Ponakanku Tony yang akan berangkat sekolah |
Kuta Galung adalah pusat keramaian di daerah ini. Disana ada pasar
sekali seminggu, ada beberapa gereja, poskesdes, dan sebuah SMP. Terakhir kali aku berkunjung kesini sekitar
tujuh belas tahun yang lalu, namun hingga sekarang aku belum melihat adanya
perubahan yang berarti. Setelah aku dihantar sampai depan pintu, Tony berlalu
ke sekolahnya.
Puhun dan Nampuhunku di depan rumahnya di Kuta Galung |
Aku pun disambut hangat oleh Puhun (saudara laki-laki Ibu dalam
bahasa Pakpak) dan istrinya (Nampuhun). Selang beberapa menit kemudian, suara
deruman motor terdengar. Ibu pun menyusul masuk ke dalam rumah Puhun. Tak lama
kami berbincang disini karena kami harus meneruskan perjalanan ke kampung Ayah,
ke Alahan Lebbuh (lebbuh artinya kampung halaman).
*****
Udara di desa ini segar sekali. Kontras dengan sinar matahari yang
menghangatkan desa yang dikelilingi pegunungan. Langit sungguh biru, berbeda
sekali dengan sehari-hari yang kurasakan di Jakarta. Semangatku sungguh
bergelora. Ingin rasanya cepat-cepat sampai ke dusun dimana ayahku dulu
menghabiskan masa kecilnya. Aku memang pernah kesini, tapi itu sekitar tujuh
belas tahun yang lalu, ketika aku berumur sembilan tahun. Tak banyak yang
kuingat tentang dusun ini. Perjalanan kami melalui jalan berbatu-batu, bertemu
dengan penduduk di sekitar. Terasa sekali kalau ada pendatang baru. Tatapan
penduduk disana sungguh lain. Tanpa terasa kami melewati sebuah jembatan dengan
sunyi yang airnya berwarna hitam. Aku tidak tahu mengapa semua sungai di daerah
ini berwarna hitam. Sesungguhnya batu-batuan yang membentuk dasar sungai yang
berwarna hitam, bukan airnya.
Ibuku dengan latar jalan yang kami lalui menuju Alahan Lebbuh |
Kehidupan disini sungguh statis. Suami istri akan berangkat ke sawah,
ladang atau kebun mereka setelah anak-anak mereka berangkat sekolah. Sampai
lewat siang hari tidak ada tanda-tanda kehidupan di dusun ini sampai pulangnya
anak-anak sekolah. Kemudian kelihatan sunyi kembali sampai matahari terbenam di
barat dan penduduk mulai masuk rumah masing-masing untuk istirahat. Demikianlah
ritme kehidupan disini, berjalan seperti sudah diatur sedemikian rupa.
Ibuku dan teman lamanya |
Orang pertama yang diajak bicara
oleh Ibuku adalah seorang ibu tua sebaya dengan Ibuku. Dia tampak sungguh
pemalu bahkan tak mau menatap mata kami barang sedetikpun. Sampai akhirnya
Ibuku menanyakan siapa dia dan siapa keluarganya. Tanpa disangka, dia adalah
teman Ibuku di masa muda dan merupakan teman yang sama ketika mendapat
pemberkatan pernikahan di gereja. Akhirnya dia berani melihat kami dan akupun
mengusulkan untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Mereka memang sudah
puluhan tahun tidak bertemu, karena Ibu dan Ayahku sendiri sudah meninggalkan
dusun ini lebih dari tiga puluh tahun.
Penulis dengan latar jalan yang harus kami lalui |
Sepanjang perjalanan ada banyak yang menyapa kami. Hampir semua
merupakan masih kerabat dekat. Tapi tak satupun yang kukenal. Jalan yang kami
tempuh semakin menyempit dan ditumbuhi rerumputan. Kemudian menuruni bukit,
melewati persawahan, menyeberangi jembatan yang hampir rusak kemudian menanjak
terus dan sampailah ke tempat tujuan. Mungkin sekitar lima kilometer akan
tetapi dengan rute naik turun bukit. Aku sudah terengah-engah, sementara Ibuku
yang sudah lanjut masih kelihatan kuat. Tak ada raut kelelahan di wajahnya yang
sudah berusia enam puluh tiga tahun itu. Aku sungguh malu pada diri sendiri dan
kagum pada Ibuku.
*****
Orang pertama yang akan kami temui adalah Nan Tonga, dia adalah istri
dari saudara laki-laki (adik) ayahku. Saudara laki-laki ayahku yang merupakan
suaminya sudah meninggal beberapa tahun sebelum Ayahku meninggal. Aku tak tahu
persis kapan. Dia tinggal seorang diri di rumah warisan kakek dan mengerjakan
sawah warisan juga. Kadang-kadang dia ditemani oleh cucunya yang tinggal di
Kuta Galung. Kemiskinan yang mendera keluarga besar kami memang mengharuskan
kami semua berpencar mencari penghidupan yang lebih baik. Semua anak dan
cucunya sudah meninggalkan Alahan Lebbuh.
Sepupuku, Nantonga dan Ibuku |
Anak paling bungsunya terpaksa sekolah
dibiayai oleh kakaknya di Penyabungan, Tapanuli Selatan. Sebenarnya aku telah
bertemu dengan saudara sepupuku ini di Dolok Sanggul, aku berkenalan dan
menanyakan hendak kemana. Ketika dia berkata dia Marga Tumangger dan hendak ke
Alahan Lebbuh, Ibuku langsung menanyakan siapa keluarganya disana. Dan tak
salah lagi, dia adalah anak paling bungsu Nan Tonga ku ini yang sedang pulang
kampung karena libur sekolah karena puasa. Aku sendiri heran. Puasa satu bulan
telah mengakibatkan berhentinya proses belajar mengajar selama sebulan di
wilayah Penyabungan. Dan aku hanya berpesan bahwa besok kami akan berkunjung ke
rumahnya.
Foto bersama Nantonga & Ibuku |
Hanya beberapa jam kuhabiskan di rumah Nan Tonga ku ini. Kami disuguhkan
makanan yang menurut aku sangat sederhana, yaitu indomie rebus dan telur
goreng. Tetapi, tahukah kamu sobat, ini adalah makanan yang tergolong mewah
disini. Setiap tamu yang hadir biasanya disuguhkan makanan ini. Hal ini
kubuktikan ketika aku berkunjung ke rumah Pa Tua, yaitu saudara laki-laki
(abang) Ayahku dan istrinya, Nan Tua, yang hanya beberapa menit dari rumah Nan
Tonga ku tadi. Jam sudah menunjukkan jam dua siang. Terakhir kami makan jam
sebelas di rumah Nan Tonga. Akupun ditugaskan menjemput Pa Tua yang sedang
bekerja di sawah sementara Nan Tua menyiapkan makanan. Dan aku sudah tidak
terkejut lagi, menu yang sama disajikan, yaitu indomie rebus dan telur goreng.
Itu adalah menu untuk menyambut tamu yang datang dari jauh. Tak lama juga
disini, sekitar jam empat sore, Ibu dan aku pamitan pulang dan menempuh rute
yang sama menuju Kuta Galung.
Pa Tua, Nantua & Ibuku makan siang bersama |
Terik matahari masih terasa dan persediaan air minum tidak ada. Aku
mengusulkan beristirahat sejenak. Sebenarnya aku malu pada Ibuku, namun
kelihatan dia sangat maklum, dia pasti berpikir: “orang yang tinggal di kota
memang kelihatan lebih lemah dari pada orang yang tinggal di desa, sekalipun
terdapat perbedaan usia yang sangat jauh.” Ya, akulah buktinya, perbedaan usia
antara aku dan Ibuku sekitar tiga puluh tujuh tahun, tapi dia tetap kelihatan
lebih kuat. Perjalanan kami lanjutkan sejenak dan berhenti kembali ketika aku
melihat ada warung. Setelah memulihkan kekuatan, perjalanan kami lanjutkan.
Indahnya Alam Alahan Lebbuh yang dikelilingi pegunungan |
GKI Sumut (Ex: Gereformed), tempat pemberkatan pernikahan Ayah & Ibu |
Sesampainya di Kuta Galung, kami belum berhenti dan beristirahat. Aku
masih ingin memanfaatkan sore hari untuk melihat Tugu Si Raja Tanggor yang
jaraknya hanya sekitar 500 m dari rumah Puhunku. Tugu Si Raja Tanggor didirikan
untuk mempersatukan keturunan Si Raja Tanggor yang saat ini lebih dikenal
dengan marga Tumanggor/Tumangger. Tugu ini diresmikan pada tanggal 15 Februari
2003 oleh Bupati Dairi, Dr. MP. Tumanggor. Si Raja Tanggor sendiri artinya
adalah Raja yang kekar/kuat.
Tugu Si Raja Tanggor |
Sering sekali terdapat kebingungan, manakah yang
benar, Tumanggor atau Tumangger? Apakah ada perbedaan antara Tumanggor atau
Tumangger? Kebingungan ini seharusnya tidak perlu terjadi, terlebih-terlebih
bagi mereka yang memiliki marga ini. Ini hanya masalah pengucapan saja.
Pengucapan dan penulisan marga-marga Pakpak memang ada sedikit kesulitan bagi
sub etnis Batak lainnya. Hal ini tidak hanya terjadi pada keturunan Si Raja
Tanggor, akan tetapi hampir semua marga Pakpak. Misalnya Haloho/Kaloko,
Barutu/Berutu/Brutu, Habeahan/Kabeaken, Anak Ampun/Nahampun/Nakampun,
Limbong/Lembèng, dan masih banyak lagi.
No comments:
Post a Comment