Saturday, November 15, 2008

Langkah Pemberantasan Preman, Sudah Tepatkah?

By: Kardoman Tumangger

Baru-baru ini, setelah Bambang Hendarso Danuri menjabat sebagai Kapolri baru, maka salah satu programnya yang menarik perhatian kita adalah instruksi pemberantasan preman selama tiga bulan ke depan. Ada lima Polda yang sudah diperintahkan sebelumnya yaitu Polda Sumatera Utara, Polda Metro Jaya, Polda Jawa Tengah, Polda DI Yogyakarta, dan Polda Jatim. Namun, sejak Jumat (07/11/2008) Kapolri memerintahkan kepada seluruh Polda untuk memberantas premanisme di Indonesia. Menurut Bambang, operasi preman ini akan terus dilakukan sampai rakyat merasa aman dan akan dievaluasi setiap tiga bulan. Menurutnya, operasi ini memang ditujukan untuk kenyamanan dan penegakan hukum yang akan dilakukan oleh seluruh aparat kepolisian mulai dari Polsek sampai Mabes.


Pada rezim Orde Baru, pada umumnya kita melihat negara dalam keadaan aman dan kondusif sehingga preman ataupun preman yang terorganisir yang pada umumnya melakukan kejahatan jalanan (street crime) seperti pencurian dengan ancaman kekerasan (Pasal 365 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pemerkosaan/rape (Pasal 286 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), merusakkan barang (Pasal 306 KUHP) seakan-akan tidak terlihat. Pemberantasan terhadap kejahatan kerah biru (blue collar crime) memang sangat gencar. Akan tetapi setelah reformasi digulirkan oleh mahasiswa dan aktifis pada Mei 1998 yang berbuntut pada turunnya rezim Orde Baru (Presiden Soeharto), maka perhatian dan corak pikir masyarakat berubah. Kejahatan kerah putih (white collar crime) yaitu KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) menjadi fokus utama aparat penegak hukum. Selang beberapa tahun kemudian, mafia peradilan, illegal logging, money laundring, dan trans national organized crimes (misalnya terorisme, perdagangan anak dan perempuan, dan narkoba) sampai kejahatan di dunia maya (cybercrimei) menjadi fokus utama para penegak hukum di negeri ini. Apakah street crimes sudah dilupakan oleh penegak hukum khususnya Kepolisian?

Hal ini ternyata dijawab dengan kata tidak! Pada saat Sutanto menjabat sebagai Kapolri, kejahatan perjudian yang sangat hebat melilit bangsa ini terutama mereka dari golongan ekonomi kurang mampu (lower class), ternyata telah berhasil atau setidak-tidaknya menunjukkan hasil positif. Setelah Sutanto pensiun dan diteruskan oleh Bambang Hendarso, yang ternyata memberi fokus terhadap pemberantasan preman yang sangat meresahkan masyarakat. Memang operasi ini tidak berlebihan kelihatannya. Tapi, apakah operasi ini sudah tepat?

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan muncul dalam dua bentuk pernyataan yang menyatakan hal ini sudah tepat sedangkan di lain pihak mengatakan kurang tepat. Pendapat pertama, yang menyatakan tepat, karena mereka menganggap premanisme patologi (penyakit) sosial jadi harus diberantas. Sedangkan pendapat kedua menyatakan operasi premanisme masih kurang tepat. Pandangan ini terutama lahir dari pengaruh Hak Asasi Manusia, Kriminiologis, dan Sosiologis.

Penangkapan preman sering melanggar Hak Asasi Mereka, meskipun mereka sebenarnya melanggar Hak Asasi Manusia masyarakat itu sendiri. Apabila mereka telah masuk dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), maka HAM mereka rentan untuk disalahgunakan. Misalnya mereka diperiksa tanpa adanya alat bukti, atau dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), untuk memperoleh keterangan dilakukan penyiksaan, atau ditangkap dengan sewenang-wenang yang merupakan pelanggaran HAM karena merampas kemerdekaan orang lain.

Lain halnya dari aspek Kriminologi. Kriminologi menurut Bonger sebagai ilmu yang mempelajari kejahatan dalam arti seluas-luasnya, termasuk mempelajari penyakit sosial (pelacuran, kemiskinan, gelandangan, alkholisme). Dalam kajian kriminologi, menurut Sutherland, harus dilihat mulai dari proses pembentukan hukum, proses pelanggaran hukum, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum. Premanisme dalam Kriminologi dapat dikaji melalui dua teori dalam Kriminologi, yaitu Strain Theory dan Control Theory. Menurut Strain Theory, kejahatan (dalam hal ini premanisme) merupakan bentuk pelanggaran terhadap kesepakatan atas nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat dan merupakan fenomena sosial. Kejahatan itu menurut Durkheim (Anomie Theory) merupakan hal yang normal dan bagian yang tidak terpisahkan dalam masyarakat dan tidaklah mungkin menemukan masyarakat tanpa adanya kejahatan. Justru masyarakat tanpa kejahatan mencerminkan over controlled seperti yang terjadi dalam pada Orde Baru. Demikian juga menurut Robert K. Merton yang mengembangkan Strain Theory ini dengan baiknya, mengemukakan bahwa kejahatan muncul karena adanya tekanan dari masyarakat. Demikian juga pendapat Sutherland (Differential Association Theory) yang menganalisis masalah pengangguran, pada umunya premanisme itu merupakan hasil dari pembelajaran (tingkah laku preman itu dipelajari). Dari pendapat para pakar Kriminologi tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya premanisme itu tumbuh di masyarakat sebagai bagian dari masyarakat, timbul terutama karena tekanan dari masyarakat (untuk hidup lebih layak), dan pada umumnya tumbuh dan berkembang melalui proses pembelajaran. Sedangkan Control Theory membantu kita untuk menjawab pertanyaan mengapa di dalam masyarakat preman tumbuh dan berkembang. Reckless (Containtment Theory) berpendapat bahwa ada dorongan dan tarikan yang menarik sesorang melakukan kejahatan. Sehingga baik kontrol individu (kontrol internal) dan kontrol sosial (kontrol eksternal) dapat menjaga atau mengawasi agar seseorang berada dalam jalur yang seharusnya. Sehingga untuk mencegah premanisme di Indonesia, diperlukan adanya lembaga kontrol tersebut.

Aspek Sosiologis yang menekankan pada interaksi sosial antar individu dengan individu ataupun individu dengan kelompok juga sangat besar kontibusinya terhadap berkembangnya preman di Indonesia. Kebutuhan hidup yang tinggi dengan tingkat pengangguran tinggi dan kesempatan kerja hampir tidak ada sangat membantu tumbuh dan maraknya premanisme.

Oleh karena itu perlu dipelajari mengapa seseorang menjadi preman. Jadi asal main tangkap saja. Satu hal lain yang sangat perlu diperhatikan adalah dari sisi Hukum Penitensier, yaitu ilmu hukum pidana positif yang mempelajari mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan (maatregel). Preman pada umumnya tidak disidangkan melalui pengadilan, kecuali perbuatan preman tersebut telah menimbulkan tindak pidana. Preman yang disidangkan misalnya akan diputus pidana penjara, pidana kurungan, ataupun pidana denda. Tapi pada kebanyakan kasus, preman yang tidak melakukan tindak pidana yang diancamkan dalam KUHP atau UU sejenis, hanya diberi pengarahan dan pembinaan. Setelah dibina, preman-preman tersebut dilepaskan, tanpa memikirkan apa manfaat mereka ditangkap dan apa efeknya bagi preman-preman tersebut. Setelah dilepaskan, preman-preman itu akan mengulangi kembali perbuatannya, ditangkap lagi, kemudian dibina, dan dilepaskan kembali. Demikianlah siklus pemberantasan preman di Indonesia yang tidak kunjung henti. Sehingga apabila preman itu kembali beraksi, maka mungkin teori yang dikemukakan oleh Durkheim adalah sangat tepat, yaitu kejahatan itu merupakan hal normal dan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.
Menurut Penulis, harus dicari suatu formula yang tepat dan dapat mengatasi preman. Operasi-operasi yang dilakukan Kepolisian yang pada umumnya hanya menangkap kemudian dilepaskan lagi sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi pemberantasan preman. Pemikiran ini kiranya dapat dijadikan bahan pemikiran bagi para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Sehingga harapan kita masyarakat yang nyaman, aman, dan tertib dapat tercapai.

No comments: