneteskan air mata saat dia memelukku erat. Tidak pernah Papa memeluk anaknya. Dia memang sedikit dingin. Tapi dia adalah Papa terbaik di dunia. Dia kemudian membelakangiku
dan mengusap air matanya, seolah-olah tidak mampu melihat kepergianku. Saat itu aku tidak tahu apa makna semua itu.
Mama yang kurindukan,
Aku lihat beberapa keluarga besar kita ikut mengantar kepergianku, juga ada sejumlah
tetangga. Bahkan beberapa diantara mereka menitipkan sejumlah uang, katanya
untuk jajan di perjalanan. Tak terungkapkan betapa haru biru perasaanku saat
itu. Aku akan kuliah di Bandung!!! Seakan-akan masih dalam mimpi dan semuanya
begitu cepat. Aku menerima pesan singkat dari teman di Medan pada malam hari:
“Kamu lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru.”
Keesokan harinya aku berangkat ke kota, membeli koran dan menemukan namaku disana. Tak sabar menanti kepulanganmu dari sawah ladang kita, dan ketika kulihat engkau kelelahan pulang bekerja, aku langsung berkata: “Ma, aku lulus!” Dan kulihat wajah polosmu berkata: “ Apa artinya itu?” Akupun menjawab lemah: “Aku bisa kuliah di Bandung, Ma.” Dan Mama hanya menunduk lesu, seribu satu pikiran mungkin berkecamuk di benakmu. Matamu berkaca-kaca dan hanya mampu berkata: “Kita orang miskin nak, kita tidak ada uang untuk kamu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.” Kurengkuh badanmu yang kurus dan sudah mulai renta: “Ma, yang penting aku bisa membuktikan kalau aku bisa lulus dan berhak kuliah. Sekalipun aku tidak akan kuliah, itu tidak akan menjadi masalah besar bagiku.” Begitulah perbincangan itu berlangsung di malam itu.
Keesokan harinya aku berangkat ke kota, membeli koran dan menemukan namaku disana. Tak sabar menanti kepulanganmu dari sawah ladang kita, dan ketika kulihat engkau kelelahan pulang bekerja, aku langsung berkata: “Ma, aku lulus!” Dan kulihat wajah polosmu berkata: “ Apa artinya itu?” Akupun menjawab lemah: “Aku bisa kuliah di Bandung, Ma.” Dan Mama hanya menunduk lesu, seribu satu pikiran mungkin berkecamuk di benakmu. Matamu berkaca-kaca dan hanya mampu berkata: “Kita orang miskin nak, kita tidak ada uang untuk kamu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.” Kurengkuh badanmu yang kurus dan sudah mulai renta: “Ma, yang penting aku bisa membuktikan kalau aku bisa lulus dan berhak kuliah. Sekalipun aku tidak akan kuliah, itu tidak akan menjadi masalah besar bagiku.” Begitulah perbincangan itu berlangsung di malam itu.
Mama yang kurindukan,
Di luar perkiraan kita, sahabat baikku menanyakan apakah aku lulus dan
kujawab iya. Dia juga berkata akan membantu berbicara dengan mama dan papanya untuk menolongku menggapai cita-cita.
Ingatkah kau Ma, pagi-pagi sekali kita melewati semak-semak, rumput ilalang dan
kebun orang demi bertemu dengan papa sahabatku itu. Embun pagi hari juga belum
kering dari dedaunan, tetapi semangatmu sungguh luar biasa. Bahkan itu kita
lakukan hanya karena kita tidak ada uang untuk ongkos angkutan umum yang hanya
dua lembar ribuan pada waktu itu. Setelah bertemu dengan papanya, kita
kebingungan ketika dia menanyakan, “rencana kalian selanjutnya apa?”. Kita juga
disuruh ke rumah salah satu temannya dan membicarakan hal ini. Ingatkah kau semua itu Ma? Kemudian kita
kembali ke rumah kita, menyusuri semak, ilalang dan kebun dengan rute yang sama tanpa tahu apa rencana mereka.
Beberapa hari kemudian, pada hari Minggu, tepat jam 10 malam, ada mobil dan motor menuju rumah kita. Seakan tidak percaya ada tamu penting karena memang keluarga kita tidak ada yang punya motor apalagi mobil, kita semua mengintip dari jendela rumah. Ya, mobil dan motor itu parkir di depan rumah kita, dan kita buru-buru membuka pintu. Dan aku seperti disambar petir, papa dan mama serta sahabatku itu masuk ke rumah dan berkata bahwa besok aku akan terbang ke Jakarta jam 11 siang. Seakan tidak percaya, tapi ini kenyataan. Tiket pesawat dan sejumlah uang sudah ada ditanganku, juga beberapa helai pakaian, dan itu tidak perlu kita bayar. Setelah mereka pulang, kita masih kebingungan. Aku buru-buru memasukkan baju-baju yang menurutku terbaik dan barang-barang perlengkapan yang kuanggap penting. Nasehatmu pada waktu itu agar kuliah dengan sebaik-baiknya di Bandung, serasa tak dapat kucerna lagi. Hatiku dipenuhi kegembiraan yang meluap-luap. Benarkah besok aku akan terbang?? Naik pesawat??
Beberapa hari kemudian, pada hari Minggu, tepat jam 10 malam, ada mobil dan motor menuju rumah kita. Seakan tidak percaya ada tamu penting karena memang keluarga kita tidak ada yang punya motor apalagi mobil, kita semua mengintip dari jendela rumah. Ya, mobil dan motor itu parkir di depan rumah kita, dan kita buru-buru membuka pintu. Dan aku seperti disambar petir, papa dan mama serta sahabatku itu masuk ke rumah dan berkata bahwa besok aku akan terbang ke Jakarta jam 11 siang. Seakan tidak percaya, tapi ini kenyataan. Tiket pesawat dan sejumlah uang sudah ada ditanganku, juga beberapa helai pakaian, dan itu tidak perlu kita bayar. Setelah mereka pulang, kita masih kebingungan. Aku buru-buru memasukkan baju-baju yang menurutku terbaik dan barang-barang perlengkapan yang kuanggap penting. Nasehatmu pada waktu itu agar kuliah dengan sebaik-baiknya di Bandung, serasa tak dapat kucerna lagi. Hatiku dipenuhi kegembiraan yang meluap-luap. Benarkah besok aku akan terbang?? Naik pesawat??
Mama yang kurindukan,
Pagi-pagi sekali kita semua bangun. Kau pilih ayam terbaik peliharaan
kita dan kau masak dengan sangat baik. Makanan hari ini memang sangat berbeda
dengan hari-hari biasa. Tak tampak oleh mataku sayur dan lauk pauk yang biasa
kita makan. Seekor ayam dengan kenikmatan tertinggi telah tersaji. Papa dan
Mama menyerahkan makanan itu diiringi doa agar aku kelak berhasil di rantau dan aku
menerima secara simbolis. Setelah didoakan, kita makan dengan tergesa-gesa.
Bahkan kau bungkuskan ayam dan nasi sebagai bekal dalam perjalananku yang
kuketahui kemudian ketika aku telah tiba di Bandung.
Mama yang kurindukan,
Ketika mobil yang akan membawaku ke Medan telah menjemputku dari depan
gang rumah kita, yang kulihat hanya derai air matamu. Seakan-akan kita tidak
akan bertemu lagi. Pelukanmu terasa lain dan kau tidak pernah berhenti
melambaikan tangan sampai aku tak bisa menolah lagi ke belakang. Perjalananku
ke Medan kurang berjalan dengan baik. Jalur yang seharusnya ditempuh ternyata
longsor beberapa jam yang lalu, sehingga harus memilih jalur lain yang lebih
jauh. Karena panik dan takut akan terlambat dan ketinggalan pesawat, sesampainya di Medan aku naik
taksi yang bayarannya lebih mahal dari biasanya. Mama, ini pertama kali aku
naik taksi dan masuk bandara. Tak banyak yang kutahu tentang bandara. Semua
serasa membingungkan. Apalagi ketika petugas mengatakan tiketku tidak valid dan
butuh beberapa jam untuk mengechecknya. Akhirnya kuputuskan membeli tiket baru
yang harganya lebih mahal dan berangkat beberapa jam kemudian karena besok adalah pendaftaran terakhir di kampus.
Mama yang kurindukan,
Akhirnya aku naik pesawat juga. Aku adalah orang pertama dari keluarga
besar kita yang naik pesawat. Aku sangat kagum saat burung besi itu melaju.
Mataku tak pernah lepas melihat ke bawah. Awalnya rumah-rumah dan jalan masih
terlihat jelas, sampai yang terlihat hanya hutan yang luas dan setelah itu hanya
awan putih. Aku tidak tertidur dalam perjalanan itu, Ma. Kurasakan dadaku
disesaki dengan rasa kebanggaan, naik pesawat Ma. Bukankah waktu aku masih
kecil, aku selalu berteriak ketika jauh di atas udara ada pesawat melintas. Dan
kini, aku naik pesawat, Ma! Dua jam serasa dua puluh menit saja, Ma. Sang pilot
memberi tahu bahwa pesawat akan mendarat di Bandara Sukarno Hatta. Aku pun
tersentak! Aku sampai di Jakarta, Ma! Yang kulihat hanya ratusan bahkan ribuan
kerlip lampu. Sungguh indah, Ma. Ketika pesawat benar-benar mendarat dan
penumpang diperbolehkan turun, aku kebingungan, Ma. Sungguh mati aku bingung
hendak berjalan kemana dan bagaimana dengan tasku yang kutitipkan sebelum
terbang. Aku juga malu bertanya. Pasti mereka akan berpikir, “dasar udik,
kampungan.” Aku pun mengikuti kemana manusia-manusia itu bergerak. Dan benar,
dimana mereka menunggu, disana ada ratusan tas sedang bergerak! Aku hanya tersenyum
saja Ma, mengingat itu semua.
