1. Hukum Pidana dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana
a) Pengertian Hukum Pidana
b) Pembagian Hukum Pidana & Sumber Hukum Pidana
c) Tujuan Hukum Pidana (Aliran Klasik, Aliran Modern, Aliran Sosiologis)
d) Teori Hukum Pidana/ Teori Dasar Hukuman (Teori Absolut, Teori Relatif, Teori Gabungan)
e) Determinisme dan Indeterminisme dalam Hukum Pidana
f) Sifat Hukum Pidana (Publik)
g) Ultimum Remedium dan Premium Remedium, Prime Guarantor dan Prime Threatener
h) Perumusan Norma dan Sanksi dalam Hukum Pidana serta Jenis-jenis Pidana
(UAS 2007, UAS 2003, UAS 2002, UAS 2001)
2. Sejarah dan Usaha Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
a) Kriminalisasi, Dekriminalisasi, Rekriminalisasi, dan Depenalisasi
b) Alasan pembaharuan Hukum Pidana
c) Pembatasan dalam Pasal V UU No. 1 Tahun 1946
(UAS 2004, UAS 1999, UAS 1997)
3. Berlakunya Ketentuan Pidana dalam Perundang-undangan (Lex Tempus Delicti dan Lex Locus Delicti)
a) Lex Tempus Delicti
• Asas Legalitas dan Pengertian Asas Legalitas
• Kedudukan Hukum Adat (Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt. No. 1 Tahun 1951)
• Analogi & Penafsiran Ektensif
• Asas non retro aktif meliputi permasalahan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP serta cara menjawabnya (Teori Formal dan Teori Material)
• Ketentuan yang Paling Menguntungkan
• Pendapat Barda Nawawi Arief dan Hazewinkel-Suringa
b) Lex Locus Delicti
• Asas Teritorialitas
• Asas Nasional Aktif
• Asas Nasional Pasif
• Asas Universalitas
(UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 2002, UAS 2001, UAS 2000, UAS 1999, UAS 1998, UAS 1993)
4. Tindak Pidana (Strafbarfeit)
a) Pengertian Tindak Pidana (Prof. Vrij, Prof. Moeljatno, Mahkamah Agung)
b) Unsur-unsur Tindak Pidana (Unsur Objektif & Unsur Subjektif dan Bestandelen Delict dan Elementen Delict)
c) Teknik atau Cara Merumuskan Tindak Pidana
d) Subjek Tindak Pidana (terutama Korporasi)
e) Jenis-jenis Tindak Pidana/ Delik
f) Konsekuensi Dibedakannya Kejahatan dan Pelanggaran
g) Tempat Tindak Pidana dan Waktu Tindak Pidana
(UAS 2007, UAS 2006, UAS 2004, UAS 2000, UAS 1993)
5. Delik Aduan (Klacht Delik) dan Pidana Bersyarat (Voorwardelijke Veroordeling)
a) Pengertian Delik Aduan (Klacht Delict) dan Jenis-jenisnya
b) Pengertian, Tujuan Pengaturan dan Syarat-syarat Pidana Bersyarat (Voorwardelijke Veroordeling)
(UAS 2007, UAS 2004, UAS UAS 2001, UAS 2000)
6. Sifat Melawan Hukum (Wederechtelijk)
a) Perbedaan Sifat Melawan Hukum Formal dan Material Beserta Konsekuensinya
b) Perbedaan Sifat Melawan Hukum dalam Fungsi Negatif dan Fungsi Positif Disertai Contohnya
c) Akibat dalam lapangan hukum acara mengenai dicantumkan atau tidaknya sifat melawan hukum
d) Sifat melawan hukum yang dianut hukum positif Indonesia dan tunjukkan dalam yurisprudensi MA
(UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2003, UAS 2002, UAS 2001, UAS 1999, UAS 1993)
7. Ajaran Sebab Akibat (Causalitetleer)
a) Jelaskan teori-teori Kausalitas (Conditio Sine Qua Non, Individualisir, Generalisir)
b) Masalah pertanggungjawaban pidana dari Teori Conditio Sine Qua Non
c) Hubungannya dengan delik material dan delik omisi
(UAS 2007, UAS 2006, UAS 2002, UAS 2001, UAS 1999, UAS 1993)
8. Kesalahan (Dolus dan Culpa)
a) Pengertian kesalahan
b) Masalah Kemampuan Bertanggung jawab
c) Kesengajaan dan Bentuk-bentuknya
d) Kealpaan, Sifat Kealpaan dan Bentuk-bentuk Kealpaan
(UAS 2007, UAS 2003)
9. Alasan Peniadaan Pidana dan Penuntutan & Asas Nebis in Idem
a) Alasan pemaaf, alasan pembenar dan alasan peniadaan penuntutan
b) Sebutkan contoh-contohnya dan dasar hukum dalam KUHP
c) Pengertian Asas Nebis In Idem (Pasal 76 KUHP)
(UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2002, UAS 2001, UAS 1999, UAS 1998, UAS 1993)
10. Percobaan (Poging)
a) Syarat-syarat Percobaan beserta contohnya
b) Teori objektif dan teori subjektif dalam unsur permulaan pelaksanaan
(UAS 2006, UAS 2002, UAS 2000, UAS 1999)
11. Keturutsertaan (Deelneming)
a) Pengertian deelneming
b) Bentuk-bentuk deelneming berserta contohnya
(UAS 2006, UAS 2004, UAS 2003, UAS 2002, UAS 1999)
12. Istilah-istilah yang sering ditanyakan
a) Deelneming;
b) Concorsus/ Samenloop/ Perbarengan;
c) In dubio pro reo;
d) Ultimum remedium;
e) Feitelijk dwaling;
f) Ketentuan pidana blanko;
g) Geen strafzonder schuld;
h) Willens en wetten;
i) Bewuste schuld;
Buku Anjuran:
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. PT Citra Aditya Bakti: Bandung.
Sofjan Sastrawidjaja. 1995. Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana. Penerbit Armico: Bandung.
Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.
