Monday, August 06, 2012

Pulkam Trip – 3rd Day (Pranginen-Kuta Galung-Alahan Lebbuh-Kuta Galung)

Alarmku berbunyi. Aku tak tahu ntah jam berapa. Yang kutahu, semua orang telah bersiap-siap. Semua ponakanku telah berpakaian rapi hendak berangkat ke sekolah. Aku pun mempersiapkan diri karena hari ini adalah perjalanan paling melelahkan yang akan kulakukan dalam pulkam trip ini. Aku akan menempuh jarak 3 km berjalan kaki bersama ponakanku untuk mencapai Kuta Galung sementara Ibuku akan diantar kakak iparku dengan sepeda motor. Aku sungguh bersemangat meskipun aku tahu nanti pasti kelelahan. Setelah pamitan, aku pun menyusul ponakanku, Tony,  yang sudah berseragam SMP di tepi jalan dan kami menyusuri jalan yang semakin menanjak sampai dipuncak bukit kemudian berliuk-liuk menurun ke desa yang kami tuju, yaitu Kuta Galung (kuta artinya kampung/desa).
Ponakanku Tony yang akan berangkat sekolah
Kuta Galung adalah pusat keramaian di daerah ini. Disana ada pasar sekali seminggu, ada beberapa gereja, poskesdes, dan sebuah SMP.  Terakhir kali aku berkunjung kesini sekitar tujuh belas tahun yang lalu, namun hingga sekarang aku belum melihat adanya perubahan yang berarti. Setelah aku dihantar sampai depan pintu, Tony berlalu ke sekolahnya. 
Puhun dan Nampuhunku di depan rumahnya di Kuta Galung
Aku pun disambut hangat oleh Puhun (saudara laki-laki Ibu dalam bahasa Pakpak) dan istrinya (Nampuhun). Selang beberapa menit kemudian, suara deruman motor terdengar. Ibu pun menyusul masuk ke dalam rumah Puhun. Tak lama kami berbincang disini karena kami harus meneruskan perjalanan ke kampung Ayah, ke Alahan Lebbuh (lebbuh artinya kampung halaman).
*****
Udara di desa ini segar sekali. Kontras dengan sinar matahari yang menghangatkan desa yang dikelilingi pegunungan. Langit sungguh biru, berbeda sekali dengan sehari-hari yang kurasakan di Jakarta. Semangatku sungguh bergelora. Ingin rasanya cepat-cepat sampai ke dusun dimana ayahku dulu menghabiskan masa kecilnya. Aku memang pernah kesini, tapi itu sekitar tujuh belas tahun yang lalu, ketika aku berumur sembilan tahun. Tak banyak yang kuingat tentang dusun ini. Perjalanan kami melalui jalan berbatu-batu, bertemu dengan penduduk di sekitar. Terasa sekali kalau ada pendatang baru. Tatapan penduduk disana sungguh lain. Tanpa terasa kami melewati sebuah jembatan dengan sunyi yang airnya berwarna hitam. Aku tidak tahu mengapa semua sungai di daerah ini berwarna hitam. Sesungguhnya batu-batuan yang membentuk dasar sungai yang berwarna hitam, bukan airnya.
Ibuku dengan latar jalan yang kami lalui menuju Alahan Lebbuh