Mama yang kurindukan,
Perjalananku ke Bandung juga tidak mudah, setelah kami naik bis ke
Kampung Rambutan ditengah macetnya Jakarta, ternyata bis terakhir ke Bandung
sudah berangkat. Kami pun melanjutkan ke Lebak Bulus, dan disana ada bis yang
ke Bandung. Tapi bis ekonomi akan berangkat ketika penumpang sudah lumayan
penuh. Tahukah Mama, macetnya Jakarta, kelelahan dan rasa laparku serasa hilang
digantikan dengan pemandangan ibu kota yang sungguh mempesona. Ada ratusan
gedung-gedung yang sangat tinggi disini, Ma. Jalan-jalan yang lebar,
lampu-lampu jalan yang tak terhitung jumlahnya. Mataku seolah tidak bisa
berkedip. Dan bis yang kami tumpangi, ada TV-nya, Ma. Bagiku itu sungguh ajaib!
Tapi aku tidak bertahan lama, akhirnya aku tertidur juga, kelelahan. Perjalanan dengan bis
ekonomi ini sungguh menyiksa, Ma. Panasnya sungguh luar biasa, dan hampir
setiap waktu berhenti mencari penumpang. Yang kuingat hanya satu, ketika aku
terbangun, kami masih di Jakarta. Bayangkan Ma, dari Jakarta ke Bandung, kami
tempuh selama delapan jam. Jam empat pagi kami tiba di Bandung, lelah sungguh
luar biasa.
Mama yang kurindukan,
Empat tahun satu bulan kuselesaikan kuliahku. Dan gelar sarjana hukum
berhak kusandang bahkan mendapat penghargaan khusus dari pimpinan fakultas.
Dengan susah payah kita kumpulkan rupiah demi rupiah agar Mama dapat melihat
aku diwisuda. Dan engkau datang dengan kesahajaanmu. Wajahmu yang sudah keriput
dan lelah perjalanan dari Jakarta yang dihadang macet dan lapar yang menghajar, tidak menghalangimu
mengukir senyum ketika melihatku. Ingatkah Mama dengan ikan teri sambal yang
sengaja kau bawa agar kita bisa berhemat selama di Bandung. Dengan beras yang
sengaja kau bawa agar kita bisa memasak nasi selama di Bandung? Dengan buah
tanganmu yang sangat khas itu, dimana hal itu tidak akan pernah dibawa oleh
orang tua yang melihat anaknya akan diwisuda. Akh, meskipun demikian, Mama
dapat melihat wajah sukacita teman-temanku menikmati buah tanganmu itu. Ingatkah
kau Ma, ketika kita berjalan kaki mengitari Bandung karena kita benar-benar
tidak ada ongkos, ketika teman-temanku bersama orang tuanya sedang asyik
berbelanja, berkeliling melihat objek wisata dan menikmati makanan khas di kota Bandung. Sementara kita
beristirahat di alun-alun ketika lelah berjalan ditemani sebungkus roti seharga
empat ribuan dan sebotol Aqua 1,5 liter untuk kita bertiga, dan kau mengatakan sungguh
menikmati selama berada di Bandung. Dan ketika Mama pulang, sekalipun tidak ada oleh-oleh yang kau bawa dari Bandung, engkau membawa sebuah cerita dengan penuh kebanggaan: anakku sudah sarjana. Dan mama juga bercerita kepada
orang-orang ditempat Mama bekerja sebagai buruh tani betapa nikmatnya naik
pesawat. Mama, hampir lupa aku kalau kita dulu sekeluarga adalah buruh tani,
digaji lima belas ribu untuk bekerja sehari, dari fajar menyingsing sampai
matahari terbenam, dihajar teriknya mentari dan dinginnya air hujan. Tapi kita tidak pernah mengeluh, Ma.
Mama yang kurindukan,
Lulus sarjana tidaklah membuat hidup langsung menyenangkan. Lima bulan
aku menganggur, terlunta-lunta, bahkan tabunganku dari sisa uang beasiswa hanya cukup
untuk tiga bulan, sebagian sudah habis untuk melamar kesana-kemari. Aku terutang sama
seorang temanku, Ma. Dia membiayai hidupku selama hampir dua bulan. Dan sampai
saat kini, aku belum bisa membalas kebaikannya. Ketika aku diterima bekerja,
itu juga tidak dengan mudah kulalui. Kantorku di Utara sementara kosku bersama
temanku itu ada di Selatan, Ma. Tiap hari aku bangun jam kurang dari jam 5
pagi, mandi dan berangkat dengan naik metro mini menuju Blok M. Kemudian
menunggu busway menuju Dukuh Atas yang kadang-kadang lambat sekali
berangkatnya. Di halte Dukuh Atas, aku akan transit ke halte Pramuka BPKP.
Disana juga adalah siksaan dalam hal menunggu busway. Busway jurusan Tanjung
Priok itu sangat lama datangnya, dan biasanya penuh sesak penumpang. Kemudian
aku harus berjalan sekitar lima ratus meter lagi atau bisa naik ojek sepeda. Dari
Blok M sampai ke Sunter Kelapa Gading, biasanya aku berdiri di dalam busway, Ma.
Sangat sulit untuk mendapatkan tempat duduk, demikian juga pulangnya nanti.
Untuk berangkat, aku biasanya menghabiskan waktu hampir dua jam, sedangkan
kalau pulang ke kosan, hampir empat jam. Kemacetan yang sangat parah telah membuat
jarak Sunter ke Fatmawati seperti dari Medan ke kota kita, Ma. Tiga bulan di
perusahaan tersebut, aku diterima di salah satu badan usaha milik negara
(BUMN). Ingatkah Mama yang sempat protes ketika gajiku 1 tahun ke depan akan
turun drastis kalau aku pindah ke BUMN itu?
Mama yang kurindukan,
Hampir 1 tahun aku telah menjalani pendidikan untuk menjadi pekerja di
sini. Dan dalam 23 hari lagi kita akan bertemu. Ketika aku memberitahukan hal
ini, kurasakan nada suaramu gembira tak terperi ketika aku menelponmu. Aku tahu
Mama pasti sangat merindukanku, demikian juga aku. Dua tahun kita tidak
bertemu. Aku ingat dulu ketika aku pulang sewaktu Papa meninggal, Mama tahan
berjam-jam berbicara denganku sampai tengah malam. Usiamu yang sudah lanjut
serasa muda kembali ketika melihat anakmu pulang ke rumah dan ada banyak hal
yang ingin Mama tanyakan dan ceritakan. Tahukah Mama, sekitar empat bulan pertama masa
pendidikan, aku dan teman-teman diinapkan di asrama setara hotel bintang tiga. Semuanya tersedia
Ma, makanan yang enak-enak dan bergizi, minuman yang baik untuk kesehatan.
Bahkan aku bisa makan ayam dan ikan setiap hari Ma, tidak seperti di rumah
kita, yang mana itu hanya tersedia kalau ada acara istimewa saja. Bahkan aku
lupa kapan terakhir kali minum susu di rumah kita, seingatku sekali setahun hanya pada malam Tahun Baru. Disini ada pelayan yang
membersihkan kamar, mencuci pakaian, dan tersedia juga kolam renang dan
fasilitas olah raga lainnya. Beginilah rasanya tinggal di hotel, Ma. Aku bisa
menonton TV, tidak seperti TV kita di rumah yang sudah tidak pernah menyala
karena telah rusak bertahun-tahun. Kamar mandinya bersih, tidak seperti kita
yang harus turun ke jurang hanya untuk mandi dan mengambil air untuk
dijerang dari sumur yang kurang bersih. Bahkan sumur kita itu pernah ditimbun oleh seseorang penuh dengan tanah hingga kita menggali lagi. Suatu
hari Mama harus merasakan nikmatnya tinggal di hotel, suatu hari nanti.
Mama yang kurindukan,
Demikianlah surat yang tidak
akan kukirimkan ini kutulis. Hal ini kulakukan hanya untuk mengenang masa-masa
indah kita, yaitu masa-masa tersulit yang pernah kita hadapi. Aku tidak sabar
untuk melihat wajahmu yang selalu dipenuhi senyum sekalipun ada banyak
permasalahan hidup menghadang. Mama selalu merasa tidak mampu mewujudkan
keinginanku, tapi Mama juga tidak pernah menghalangiku untuk mencapai mimpi dan
cita-citaku. Terima kasih Mama..
Dari Putramu,
Jonathan
4 comments:
domaaaaan eh jonathaaaaannn your letter make me cry...
i believe your mom must be very proud of you...
i also proud of you john...
Pradana? Did you really cry? I'm wondering to see you cry.. Hehehe
Benar2 terharu dan sangat inspiratif perjuangan anda bang.... semoga sukses selalu
Doman.. I am all in bloody tears!! I am pretty sure your mom (and dad) must be proud of you, and so do i!!
I remember the first time we met, and pardon me if I was like an arrogant girl and by the time went by, I know you're different with many people. You (secretly) inspired me!!
Post a Comment