Dengan mata basah, aku mengirim sms kepada salah seorang temanku yang
juga telah ditinggalkan ayahnya sewaktu dia masih SMA, berharap mendapat
penghiburan dan membagikan pengalaman hidupnya bagaimana cara mengatasi masalah
seperti ini. Lagi-lagi Tuhan berperkara lain. Melalui uluran kasih dari
teman-teman semuanya, akhirnya aku berangkat pulang kampung untuk melihat
Ayahku untuk terakhir kalinya. Aku ingat betul, lagu Michael Bubble “Let Me Go
Home” menjadi lagu kesukaanku berminggu-minggu sebelum Ayah Aku meninggal
karena kerinduanku pada Ayah dan Ibu serta kampung halaman. Akan tetapi, pada saat itu, lagu itu berubah menjadi lagu
yang paling Aku benci.
Memang Tuhan tidak salah mengijinkanku pulang ke kampung halaman. Tetapi
maksudku bukan dalam kondisi yang demikian. Akan tetapi, kembali lagi ke kodrat
manusia yang hanya merencanakan tetapi Tuhan yang akan menentukan. Seminggu di
kampung halaman bukanlah perkara yang mudah untuk kulewati. Empat hari kuhabiskan
hanya melihat jasad Ayah yang belum dapat dimakamkan karena harus menunggu
seluruh keluarga berkumpul. Sisa 2 hari, Aku habiskan untuk bersantai bersama
Ibu ke Taman Wisata Iman, membuang rasa lelah, penat dan kesedihan sebelum
kembali ke Bandung melanjutkan perjuangan menulis skripsi.
*****
Pesawat Garuda yang kutumpangi akhirnya melaju dengan gagah membelah
udara. Tak terasa aku telah berada di
dalam pesawat hampir 2 jam. Sebelum mendarat, burung besi itu harus berhadapan
dengan cuaca berawan di Kota Medan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan
kecil pada badan pesawat. Kuperhatikan rumah-rumah dan jalan-jalan di kota itu
yang semula sangat samar dan kecil lama-lama menjadi lebih jelas dan besar.
Beberapa menit kemudian, pesawat mendarat dengan mulus. Setelah mengambil
barang dari bagasi, kutelpon Ibuku yang sudah menantiku di rumah. Percakapan
terbilang singkat. Aku hanya memberitahukan bahwa aku telah mendarat dengan
selamat dan Ibu sangat bersyukur karena diliputi kekhawatiran karena cuaca
buruk di kota kopi, Sidikalang. Aku menuju parkiran taxi dan sempat memesan.
Namun tercengang dengan harga yang ditawarkan, aku putuskan naik becak menuju
Stasiun Datra di daerah Padang Bulan, Medan. Sedikit informasi, meskipun
Bandara Polonia telah menjadi bandara internasional, akan tetapi tidak sulit
untuk menemukan becak di sekitar bandara. Setelah nego harga sejenak, akhirnya
aku diantarkan ke stasiun (baca: pool kendaraan untuk luar kota).
Perjalanan menuju Sidikalang tidak mudah. Kursi mobil Datra L300 yang
kutumpangi basah sehingga aku harus melindungi celana dengan map plastik. Untuk
keluar kota Medan juga sulit diakibatkan oleh kemacetan yang memperlambat jalan
kendaraan. Ntah sejak kapan Medan menjadi sangat macet seperti ini. Perjalanan
makin lambat ketika Datra tersebut berhenti untuk memperbaiki bagian sound
system yang rusak. Tetapi ini bukanlah akhir dari penderitaan ini. Cuaca kota
Medan yang sangat panas, ditambah beberapa penumpang yang merokok, macet, dan
sikap supir yang ugal-ugalan, menghantar kami pada tabrakan kecil dengan sepeda
motor yang dikendarai oleh seorang ibu dan ditumpangi oleh dua anaknya. Setelah
keluar kota Medan, tabrakan maut hampir terjadi dengan mobil antar kota dalam
provinsi (AKDP) lainnya di daerah Bandar Baru. Dan akhir dari semua ini adalah,
Datra yang kami tumpangi terperosok ke dalam lobang yang sedang dipersiapkan
untuk kabel FO di daerah Aek Popo.
Alhasil, mobil pun berhenti dan kami semua hampir lupa menarik napas.
Diluar hujan sangat deras dan udara dingin yang sangat menusuk karena kami
sedang berada di daerah pegunungan. Dengan berat hati semua penumpang harus
turun dari kendaraan dan menunggu supir berjuang seorang diri mengeluarkan
mobil dari galian. Setelah hampir setengah jam usahanya tidak membuahkan hasil,
akhirnya kami dititipkan ke mobil yang lewat untuk diantar ke restoran dan
menunggu disana. Satu setengah jam berlalu, sang supir datang ke restoran dan
hendak mengantar kami ke Sidikalang. Akan tetapi semua penumpang kecewa dan
minta supir pengganti. Singkat cerita, dengan supir pengganti, kami tiba dengan
selamat di Sidikalang 3 jam lebih lama dari yang seharusnya. Ibuku sudah
menunggu dan langsung memelukku erat kemudian menggiring aku ke perapian untuk
menghangatkan tubuh.
No comments:
Post a Comment