Kehidupan disini sungguh statis. Suami istri akan berangkat ke sawah, ladang atau kebun mereka setelah anak-anak mereka berangkat sekolah. Sampai lewat siang hari tidak ada tanda-tanda kehidupan di dusun ini sampai pulangnya anak-anak sekolah. Kemudian kelihatan sunyi kembali sampai matahari terbenam di barat dan penduduk mulai masuk rumah masing-masing untuk istirahat. Demikianlah ritme kehidupan disini, berjalan seperti sudah diatur sedemikian rupa.
Ibuku dan teman lamanya
Orang  pertama yang diajak bicara oleh Ibuku adalah seorang ibu tua sebaya dengan Ibuku. Dia tampak sungguh pemalu bahkan tak mau menatap mata kami barang sedetikpun. Sampai akhirnya Ibuku menanyakan siapa dia dan siapa keluarganya. Tanpa disangka, dia adalah teman Ibuku di masa muda dan merupakan teman yang sama ketika mendapat pemberkatan pernikahan di gereja. Akhirnya dia berani melihat kami dan akupun mengusulkan untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Mereka memang sudah puluhan tahun tidak bertemu, karena Ibu dan Ayahku sendiri sudah meninggalkan dusun ini lebih dari tiga puluh tahun.
Penulis dengan latar jalan yang harus kami lalui
Sepanjang perjalanan ada banyak yang menyapa kami. Hampir semua merupakan masih kerabat dekat. Tapi tak satupun yang kukenal. Jalan yang kami tempuh semakin menyempit dan ditumbuhi rerumputan. Kemudian menuruni bukit, melewati persawahan, menyeberangi jembatan yang hampir rusak kemudian menanjak terus dan sampailah ke tempat tujuan. Mungkin sekitar lima kilometer akan tetapi dengan rute naik turun bukit. Aku sudah terengah-engah, sementara Ibuku yang sudah lanjut masih kelihatan kuat. Tak ada raut kelelahan di wajahnya yang sudah berusia enam puluh tiga tahun itu. Aku sungguh malu pada diri sendiri dan kagum pada Ibuku.
*****
Orang pertama yang akan kami temui adalah Nan Tonga, dia adalah istri dari saudara laki-laki (adik) ayahku. Saudara laki-laki ayahku yang merupakan suaminya sudah meninggal beberapa tahun sebelum Ayahku meninggal. Aku tak tahu persis kapan. Dia tinggal seorang diri di rumah warisan kakek dan mengerjakan sawah warisan juga. Kadang-kadang dia ditemani oleh cucunya yang tinggal di Kuta Galung. Kemiskinan yang mendera keluarga besar kami memang mengharuskan kami semua berpencar mencari penghidupan yang lebih baik. Semua anak dan cucunya sudah meninggalkan Alahan Lebbuh. 
Sepupuku, Nantonga dan Ibuku
Anak paling bungsunya terpaksa sekolah dibiayai oleh kakaknya di Penyabungan, Tapanuli Selatan. Sebenarnya aku telah bertemu dengan saudara sepupuku ini di Dolok Sanggul, aku berkenalan dan menanyakan hendak kemana. Ketika dia berkata dia Marga Tumangger dan hendak ke Alahan Lebbuh, Ibuku langsung menanyakan siapa keluarganya disana. Dan tak salah lagi, dia adalah anak paling bungsu Nan Tonga ku ini yang sedang pulang kampung karena libur sekolah karena puasa. Aku sendiri heran. Puasa satu bulan telah mengakibatkan berhentinya proses belajar mengajar selama sebulan di wilayah Penyabungan. Dan aku hanya berpesan bahwa besok kami akan berkunjung ke rumahnya.
Foto bersama Nantonga & Ibuku
Hanya beberapa jam kuhabiskan di rumah Nan Tonga ku ini. Kami disuguhkan makanan yang menurut aku sangat sederhana, yaitu indomie rebus dan telur goreng. Tetapi, tahukah kamu sobat, ini adalah makanan yang tergolong mewah disini. Setiap tamu yang hadir biasanya disuguhkan makanan ini. Hal ini kubuktikan ketika aku berkunjung ke rumah Pa Tua, yaitu saudara laki-laki (abang) Ayahku dan istrinya, Nan Tua, yang hanya beberapa menit dari rumah Nan Tonga ku tadi. Jam sudah menunjukkan jam dua siang. Terakhir kami makan jam sebelas di rumah Nan Tonga. Akupun ditugaskan menjemput Pa Tua yang sedang bekerja di sawah sementara Nan Tua menyiapkan makanan. Dan aku sudah tidak terkejut lagi, menu yang sama disajikan, yaitu indomie rebus dan telur goreng. Itu adalah menu untuk menyambut tamu yang datang dari jauh. Tak lama juga disini, sekitar jam empat sore, Ibu dan aku pamitan pulang dan menempuh rute yang sama menuju Kuta Galung.
Pa Tua, Nantua & Ibuku makan siang bersama
Terik matahari masih terasa dan persediaan air minum tidak ada. Aku mengusulkan beristirahat sejenak. Sebenarnya aku malu pada Ibuku, namun kelihatan dia sangat maklum, dia pasti berpikir: “orang yang tinggal di kota memang kelihatan lebih lemah dari pada orang yang tinggal di desa, sekalipun terdapat perbedaan usia yang sangat jauh.” Ya, akulah buktinya, perbedaan usia antara aku dan Ibuku sekitar tiga puluh tujuh tahun, tapi dia tetap kelihatan lebih kuat. Perjalanan kami lanjutkan sejenak dan berhenti kembali ketika aku melihat ada warung. Setelah memulihkan kekuatan, perjalanan kami lanjutkan.
Indahnya Alam Alahan Lebbuh yang dikelilingi pegunungan
GKI Sumut (Ex: Gereformed), tempat pemberkatan pernikahan Ayah & Ibu  
Sesampainya di Kuta Galung, kami belum berhenti dan beristirahat. Aku masih ingin memanfaatkan sore hari untuk melihat Tugu Si Raja Tanggor yang jaraknya hanya sekitar 500 m dari rumah Puhunku. Tugu Si Raja Tanggor didirikan untuk mempersatukan keturunan Si Raja Tanggor yang saat ini lebih dikenal dengan marga Tumanggor/Tumangger. Tugu ini diresmikan pada tanggal 15 Februari 2003 oleh Bupati Dairi, Dr. MP. Tumanggor. Si Raja Tanggor sendiri artinya adalah Raja yang kekar/kuat. 
Tugu Si Raja Tanggor
Sering sekali terdapat kebingungan, manakah yang benar, Tumanggor atau Tumangger? Apakah ada perbedaan antara Tumanggor atau Tumangger? Kebingungan ini seharusnya tidak perlu terjadi, terlebih-terlebih bagi mereka yang memiliki marga ini. Ini hanya masalah pengucapan saja. Pengucapan dan penulisan marga-marga Pakpak memang ada sedikit kesulitan bagi sub etnis Batak lainnya. Hal ini tidak hanya terjadi pada keturunan Si Raja Tanggor, akan tetapi hampir semua marga Pakpak. Misalnya Haloho/Kaloko, Barutu/Berutu/Brutu, Habeahan/Kabeaken, Anak Ampun/Nahampun/Nakampun, Limbong/Lembèng, dan masih banyak lagi.
Tugu Si Raja Tanggor

Setelah mengunjungi Tugu Si Raja Tanggor, aku pun pergi mandi bersama Puhun ke air pancur di tepian sungai. Kami harus berjalan hampir satu kilometer untuk menuju tempat tersebut. Setelah mandi, aku dan Ibu masih menjelajah Kuta Galung ke arah bukit dimana terdapat sekolah yaitu SMP Negeri 4 Parlilitan. Di sekolah ini ponakanku Tony sedang menempuh pendidikan menengah pertama. Biasanya kalau mengunjungi suatu tempat, ada beberapa obejk yang saya pilih untuk dikunjungi, yaitu objek wisatanya, pusat keagamaan/ibadah, pusat perbelanjaan/pasar, pusat pendidikan/sekolah/kampus. Oleh karena itu, saya sempatkan berkunjung ke SMP Negeri 4 Parlilitan. Dulu, kakakku yang pertama dan kedua juga sekolah disini sebelum akhirnya pindah ke Subulussalam.

SMP Negeri 4 Parlilitan

No comments: