Sesaat sebelum pulang ke Sidikalang |
Jam dua siang kami sampai di Sidikalang. Aku langsung mandi karena aku
tidak akan berani untuk mandi di sore hari di kota kopi yang terkenal sangat
dingin ini. Kuambil handuk dan sabun kemudian ditemani Bonggi, anjing
peliharaan kami, aku berlari ke sumur di belakang rumah, menuruni sisi-sisi
jurang.
Sumur yang kelihatan kotor dengan warna air kecoklatan ini adalah
sumber air yang menghidupi aku dan keluarga, yang membesarkanku hingga SMA,
sampai saat ini masih kami gunakan.
Sumur yang menjadi sumber air bersih bagi keluargaku |
Kami tidak mampu untuk berlangganan air
dari PDAM. Kehidupan yang demikian sulit hingga saat ini masih dijalani oleh
Ibuku beserta ponakanku Dewi, yang sedang menempuh pendidikan SMA disana, dan
seorang anak kos yang tinggal di rumah kami. Tapi tidak pernah kusesali dan
sampai saat ini pun aku belum bisa berbuat apa-apa untuk mengubah kondisi ini.
Kunikmati tetes demi tetes air yang membasahi badanku yang memang bau dan
warnya sangat berbeda dengan air yang biasa aku gunakan selama kuliah di
Bandung atau sesudah bekerja di Jakarta.
Bonggi, anjing yang menjadi teman setia ke sumur |
Sementara Ibu berangkat ke pasar, aku pun ingin berjalan-jalan di kota
Sidikalang, kota tempat tinggalku hingga lulus SMA. Waktuku memang singkat dan
tidak akan cukup untuk memotret seluruh bagian yang kuanggap penting dari kota
ini, karena pada sore harinya aku akan berkunjung juga ke rumah Uda dan Inang
Uda Simbolon di Basecamp III, Jl Runding, sekitar 2 kilometer dari rumah.
Dewi (ponakan) & Mega (anak kos) di SMA N 2 Sidikalang |
Kami terpaksa berjalan kaki pulang pergi
karena angkutan memang sudah berhenti beroperasi di kota ini sejak jam enam
sore. Mereka adalah orang yang paling berjasa dalam memberangkatkan aku kuliah
ke Bandung. Tanpa jasa mereka, aku tidak akan pernah seperti sekarang ini.
Mereka membelikan tiket pesawatku ke Jakarta, memberikan uang sekitar 2,5 juta
untuk biaya hidup pertama kali di Bandung. Di Bandung juga aku tinggal di kos
Bang Rico, anak sulung dari Uda dan Inang Uda ini, selama dua tahun sebelum
akhirnya aku mandiri. Selama kuliah juga, aku juga sering mendapat bantuan dana
dari mereka. Jadi waktu yang sangat singkat selama berada di Sidikalang tak
akan kulewatkan begitu saja tanpa singgah ke rumah mereka.
*****
Minggu pagi, 29 Juli 2012, udara sangat cerah. Pagi-pagi sekali kami
akan ziarah ke makam Ayahku. Setelah membawa air bersih dan alat untuk
membersihkan makam, kamipun berangkat. Hanya sekitar 10 menit kami sudah tiba
disana. Setelah kami membersihkan makam, berdoa, kamipun langsung pulang karena
harus bersiap-siap untuk beribadah ke gereja yang hanya sekitar tiga ratus
meter dari rumah.
Ibu dan Aku di depan Makam Ayah |
Sepanjang perjalanan aku melihat banyak sekali iring-iringan
manusia yang menuju ke gereja. Tidak seperti di kota, nuansa hari Minggu disini
terasa sekali, ada puluhan mungkin ratusan orang, yang didominasi kaum ibu
dengan kebaya, berangkat ke gereja. Aku sendiri kurang paham, mengapa jumlah
kaum Ibu yang ke gereja dua kali lebih banyak dari pada jumlah kaum bapak.
Apakah ibadah ada kaitannya dengan gender? Ntahlah, mungkin perlu dilakukan
suatu penelitian terhadap fenomena ini. Ibadah di gereja ini sama sekali tidak
berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika aku beribadah terakhir kali disini.
Ada koor Simatah Daging (kaum muda), Kaum Ibu (Gloria dan Perari Senen) dan
Kaum Bapak (Mannen dan Haleluya).
Simatah Daging GKPPD Sukadame |
Sepulang gereja, kami
merencanakan akan mengunjungi ladang yang berjarak sekitar enam kilometer dari
rumah. Ladang yang terletak di daerah perbatasan Kab. Dairi dan Kab. Pakpak
Bharat ini dulunya sungguh terawat, ditanami berbagai macam tanaman buah, sayur
dan palawija.
Tapi itu adalah sekitar 4 tahun yang lalu. Ketika Ayah masih
sehat dan tinggal di ladang untuk mengurus ladang. Ayah, semasa hidupnya, hanya
berkumpul bersama kami di rumah, satu kali dalam seminggu, yaitu hari Minggu
saja. Senin sampai Sabtu dihabiskan di ladang karena akan menghemat ongkos
perjalanan. Baru saat ini terpikir olehku, apa yang terlintas dalam benak Ayahku,
yang selama 6 hari sendiri di ladang dan hanya bertemu kami sehari dalam
seminggu, itu pun karena akan ibadah Minggu. Itupun dilakukan dengan berjalan
kaki sebelum akhirnya ada sepeda tua yang dapat dikayuh, hadiah dari seorang
keluarga jauh kepada kami.
Berfoto dengan latar gubuk tempat tinggal Ayah (Alm) sehari-hari |
No comments:
Post a Comment