Jumat, 29 September
2012, sepertinya tidak biasa bagiku. Hari ini aku banyak kesel namun banyak
tertawa. Seraya menyukseskan satu program di kantor yaitu meningkatkan
kepedulian terhadap pengelolaan dokumen yang baik dan benar, aku banyak
bercanda dan tertawa dengan rekan-rekan kerja bahkan dengan level manager
sekalipun. Di sisi lain, kekesalan juga menumpuk. Kekesalanku memuncak ketika
mendapat Blackberry Messanger (BBM) dari temanku dalam perjalananku menuju
Benhil dari Gambir. Temanku ini meminta bantuan melalui BBM di pagi hari untuk
membantu proses pindahan kos-nya di Benhil pada jam 5an sore nanti. Dengan
sedikit malas aku mengiyakan karena mengingat hari ini adalah Jumat maka lalu
lintas pasti akan sangat padat di daerah Thamrin-Sudirman. Aku tidak menumpang
busway, aku menumpang bis dan harus membayar ekstra untuk itu. Setelah kemacetan
panjang di Thamrin, akhirnya bis melewati Bundaran HI. Namun, kuterima BBM dari
temanku tersebut yang isinya membatalkan bantuan yang diminta dan ditunda untuk
keesokan harinya. Dengan sedikit kesal aku harus memutar balik perjalanan dan
berjibaku di busway dengan para penumpang yang penuh sesak. Setibanya di
Gambir, aku langsung mencari tempat makan langganan dan ternyata tutup.
Akhirnya tidak ada pilihan lain, membeli nasi padang yang aku kurang suka.
Sesampai di kosku
yang panas, kuterima sms dari teman yang mengajakku ke Taman Ismail Marzuki
(TIM). Ada peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur. Karena aku sendiri memang
tidak ada kegiatan lain, aku pun setuju ikut. Makan, mandi, begitu mau naik
taxi, uang di dompet kurang dari sepuluh ribu. Akhirnya ke ATM di Stasiun
Gambir. Kucegat taksi dan kuarahkan ke TIM. Setelah tiba disana langsung
bergabung dengan teman lamaku, sejak masih sekolah dasar. Acaranya sendiri
menurutku kurang menarik, ntahlah, sejak aku di Bandung: seni, theater, puisi,
dll kurang menarik perhatianku. Aku hanya menyukai bernyanyi dan bergabung di
kelompok paduan suara. Sosialisme dan pluralisme hanya kata mati dan tak
berarti bagiku. Gejolak kekerasan atas nama agama muncul dimana-mana dan
terbanyak terjadi di Jawa Barat. Kisruh GKI Yasmin Bogor, penyerangan jemaat
HKBP Ciketing, penyegelan gereja-gereja di Bekasi, penyerangan jemaat Ahmadiyah
di Kuningan, dan masih banyak lagi. Aku bahkan lupa kalau dasar Negara ini
adalah Pancasila, semacam terpatri di hatiku, ini adalah masalah mayoritas
menindas minoritas. Perasaan ini terus berlanjut bahkan sampai aku mendapat
kerja di sebuah BUMN di Jakarta.
Setelah dipaksa
mengikuti ESQ Training selama dua hari yang sangat bernuansa Islami dan kami
yang non-muslim tidak bisa menolak mengikuti kegiatan ini, mataku sudah kabur
membaca kata pluralisme itu, telingaku mulai membenci mendengar kata bhineka
tunggal ika. Aku merasa ditindas. Perasaan ini terus berlanjut ketika kami
mengikuti program kewiraan. Yang non-muslim diwajibkan menunggu peserta muslim
yang sholat berjemaah sementara peserta non-muslim khususnya Kristen sulit
untuk melakukan jadwal saat teduh. Saya protes! Kelonggaran demi kelonggaran
pun akhirnya diberikan.
Namun di saat-saat
seperti itu, saya juga mulai merasakan bahwa sistem yang membuat kondisi
seperti ini. Di sisi lain, saya melihat ada beberapa kelompok baik kecil maupun
besar yang moderat yang juga rela membantu memperjuangkan hak-hak minoritas.
Sebut saja diantaranya kelompok Jaringan Islam Liberal yang dipimpin Ulil Absar
Abdalla, The Wahid Institute yang diinspirasi oleh pemikiran Gus Dur dan
dipimpin oleh putrinya, Yenny Wahid, LBH Jakarta dan ELSAM. Dan setelah
mengenal lebih jauh rekan-rekan calon pekerja yang kebanyakan muslim moderat
yang berasal dari Jawa, pemikiran saya pun mulai berubah. Paradigma saya
sebelumnya yang sempat anti pluralisme terbangun kembali. Dan hari ini, 29
September 2012, sejumlah orang berkumpul di Taman Ismail Marzuki, Cikini, untuk
memperingati 1000 hari wafatnya Gus Dur. Apa sih istimewanya seorang Gus Dur?
Menurut sebagian
orang, Gus Dur adalah Bapak Pluralisme! Masa pemerintahan Gus Dur sebagai
Presiden yang sangat singkat namun membekas di hati para penganut Kong Hu Cu,
jemaat Ahmadiyah dibela, umat Kristen dilindungi dan masih banyak lagi. Gus Dur
menentang kaum mayoritas yang ekstrim dan membela orang-orang yang
terpinggirkan. Gus Dur banyak mengubah nilai-nilai diantaranya setuju wanita
jadi pemimpin, tidak mengharamkan mengucapkan dan menghadiri Natal, berbicara
sebenarnya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Gus Dur juga adalah
pecinta seni. Beliau dipilih sebagai anggota dewan penasihat Dewan Kesenian
Jakarta karena kepeduliannya terhadap seni. Gus Dur sendiri lebih dikagumi
setelah meninggal. Banyak orang Indonesia yang merasa kehilangan seorang Bapak
Bangsa yang berani melawan penindasan dan diskriminasi. Gus Dur adalah tokoh
yang banyak menginspirasi orang. Itulah sebabnya, peringatan 1000 hari wafatnya
Gus Dur yang dipusatkan di TIM Cikini banyak mengulas mengenai sosok Gus Dur
dimata sahabat-sahabatnya dan dimata orang-orang yang pernah dibelanya. Acara
dimeriahkan oleh Glenn Fredly, stand up comedy, berbagai macam pertunjukan
kesenian dan talkshow. Temanku sendiri, yang seorang sangat tidak peduli
terhadap apapun, saya lihat menangis terharu ketika mengikuti acara ini.
Hehehe.. lumayan lah buat mengisi malam minggu seorang yang jomblo seperti saya
meskipun harus dibayar dengan tertinggalnya kartu ATM saya di Stasiun Gambir.
No comments:
Post a Comment