KPK Mengambil Alih Kasus BLBI?
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., L.LM.
Rabu, 5 Maret 2008
www.kompas.com
Penangkapan UTG, Kepala Tim Jaksa Pemeriksa Kasus BLBI, oleh KPK berikut barang bukti uang 660.000 dollar AS mengundang kecurigaan.
Di media, melalui Jampidsus, Kejagung membantah keterkaitan itu meski KPK belum selesai menyelidiki UTG dan AS. Pernyataan Kejagung itu sebenarnya prematur dan tidak etis ketika KPK sedang melakukan penyidikan. Sebenarnya yang tepat membuat pernyataan itu adalah KPK. Kepanikan Kejagung dapat dipahami karena perbuatan UTG mencoreng lembaga Kejagung dalam pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda unggulan kabinet SBY.
Masalahnya kini, bagaimana jika dalam suatu proses penegakan hukum terjadi tindak pidana korupsi? Jika kemudian ditemukan keterkaitan antara uang Rp 6 miliar lebih dan penghentian penyelidikan kasus BLBI, pertanyaannya, apakah KPK dapat melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus BLBI?
Ada pendapat, KPK tidak dapat mengambil alih ”penanganan” kasus BLBI sesuai asas non-retroaktif. Selain itu, bagi KPK hanya berlaku UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 dan tidak dapat menggunakan UU No 3/1971. Penyebabnya, kasus BLBI terjadi tahun 1998 dan UU No 31/1999 belum diundangkan.
Wewenang KPK
Pendapat hukum itu patut dicermati dengan pendekatan hukum pidana.
Pertama, wewenang KPK untuk mengambil alih telah diatur dalam UU KPK No 30/2002. Penegasan KPK dapat mengambil alih (Pasal 8 Ayat 2) dalam rangka supervisi (Pasal 6 huruf b), baik penyidikan maupun penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam kasus UTG, KPK dapat mengambil alih jika penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi (Pasal 9 huruf d). Ketiga pasal itu mengisyaratkan, KPK dapat mengambil alih kasus BLBI.
Kedua, terkait masalah retroaktif secara normatif bunyi ketentuan Pasal 1 Ayat 1 Kitab UU Hukum Pidana sebagai asas hukum pidana, ditujukan terhadap perbuatan (sic!) untuk melindungi seseorang dari perlakuan sewenang-wenang penegak hukum dengan menggunakan UU yang berlaku setelah perbuatan itu dilakukan, di mana yang bersangkutan tidak mengetahui sebelumnya. Asas hukum non-retroaktif menegaskan, hanya terhadap perbuatan yang telah dikriminalisasi dalam suatu UU sebagai tindak pidana seseorang dapat dituntut dan dihukum.
Ketiga, tindak pidana korupsi telah dikriminalisasi sejak UU No 3/1971 berlaku sehingga perbuatan suap (aktif dan pasif) telah menjadi tindak pidana dan dapat dipidana sebelum UU tahun 1999 berlaku. Atas dasar inilah jika kasus BLBI terbukti merupakan tindak pidana korupsi dan terkait kasus UTG, KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutannya sesuai Pasal 68 UU KPK. Pasal itu menegaskan, semua penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai dapat diambil alih KPK berdasar alasan Pasal 9 huruf d UU KPK.
Keempat, meski ketiga analisis hukum itu sudah jelas, masih tersisa pertanyaan, bagaimana dengan Pasal 62 UU KPK bahwa pemeriksaan di sidang Pengadilan Tipikor dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001? Ketentuan itu bukan rintangan bagi KPK untuk mengambil alih pemeriksaan kasus BLBI karena UU No 3/1971 telah dicabut, berlakunya UU No 31/1999 yang kemudian diubah dengan UU No 20/2001. UU No 31/1999 merupakan UU yang mencabut berlakunya UU No 3/1971. Sesuai asas hukum pidana, secara yuridis-logis, UU No 31/1999 harus menegasikan (mencabut) berlakunya UU No 3/1971 karena kedua UU itu mengatur hal yang sama (Remellink: 2003). Terhitung sejak pemberlakuan UU No 31/1999, tidak ada lagi justifikasi yuridis untuk menegaskan UU No 3/1971 masih berlaku dan KPK tidak berwenang mengambil alih penyidikan serta penuntutan dan Pengadilan Tipikor tak berwenang memeriksa perkara tindak pidana korupsi berdasar UU No 3/1971. Namun, belum selesai dilaksanakan karena alasan-alasan tertentu. KPK dapat mengambil alih dan melanjutkan penyidikan serta penuntutan berdasar UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001.
Berdasarkan analisis hukum itu, KPK dapat menyelidiki, menyidik, dan menuntut atas kasus BLBI jika ditemukan unsur korupsi dalam penyelesaian kasus BLBI. Pengadilan Tipikor juga tetap berwenang memeriksa dan mengadilinya.
Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Pidana Internasional
Universitas Padjadjaran, Bandung