Materi ini disusun oleh Kardoman Tumangger (Kelas F) untuk memudahkan dalam mempersiapkan menghadapi UAS Hukum Pidana Tahun 2008. Materi ini disusun berdasarkan frekuensi kemunculan dalam soal-soal UAS dari beberapa tahun sebelumnya dan semoga bermanfaat bagi kita. Atas perhatian dari pengunjung blog, saya ucapkan terima kasih. Silahkan lihat dan download di http://googlestudyclub.blogspot.com
Thanks and dedicated to : Jesus Christ The Only Savior
Dare to live until the very last. Dare to live forget about the past. Dare to live giving something of yourself to others, even when it seems there's nothing more left to give.
Tuesday, January 15, 2008
Friday, January 11, 2008
Mencari Terobosan Kasus Soeharto
Mencari Terobosan Kasus Soeharto
R FERDIAN ANDI R
Senin, 07 Januari 2008
Ketika Pak Harto kembali dirawat di RS Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (4/1) pekan lalu, perdebatan soal pemberian kepastian hukum Pak Harto pun langsung muncul ke tengah publik.
(iPhA/Dok-Indra Shalihin)
INILAH.COM, Jakarta — Perdebatan soal nasib dan status hukum mantan Presiden HM Soeharto selalu mencuat tiap kali penguasa Orde Baru itu masuk rumah sakit. Wacana itu kini bahkan meruncing pada kemungkinan pengesampingan perkara pidananya dengan alasan kemanusiaan dan jasanya kepada bangsa. Bagaimana seharusnya pemerintah menangani kepastian status Pak Harto?
Ketika Pak Harto kembali dirawat di RS Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (4/1) pekan lalu, perdebatan soal pemberian kepastian hukum Pak Harto pun langsung muncul ke tengah publik. Sebagian kalangan mengusulkan agar pemerintah segera memberikan pengampunan, namun sebagian yang lain menginginkan proses hukum tetap dilanjutkan.
Ada juga sebagian lagi yang mewacanakan perlunya ‘jalan tengah’ dalam bentuk terobosan hukum. Tujuannya relatif sama, yakni mengupayakan rasa hormat bangsa kepada orang besar yang pernah berjasa tanpa mengabaikan aspek kebenaran dan keadilan di mata rakyat.
Gurubesar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Romli Atmasasmita mengatakan, pemberian kepastian hukum dengan kondisi Pak Harto seperti saat ini, bisa dilakukan dengan terobosan, yaitu melalui pengadilan in absentia.
“Jaksa Agung dan MA harus bisa merekayasa sesuatu yang diperbolehkan dalam hukum. Karena hukum tidak hanya normatif namun living law, maka trial in absentia adalah sebuah terobosan,” tegasnya kepada Inilah.com, di Jakarta, Senin (7/1) pagi.
Sebenarnya kepastian hukum bagi Pak Harto telah menjadi keinginan politik pemerintah sejak sembilan tahun lalu. Dalam ketetapan MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, secara tegas pemerintah diminta menuntaskan kasus dugaan korupsi Pak Harto secara hukum.
Hingga kini Ketetapan MPR itu masih belum dicabut, artinya tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang baru. Isi ketetapan itu bahkan dikukuhkan melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003.
Sayangnya, kata Romli, dari proses awal hukum Pak Harto, sejak era Jaksa Agung Marzuki Darusman hingga Jaksa Agung Hendarman Supandji, tidak ada kemauan politik untuk segera menuntaskan kasus tersebut.
“Tidak ada keinginan kuat untuk mengusut kasus hukum Soeharto. Ingat kasus pidana seharusnya ditangani oleh Jaksa Agung yang langsung di bawah Presiden,” tegasnya.
Menurut mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini, dengan adanya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) di era Abdul Rahman Saleh (Jaksa Agung era awal pemerintahan SBY), maka penanganan kasus pidana dalam proses hukum Pak Harto pada prinsipnya masih terbuka.
“Kasus hukum Pak Harto masih terbuka. Tapi bila Jaksa Agung melakukan deponering (mengesampingkan perkara pidana, red), maka kasus pidana Soeharto benar-benar tertutup,” tegasnya.
Perdebatan soal pemberian kepastian hukum mantan orang nomor satu di republik itu sebenarnya telah semakin mengerucut pada wacana deponering.
Sebelumnya, usulan untuk mengesampingkan kasus pidana (deponering, red) atas Soeharto disuarakan oleh DPP Partai Golkar dengan pertimbangan dasar kemanusiaan terhadap Soeharto atas jasa-jasanya. Hal ini juga dimaksudkan agar stigma sosial yang buruk terhadap mantan penguasa Orde Baru itu dapat dihilangkan.
"Deponering dapat dilakukan oleh Jaksa Agung sesuai pasal 35 C UU Kejaksaan," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono di Jakarta, Sabtu (5/1) malam.
Hal yang sama ditekankan kembali oleh Ketua Golkar yang juga Gubernur Lemhanas, Muladi. Golkar mendesak deponering, kata Muladi, karena demi kepentingan umum dan mengingat jasa-jasa Pak Harto yang sangat besar terhadap bangsa.
Namun dia mengkhawatirkan langkah ini akan mengulang kasus mantan Presiden Presiden Soekarno. Saat itu, presiden pertama RI itu tidak diajukan ke mahkamah militer luar biasa. Namun, hingga Soekarno wafat, status hukumnya tetap sebagai tahanan.
"Bahwa orang-orang yang sangat berjasa di negeri ini harus mendapatkan kepastian status hukum. Dengan sistem hukum di Indonesia, ini dapat dilakukan dengan menggunakan asas opportunity," ujar Muladi, usai menjenguk Pak Harto di RS Pusat Pertamina Jakarta, Senin (7/1).
Demi kepentingan umum dan mengingat jasa-jasa Pak Harto yang sangat besar, kata Muladi, terobosan hukum penting dicarikan sebagai solusi. Muladi menggambarkan jasa Pak Harto saat pembebasan Irian Barat dan penumpasan G30 S PKI.
"Secara internasional beliau dihormati. Pro-kontra selalu terjadi di saat beliau sakit. Rasanya bangsa yang besar ini akan rugi bila selalu terjadi pro dan kontra," kata Muladi.
Demikian pula pendapat hakim agung Mahkamah Agung, Benyamin Mangkudilaga. Ia berpendapat lambatnya penanganan kasus hukum Soeharto selama ini telah menyebabkan polemik yang terjadi saat ini.
Ia menambahkan, sangat kecil kemungkinan untuk meneruskan kasus pidana Soeharto dalam situasi seperti sekarang.
“Tapi kalau perdatanya, apa pun juga kondisi Pak Harto, masih bisa diteruskan kepada ahli warisnya,” tegasnya kepada Inilah.com, Senin (7/1) pagi. Menurut dia yang terpenting adalah pengusutan atas harta kekayaan.
Perdebatan atas kasus hukum Soeharto memang belum akan tuntas seiring belum adanya ketetapan hukum yang tetap atas mantan penguasa rezim Orde Baru tersebut.
Namun Romli menegaskan, kasus Soeharto harus menjadi preseden bagi pemerintah dan aparat hukum, untuk segera menuntaskan suatu perkara hukum. Ini penting agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus tersandera oleh masa lalunya. [P1]
Dikutip oleh:
Kardoman Tumangger
Mahasiswa Fakultas Hukum Unpad
Untuk diketahui dan dibaca bagi teman2 yang berminat mengenai penyelesaian kasus Soeharto oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran,
Prof. Dr. Romli Atmasasmita
R FERDIAN ANDI R
Senin, 07 Januari 2008
Ketika Pak Harto kembali dirawat di RS Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (4/1) pekan lalu, perdebatan soal pemberian kepastian hukum Pak Harto pun langsung muncul ke tengah publik.
(iPhA/Dok-Indra Shalihin)
INILAH.COM, Jakarta — Perdebatan soal nasib dan status hukum mantan Presiden HM Soeharto selalu mencuat tiap kali penguasa Orde Baru itu masuk rumah sakit. Wacana itu kini bahkan meruncing pada kemungkinan pengesampingan perkara pidananya dengan alasan kemanusiaan dan jasanya kepada bangsa. Bagaimana seharusnya pemerintah menangani kepastian status Pak Harto?
Ketika Pak Harto kembali dirawat di RS Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (4/1) pekan lalu, perdebatan soal pemberian kepastian hukum Pak Harto pun langsung muncul ke tengah publik. Sebagian kalangan mengusulkan agar pemerintah segera memberikan pengampunan, namun sebagian yang lain menginginkan proses hukum tetap dilanjutkan.
Ada juga sebagian lagi yang mewacanakan perlunya ‘jalan tengah’ dalam bentuk terobosan hukum. Tujuannya relatif sama, yakni mengupayakan rasa hormat bangsa kepada orang besar yang pernah berjasa tanpa mengabaikan aspek kebenaran dan keadilan di mata rakyat.
Gurubesar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Romli Atmasasmita mengatakan, pemberian kepastian hukum dengan kondisi Pak Harto seperti saat ini, bisa dilakukan dengan terobosan, yaitu melalui pengadilan in absentia.
“Jaksa Agung dan MA harus bisa merekayasa sesuatu yang diperbolehkan dalam hukum. Karena hukum tidak hanya normatif namun living law, maka trial in absentia adalah sebuah terobosan,” tegasnya kepada Inilah.com, di Jakarta, Senin (7/1) pagi.
Sebenarnya kepastian hukum bagi Pak Harto telah menjadi keinginan politik pemerintah sejak sembilan tahun lalu. Dalam ketetapan MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, secara tegas pemerintah diminta menuntaskan kasus dugaan korupsi Pak Harto secara hukum.
Hingga kini Ketetapan MPR itu masih belum dicabut, artinya tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang baru. Isi ketetapan itu bahkan dikukuhkan melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003.
Sayangnya, kata Romli, dari proses awal hukum Pak Harto, sejak era Jaksa Agung Marzuki Darusman hingga Jaksa Agung Hendarman Supandji, tidak ada kemauan politik untuk segera menuntaskan kasus tersebut.
“Tidak ada keinginan kuat untuk mengusut kasus hukum Soeharto. Ingat kasus pidana seharusnya ditangani oleh Jaksa Agung yang langsung di bawah Presiden,” tegasnya.
Menurut mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini, dengan adanya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) di era Abdul Rahman Saleh (Jaksa Agung era awal pemerintahan SBY), maka penanganan kasus pidana dalam proses hukum Pak Harto pada prinsipnya masih terbuka.
“Kasus hukum Pak Harto masih terbuka. Tapi bila Jaksa Agung melakukan deponering (mengesampingkan perkara pidana, red), maka kasus pidana Soeharto benar-benar tertutup,” tegasnya.
Perdebatan soal pemberian kepastian hukum mantan orang nomor satu di republik itu sebenarnya telah semakin mengerucut pada wacana deponering.
Sebelumnya, usulan untuk mengesampingkan kasus pidana (deponering, red) atas Soeharto disuarakan oleh DPP Partai Golkar dengan pertimbangan dasar kemanusiaan terhadap Soeharto atas jasa-jasanya. Hal ini juga dimaksudkan agar stigma sosial yang buruk terhadap mantan penguasa Orde Baru itu dapat dihilangkan.
"Deponering dapat dilakukan oleh Jaksa Agung sesuai pasal 35 C UU Kejaksaan," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono di Jakarta, Sabtu (5/1) malam.
Hal yang sama ditekankan kembali oleh Ketua Golkar yang juga Gubernur Lemhanas, Muladi. Golkar mendesak deponering, kata Muladi, karena demi kepentingan umum dan mengingat jasa-jasa Pak Harto yang sangat besar terhadap bangsa.
Namun dia mengkhawatirkan langkah ini akan mengulang kasus mantan Presiden Presiden Soekarno. Saat itu, presiden pertama RI itu tidak diajukan ke mahkamah militer luar biasa. Namun, hingga Soekarno wafat, status hukumnya tetap sebagai tahanan.
"Bahwa orang-orang yang sangat berjasa di negeri ini harus mendapatkan kepastian status hukum. Dengan sistem hukum di Indonesia, ini dapat dilakukan dengan menggunakan asas opportunity," ujar Muladi, usai menjenguk Pak Harto di RS Pusat Pertamina Jakarta, Senin (7/1).
Demi kepentingan umum dan mengingat jasa-jasa Pak Harto yang sangat besar, kata Muladi, terobosan hukum penting dicarikan sebagai solusi. Muladi menggambarkan jasa Pak Harto saat pembebasan Irian Barat dan penumpasan G30 S PKI.
"Secara internasional beliau dihormati. Pro-kontra selalu terjadi di saat beliau sakit. Rasanya bangsa yang besar ini akan rugi bila selalu terjadi pro dan kontra," kata Muladi.
Demikian pula pendapat hakim agung Mahkamah Agung, Benyamin Mangkudilaga. Ia berpendapat lambatnya penanganan kasus hukum Soeharto selama ini telah menyebabkan polemik yang terjadi saat ini.
Ia menambahkan, sangat kecil kemungkinan untuk meneruskan kasus pidana Soeharto dalam situasi seperti sekarang.
“Tapi kalau perdatanya, apa pun juga kondisi Pak Harto, masih bisa diteruskan kepada ahli warisnya,” tegasnya kepada Inilah.com, Senin (7/1) pagi. Menurut dia yang terpenting adalah pengusutan atas harta kekayaan.
Perdebatan atas kasus hukum Soeharto memang belum akan tuntas seiring belum adanya ketetapan hukum yang tetap atas mantan penguasa rezim Orde Baru tersebut.
Namun Romli menegaskan, kasus Soeharto harus menjadi preseden bagi pemerintah dan aparat hukum, untuk segera menuntaskan suatu perkara hukum. Ini penting agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus tersandera oleh masa lalunya. [P1]
Dikutip oleh:
Kardoman Tumangger
Mahasiswa Fakultas Hukum Unpad
Untuk diketahui dan dibaca bagi teman2 yang berminat mengenai penyelesaian kasus Soeharto oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran,
Prof. Dr. Romli Atmasasmita
Saturday, January 05, 2008
Pembahasan Soal Ujian Akhir Semester Hukum Pidana Tahun 2007 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Mata Kuliah : Hukum Pidana
Hari, tanggal : Selasa, 9 Januari 2007
Semester/Kelas : III/ A-F
Waktu : 120 menit
Dosen :
Karjoso Kasimoen, S.H.
Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, S.H.
Dr. Pontang Moerad BM, S.H.
Sofyan Sastrawidjaja, S.H.
Aman Sembiring, S.H., M.H.
Rohaenah Padmadinata, S.H., M.H.
1. Eksistensi Hukum Pidana tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh dari berbagai aliran atau mazhab, yang mendasari pada prinsip, teori, tujuan dan orientasinya. Berdasarkan hal tersebut diatas, jelaskan pemahaman Saudara mengenai Hukum Pidana secara tuntas kaitannya dengan:
a. - Aliran Klasik;
- ¬Aliran Modern, baik berdasarkan kriminologi maupun sosiologi;
b. - Teori Absolut atau Pembalasan;
- Teori Relatif atau Tujuan
- Teori Gabungan;
c. Paham Determinisme dan Paham Indterminisme; serta jelaskan pula apakah ada hubungan antara point (a) dan (b), begitu juga hubungan antara point (b) dan (c).
Jawab:
a. - Ajaran Klasik
Hukum pidana untuk melindungi kepentingan perseorangan terhadap kekuasaan negara.
Riwayat aliran ini terjadi sebelum adanya Revolusi Prancis, di Eropa terdapat Monarchi Absolute. Hukum pidana pada waktu itu belum dikodifikasi dan demikian pula pada waktu itu belum terdapat ketentuan hukum sehingga organ-organ negara dapat menghukum setiap orang yang menurut pendapatnya patut dihukum. Adapun beratnya hukuman diserahkan kepada kebijaksanaan hukum sehingga mucul ketidakpastian hukum (rechts onzekerheid).
Dikenal peristiwa, Jean Calas dituduh membunuh anaknya sendiri dan dihukum mati pedahal anaknya tersebut mati bunuh diri. Sehingga meskipun Jean Calas sudah mati, Voltaire menuntut dan hakim memutuskan Jean Calas tidak bersalah.
- Aliran Modern
Hukum pidana untuk melindungi masyarakat dan memberantas kejahatan.
Ajaran aliran modern adalah apa yang disebut-Kriminologi, yaitu suatu ilmu memberantas kejahatan. Kriminologi, dalam memberantas kejahatan terdapat dua aliran yaitu:
a) Kriminologi Aethologi, yang bertujuan mempelajari sebab musabab kejahatan.
b) Kriminologi Politiek, yang bertujuan mempelajari sarana pemberantasan (bestrijdingsmiddel) dari kejahatan.
Kriminologi Aethologi masih terbagi menjadi dua aliran lagi, yaitu:
a) Criminele Anthropologie, terdapat di Ialia, diciptakan oleh Cesare Lambrosso, seorang ahli jiwa (psikiater), yang mendasarkan ajarannya pada penyelidikan yang dilakukan terhadap penjahat, baik yang masih hidup dipenjara maupun yang sudah mati. Seorang penjahat dapat dikenal dari ciri-ciri fisiknya sejak dilahirkan.
b) Criminele Sociologie, terdapat di Prancis, sebagi reaksi terhadap ajaran Lambrosso. Ajaran ini mendasarkan pada keadaan masyarakat itu sendiri, karena keadaan masyarakat memberikan pengaruh yang paling besar terhadap orang hingga orang itu melakukan kejahatan.
b. - Teori Absolut atau Pembalasan (Vergeldingstheorien)
Dasar hukum adalah kejahatan.
Aliran ini menunjuk kejahatan sebagai dasar hubungan dengan berpokok pada pendapat bahwa hukuman itu harus dianggap dasar hubungan dengan berpokok pada pendapat bahwa hukuman itu harus dianggap sebagai “pembalasan”, “imbalan” (vergelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Disebut teori mutlak atau absolut karena pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi sutu keharusan.
Tokoh teori pembalasan adalah Immanuel Kant, Herbart, Hegel, Stahl, Leo Polak, Jean Jacques Rosseau dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sarjana yang mendasarkan teorinya pada ajaran kissas dalam Al-quran.
- Teori Relatif atau Tujuan (Doeltheorien)
Dasar hukum adalah tujuan hukuman.
Ajaran ini mendasarkan hukuman itu pada “maksud” atau “tujuan” hukuman artinya pidana mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat (nut van de straf).Terdapat beberapa paham dalam aliran ini, yaitu:
Hukuman:
untuk memperbaiki ketidakpuasan masyarakat
untuk mencegah kejahatan, maksud dari mencegah kejahatan yaitu ditujukan terhadap umum (prevensi umum) dan ditujukan kepada orang yang melakukan tindak kejahatan (prevensi khusus).
Untuk menjamin ketertiban umum
Cara:
mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti (afsehrikkede middelen) yang ditujukan kepada umum (prevensi umum)
mencegah kejahatan dengan cara memperbaiki penjahatnya (verbetering ven de misdadiger) agar tidak mengulangi kejahatannya lagi (prevensi khusus)
melenyapkan penjahatnya, dengan cara memberikan hukuman yang cukup lama misalnya seumur hidup atau hukuman mati.
Ada juga pendapat lain mengenai cara ini:
mencari tujuan hukuman didalam ancaman (strafbedreiging), dengan memberi ancaman hukuman hendak menghindarkan umum dari perbuatan jahat. Tokohnya Anselm von Feurbach dengan ajarannya”tekanan psikologis” (psychologie zwang).
Mencari tujuan hukuman tidak hanya di dalam ancaman bahkan pula dalam menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan hukuman dan hukumannya dilakukan di depan umum.
- Teori Gabungan (Virenigingstheorie)
Dasar hukumnya terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping itu pula sebagai dasar adalah tujuan daripada hukuman.
Dibagi tiga golongan:
(1) Teori Gabungan yang menitikberatkan kepada pembalasan.
Tokohnya Pompe, Zevergen
(2) Teori Gabungan yang menitikberatkan ketertiban masyarakat
Tokohnya Simons
(3) Teori Gabungan yang menitikberatkan pada kedua asas diatas.
Tokohnya A. Binding.
c. Paham Determinisme: ajaran bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (Mazhab Anthropologis). Ajaran ini mengatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman karena terdorong oleh masalah-masalah baik dari dalam maupun dari luar, sehingga manusia tidak dapat bertindak bebas.
Paham Indeterminisme: ajaran bahwa manusia mempunyai kehendak bebas meskipun diakui bahwa adanya faktor baik dari luar maupun dari dalam manusia menjadi jahat.
Hubungan antara point (a) dan (b)
Yaitu dalam hal sanksi dalam hukum pidana yaitu antara dasar penjatuhan sanksi dalam hukum pidana (point (a)) dengan teori tujuan hukum pidana (point (b)).
Hubungan antara point (b) dan (c)
Yaitu dengan mengetahui teori penjatuhan pidana (point (b)) sehingga kehendak manusia (point (c)) diharapkan menjadi tidak bertentangan dengan hukum sehingga tidak dijatuhi pidana.
2. Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut “asas legalitas” sebagai asas fundamental yang tertuang dalam Pasal 1 KUHP dengan berbagai prinsipnya, tetapi pada perkembangan hukum pidana dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2006 Tentang Pengadilan HAM, dimana dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa untuk kasus-kasus tertentu diberlakukan “asas retroaktif”. Sehubungan dengan hal tersebut, bagaimanakah pendapat Saudara mengenai hal diatas, dilihat dari prinsip hukum pidana sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Jelaskan secara tuntas!
Jawab:
Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP:
“Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.
Dalam rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP boleh diberlakukan surut apabila:
1. dilakukan perubahan dalam perundang-undangan
2. dan perubahan mana sudah terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, akan tetapi sebelum dujatuhkan hukuman terhadap perbuatan tersebut
3. UU yang baru lebih menguntungkan bagi si tersangka dibandingkan UU yang lama.
Mengenai pembentukan Pasal 1 ayat (2) KUHP hanyalah semata-mata untuk kepentingan si tertuduh sehingga tidak membuat menjadi bertentangan dengan asas legalitas.
3. Masalah tindak pidana mempunyai arti yuridis apabila dirumuskan dalam Undang-undang sebaliknya bila tidak disebut/dirumuskan dalam Undang-undang mempunyai arti krimininologis, yang masing-masing mengandung konsekuensi “dapat” atau “tidaknya” dipidana.
a. Jelaskan beserta contoh pasal-pasal dalam KUHP cara atau teknik perumusan tindak pidana, yang melukiskan perbuatan yang skematis tidak konkrit?
b. Apa yang Sudara ketahui tentang konsekuensi dibedakannya kejahatan dan pelanggaran dalam KUHPidana. Jelaskan!
c. Dalam hal terjadinya seseorang yang disangka melakukan tindak pidana pertama-tama apa yang harus dipersoalkan sebelum ia dijatuhi hukuman?
Jawab:
a. Cara atau teknik perumusan tindak pidana:
a) Menentukan unsur kejadian
Contoh Pasal 338 KUHP, unsurnya adalah:
• Dengan sengaja (opzettelijk);
• Merampas (beroven);
• Nyawa (leven);
• Orang lain (een ander)
b) Menyebut nama kejadian
Contoh Pasal 351 ayat (1) KUHP
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
c) Menyebutkan baik unsur maupun namanya
Contoh Pasal 338 KUHP: Pembunuhan, unsurnya:
• Dengan sengaja (opzettelijk);
• Merampas (beroven);
• Nyawa (leven);
• Orang lain (een ander)
b. Konsekuensi dibedakannya kejahatan dan pelanggaran dalam KUHPidana, yaitu:
a) Undang-undang telah tidak membuat suatu perbedaan antara opzet dan culpa di dalam pelanggaran;
b) Percobaan (poging) dalam suatu pelanggaran tidak dapat dihukum;
c) Keturutsertaan (medeplechtigheid) di dalam pelanggaran tidak dapat dihukum;
d) Di dalam pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris itu hanya dapat dihukum apabila pelanggaran itu telah terjdi dengan sepengetahuan mereka;
e) Di dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya suatu “pengaduan” itu merupakan syarat penuntutan;
f) Jangka waktu kadaluarsanya (verjaring) hak untuk melakukan penuntutan (Pasal 78 ayat (1) angka 1 KUHP) dan hak untuk menjalani hukuman (Pasal 84 ayat (2) KUHP) pada pelanggaran itu pada umumnya adalah lebih singkat;
g) Peraturan mengenai hapusnya hak untuk melakukan penuntutan karena adanya suatu pembayaran secara sukarela dari nilai yang setinggi-tingginya (Pasal 82 ayat (1) KUHP) hanya berlaku bagi pelanggaran;
h) Adanya ketentuan tersendiri mengenai dapat disitanya benda-benda yang diperoleh karena pelanggaran;
i) Tindak pidana yang telah dilakukan oleh seorang WNI di luar negeri hanya menimbulkan hak untuk melakukan penuntutan oleh Penuntut Umum, apabila tindak pidana tersebut oleh UU Pidana yang berlaku di Indonesia telah terkualifikasikan sebagai kejahatan dan bukan pelanggaran;
j) Ketentuan-ketentuan menurut UU Pidana Indonesia itu hanya dapat diberlakukan terhadap pegawai negeri yang diluar Indonesia telah melakukan kejahatan-kejahatan jabatan dan bukan pelanggaran-pelanggaran jabatan;
k) Pasal-pasal penadahan (Pasal 480 KUHP dst) selalu mensyaratkan bahwa benda-benda yang bersangkutan haruslah diperoleh karena kejahatan dan bukan pelanggaran;
l) Dalam hal perbarengan (Concorsus) para pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang ringan lebih mudah daripada pidana berat (Pasal 65, 66-70 KUHP).
c. Dalam hal terjadinya seseorang yang disangka melakukan tindak pidana pertama-tama yang harus dipersoalkan sebelum ia dijatuhi hukuman adalah membuktikan bahwa perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum (wederechtelijkheid) dan pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan. Berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geenstraf zonder schuld) dan tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan/ alasan pemaaf.
4. Salah satu unsur atau elemen dari tindak pidana adalah unsur melawan hukum, yang merupakan suatu penilaian objektif terhadap “feit” (perbuatan).
a. Jelaskan oleh Saudara pendapat dan perbedaan sifat melawan hukum beserta konsekuensinya;
b. Jelaskan pula perbedaan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi yang negatif dan positif disertai contohnya.
c. Apa akibat dalam lapangan hukum acara mengenai dicantumkan atau tidak dicantumkannya unsur melawan hukum dari suatu rumusan delik.
Jawab:
a. Perbedaan sifat melawan hukum dan konsekuensinya
Sifat melawan hukum dalam arti formal (wederechtelijk formele) yaitu suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang atau perbuatan yang melawan hukum positif tertulis.
Sifat melawan hukum dalam arti material (wederechtelijk materieele) yaitu suatu perbuatan dapat dipandang bersifat melawan hukum tidak hanya ditinjau apakah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis
Konsekuensinya jika dicantumkan secara tegas di rumusan delik dan ternyata tidak terbukti di sidang pengadilan maka putusannya harus vrijspraak (bebas), dan jika tidak dicantumkan secara tegas dalam delik dan ternyata tidak terbukti di pengadilan maka putusannya onslag van alle rechtsvevolging (lepas).
b. Perbedaan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi yang negatif dan positif
Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu sekalipun tidak bertentangan dengan perundang-undangan (melawan hukum formal) tetapi sepanjang perbauatan terdakwa adalah tindakan-tindakan yang tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan kepatutan sudah dapat dikatakan melawan hukum.
Contohnya: Arrest Dokter Hewan dari Desa Huizen tanggal 20 Februari 1933, Putusan MA RI tanggal 15 Desember 1933 No. 275K/Pid/1933 dalam Perkara Korupsi Bank Bumi Daya.
Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi negatif yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis dan bersifat umum sehingga tidak menjadi perbuatan pidana.
Contohnya: Putusan MA tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42K/Kr/1965
c. Akibat dalam lapangan hukum acara mengenai dicantumkan atau tidak dicantumkannya unsur melawan hukum dari suatu rumusan delik yaitu jika tercantum sebagai unsur delik maka harus dicantumkan dalam surat dakwaan dan kewajiban dari JPU untuk membuktikannya dalam sidang pengadilan; jika tidak tercantum sebagai unsur delik maka tidak perlu dicantumkan dalam surat dakwaan dan JPU tyidak perlu membuktikannya dalam sidang pengadilan.
5. Persoalan yang menyangkut ajaran sebab akibat dapat diterapkan dalam menentukan penentuan apakah perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Terkait dengan hal tersebut dikatakan bahwa teori sebab akibat dari von Buri adalah syarat mutlak (Conditio sine qua non).
a. Jelaskan teori ini;
b. Teori ini sangat memperluas dasar pertanggung jawaban pidana. Jelaskan dan beserta buktinya dengan contoh kasusnya.
Jawab:
a. Teori Conditio Sine Qua Non Von Buri
Intinya: Tiap perbuatan adalah sebab dari akibat.
Ini disebabkan karena untuk menentukan sesuatu akibat, tiap masalah yang merupakan syarat untuk timbulnya sesuatu akibat, adalah sebab dari akibat itu atau karena antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya terdapat suatu hubungan timbal balik, maka faktor-faktor tersebut dapat dipandang sebagi penyebab-penyebab dari suatu akibat yang telah timbul, sedang kepada semua faktor-faktor itu haruslah diberikan suatu nilai yang sama (teori ekuivalen).
b. Apabila menganut ajaran Von Buri, maka dasar pertanggungjawabannya sangat diperluas, disebabkan karena perbuatan-perbuatan yang jauh bangunannya dengan akibat, juga harus dianggap sebagi dari akibat. Jadi, ajaran Von Buri sangat memperluas strafrechtelijke aansprakellijkeheid.
Contoh:
A memukul B dan membuat kulit luka-luka ringan yang pada umumnya tidak mengakibatkan kematian. Berhubung luka-lukanya itu, B memerlukan perawatan dokter dan berjalan kaki menuju rumah sakit. Tapi dalam perjalanan, B ditabrak mobil C sehingga luka-luka berat, dan karena C tidak segera menolongnya, membuat B akhirnya mati.
Menurut Von Buri, apabila A tidak memukul B, B tidak akan menderita luka ringan. Jika B tidak luka ringan maka dia tidak perlu ke rumah sakit. Jika dia tidak perlu ke rumah sakit dia tidak akan luka berat ditabrak C. Jika C tidak menabraknya dia dapat sampai ke rumah sakit. Jika dia sampai kerumah sakit maka dia tidak akan mati.
Nampaklah dalam contoh ini batap lauasnya pertanggungjawaban pidana, sehingga ajaran Von Buri tidak dipergunakan dalam hukum pidana.
6. Berikan komentar Saudara terkait kasus video mesum, yang melibatkan anggota DPR (YZ) dan ME. Apakah masalah tersebut ada kaitannya dengan apa yang disebut “Klacht delict” ataukah “tidak”. Jelaskan secara tuntas!
Jawab:
Komentar saya terkait kasus video mesum yang melibatkan anggota DPR (YZ) dan penyanyi dangdut (ME) sangat memalukan.Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat yang duduk di dewan punya reputasi buruk bisa menjadi public figur yang baik. Karena kasus ini merupakan tindak pidana “perzinahan” (overspel) maka akan dikenai Pasal 284 ayat (1) angka 1 KUHP. Tetapi terkait adanya ketentuan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP, kasus ini termasuk delik pengaduan (Klacht delict) dan merupakan delik aduan absolute/ delik aduan mutlak yang artinya suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan dan yang diadukan hanyalah perbuatannya saja. Yang merasa dirugikan, dialah yang mengadu. Tetapi karena YZ disini adalah anggota DPR selain pengaduan dari pihak yang dirugikan dia juga dikenai sanksi oleh Badan Kehormatan DPR.
7. Suatu peristiwa tragis terjadi di wilayah hukum Bandung Timur, dimana Aniek Qoriah S., tega menghabisi ketiga anaknya yang notabene masih anak-anak yang memerlukan perhatian dan perlindungan dari kedua orang tuanya. Melalui suatu pemeriksaan yang intensif terungkap bahwa Aniek Qoriah S. dengan tega membunuh ketiga anaknya karena dengan alasan takut tidak bisa membahagiakan anak di masa depan, dan merasa takut pula bila nanti anaknya hidup susah.
Berkaitan dengan kasus diatas, masalah apa saja yang dapat Saudara kemukakan dengan memperhatikan:
a. Masalah pokok hukum pidana, yaitu pertanggungjawaban hukum pidana (mens-rea);
b. Teori-teori dan bentuk kesengajaan;
c. Bagaimanakah dengan kealpaan disadari (bewuste schuld);
Jelaskan secara tuntas dan apakah kasus tersebut ada kaitan dengan ketentuan dalam Pasal 44 KUHP.
Jawab:
a. Mengenai pertanggungjawaban hukum pidana (mens-rea).
Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh psikiater maka kejiwaan ibu Aniek S. Qoriah dinyatakan terganggu. Oleh karena itu, tindakannya membunuh ketiga anaknya menjadi tidak dipidana karena adanya ketentuan Pasal 44 KUHP ayat (1) “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” Karena perbuatan ibu Aniek S.Qoriah tidak dapt dipertanggunjwabkan kepada dirinya karena adanya gangguan kejiwaan, maka berdasarkan Pasal 44 ayat (2) KUHP:”Jika ternyata perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supayta orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagi percobaan”, maka hakim memerintahkan ibu Aniek masuk ke rumah sakit jiwa selama satu tahun sabagai masa percobaan.
b. Teori dan Bentuk Kesengajaan
Sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk)
Intinya melakukan tindakan yang terlarang secara dikehendaki dan dimengerti
Jadi apabila seseorang pada waktu ia melakukan suatu tindakan untuk menimbulkan suatu akibat terlarang,menyadari bahwa akibat tersebut pasti akan timbul atau mungkin dapat timbul karena tindakan yang sedang ian lakukan, sedangkan timbulnya akibat itu memang ia kehendaki, maka apabila kemudaian benar bahwa akibat tersebut telah timbul karena perbuatannya maka orang tersebut melakukan sengaja dengan maksud.
Contoh:
Apabila seseorang bermaksud membunuh lawannya dengan cara menembak orang tersebut dengan pistol. Ia juga menyadari bahwa apabila lawannya ditembak dengan jarak sangat dekat maka lawannya akan pasti atau mungkin mati. Karena matinya lawan memang ia kehendaki dan sebelum melakukannya ia pun telah mengetahui atau telah menyadari bahwa lawannya itu pasti atau mungkin akan meninggal dunia karena tembakannya, maka apabila ia benar-benar melakukannya dan lawannya benar-benar meninggal dunia maka ia sengaja melakukan dengan maksud.
Sengaja dengan kesadaran kepastian (opzet bij zakerheids-bewustzijn)
Intinya melakukan tindakan yang terlarang yang dilandasi oleh kesadaran akan kepastian (tentang timbulnya akibat lain daripada akibat yang memang ia kehendaki.
Contoh:
Dalam kasus diatas, apabila dalam melakukan niatnya itu, secara kebetulan terdapat orang lain yang ia ketahui atau ia sadari bahwa orang lain yang tidak bermaksud untuk membunuhnya itu pasti akan ikut tertembak mati, apabila ia melepaskan tembakan terhadap lawannya dan apabila kemudian orang lain itu telah ikut tertembak dan mati, maka ia telah melakukan sengaja dengan kesadaran kepastian.
Sengaja dengan kesadaran kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn)
Intinya apabila adanya kesadaran tentang timbulnya kemungkinan akibat lain dan akibat itu tidak membatalkan niatnya, dan kemudian ternyata bahwa akibat semacam itu benar-benar teerjadi ia dapat disebut melakukan sengaja dengan kesadaran kemungkinan.
Contoh:
Dalam kasus diatas, pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatannya untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang undang-undang telah menyadari kemungkinan menimbulkan suatu akibat yang lain daripada akibat yang memang ia kehendaki. Jadi jika kemungkinan yang ia sadari itu menjadi kenyataan, maka ia dikatakan mempunyai kesengajaan.
c. Kealpaan disadari (bewuste schuld)
Terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, tetapi akibat itu timbul juga.
Contohnya:
Mengendarai mobil yang remnya blong, supaya tidak terjadi kecelakaan maka ia menjalankannya dengan pelan-pelan dan memilih jalan yang tidak rawan, tetapi tabrakanterjadi juga.
8. Dalam teori Hukum Pidana dikenal 3 (tiga) alasan penghapusan pidana. Sebutkan alasan-alasan penghapusan pidana menurut teori hukum pidana tersebut.
Jawab:
Dalam teori Hukum Pidana dikenal 3 (tiga) alasan penghapusan pidana, yaitu:
(1) Alasan pembenar (rechtsvaardigingstheorie): yaitu alasan yang mengahapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
Terdapat dalam Titel Ketiga Buku Pertama KUHP yaitu Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht), Pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 50 mengenai melaksanakan undang-undang, Pasal 51 ayat (1) tentang melaksanakan perintah atasn (ambtelijk bevel).
(2) Alasan pemaaf (schulduitsluitingstheorie): yaitu alasan yang menghapusakan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan tindk dipidana, tetapi di atidak dapat dipidana, karena tidak ada kesalahan.
Terdapat dalam Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht), Pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas (noodweer-excess), Pasal 51 ayat (2) (alasan penghapus) tentang penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wenang.
(3) Alasan penghapus penuntutan (vervolgingssuitsluiting gronden): disini masalahnya bukan alasan pembenar atau pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan atau mengenai sifatnya pelaku, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak dilakukan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan disini adalah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntut tentunya pelaku tidak dapt dijatuhi pidana.
Contoh Pasal 53, kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan suatu kejahatan.
----------Selamat Bekerja----------
Pembahasan oleh:
1. Kardoman Tumangger
2. Gilbert Orlando Sitorus
3. Kartini Corytien Pardosi
Thanks and dedicated to: Jesus Christ my Saviour
Hari, tanggal : Selasa, 9 Januari 2007
Semester/Kelas : III/ A-F
Waktu : 120 menit
Dosen :
Karjoso Kasimoen, S.H.
Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, S.H.
Dr. Pontang Moerad BM, S.H.
Sofyan Sastrawidjaja, S.H.
Aman Sembiring, S.H., M.H.
Rohaenah Padmadinata, S.H., M.H.
1. Eksistensi Hukum Pidana tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh dari berbagai aliran atau mazhab, yang mendasari pada prinsip, teori, tujuan dan orientasinya. Berdasarkan hal tersebut diatas, jelaskan pemahaman Saudara mengenai Hukum Pidana secara tuntas kaitannya dengan:
a. - Aliran Klasik;
- ¬Aliran Modern, baik berdasarkan kriminologi maupun sosiologi;
b. - Teori Absolut atau Pembalasan;
- Teori Relatif atau Tujuan
- Teori Gabungan;
c. Paham Determinisme dan Paham Indterminisme; serta jelaskan pula apakah ada hubungan antara point (a) dan (b), begitu juga hubungan antara point (b) dan (c).
Jawab:
a. - Ajaran Klasik
Hukum pidana untuk melindungi kepentingan perseorangan terhadap kekuasaan negara.
Riwayat aliran ini terjadi sebelum adanya Revolusi Prancis, di Eropa terdapat Monarchi Absolute. Hukum pidana pada waktu itu belum dikodifikasi dan demikian pula pada waktu itu belum terdapat ketentuan hukum sehingga organ-organ negara dapat menghukum setiap orang yang menurut pendapatnya patut dihukum. Adapun beratnya hukuman diserahkan kepada kebijaksanaan hukum sehingga mucul ketidakpastian hukum (rechts onzekerheid).
Dikenal peristiwa, Jean Calas dituduh membunuh anaknya sendiri dan dihukum mati pedahal anaknya tersebut mati bunuh diri. Sehingga meskipun Jean Calas sudah mati, Voltaire menuntut dan hakim memutuskan Jean Calas tidak bersalah.
- Aliran Modern
Hukum pidana untuk melindungi masyarakat dan memberantas kejahatan.
Ajaran aliran modern adalah apa yang disebut-Kriminologi, yaitu suatu ilmu memberantas kejahatan. Kriminologi, dalam memberantas kejahatan terdapat dua aliran yaitu:
a) Kriminologi Aethologi, yang bertujuan mempelajari sebab musabab kejahatan.
b) Kriminologi Politiek, yang bertujuan mempelajari sarana pemberantasan (bestrijdingsmiddel) dari kejahatan.
Kriminologi Aethologi masih terbagi menjadi dua aliran lagi, yaitu:
a) Criminele Anthropologie, terdapat di Ialia, diciptakan oleh Cesare Lambrosso, seorang ahli jiwa (psikiater), yang mendasarkan ajarannya pada penyelidikan yang dilakukan terhadap penjahat, baik yang masih hidup dipenjara maupun yang sudah mati. Seorang penjahat dapat dikenal dari ciri-ciri fisiknya sejak dilahirkan.
b) Criminele Sociologie, terdapat di Prancis, sebagi reaksi terhadap ajaran Lambrosso. Ajaran ini mendasarkan pada keadaan masyarakat itu sendiri, karena keadaan masyarakat memberikan pengaruh yang paling besar terhadap orang hingga orang itu melakukan kejahatan.
b. - Teori Absolut atau Pembalasan (Vergeldingstheorien)
Dasar hukum adalah kejahatan.
Aliran ini menunjuk kejahatan sebagai dasar hubungan dengan berpokok pada pendapat bahwa hukuman itu harus dianggap dasar hubungan dengan berpokok pada pendapat bahwa hukuman itu harus dianggap sebagai “pembalasan”, “imbalan” (vergelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Disebut teori mutlak atau absolut karena pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi sutu keharusan.
Tokoh teori pembalasan adalah Immanuel Kant, Herbart, Hegel, Stahl, Leo Polak, Jean Jacques Rosseau dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sarjana yang mendasarkan teorinya pada ajaran kissas dalam Al-quran.
- Teori Relatif atau Tujuan (Doeltheorien)
Dasar hukum adalah tujuan hukuman.
Ajaran ini mendasarkan hukuman itu pada “maksud” atau “tujuan” hukuman artinya pidana mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat (nut van de straf).Terdapat beberapa paham dalam aliran ini, yaitu:
Hukuman:
untuk memperbaiki ketidakpuasan masyarakat
untuk mencegah kejahatan, maksud dari mencegah kejahatan yaitu ditujukan terhadap umum (prevensi umum) dan ditujukan kepada orang yang melakukan tindak kejahatan (prevensi khusus).
Untuk menjamin ketertiban umum
Cara:
mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti (afsehrikkede middelen) yang ditujukan kepada umum (prevensi umum)
mencegah kejahatan dengan cara memperbaiki penjahatnya (verbetering ven de misdadiger) agar tidak mengulangi kejahatannya lagi (prevensi khusus)
melenyapkan penjahatnya, dengan cara memberikan hukuman yang cukup lama misalnya seumur hidup atau hukuman mati.
Ada juga pendapat lain mengenai cara ini:
mencari tujuan hukuman didalam ancaman (strafbedreiging), dengan memberi ancaman hukuman hendak menghindarkan umum dari perbuatan jahat. Tokohnya Anselm von Feurbach dengan ajarannya”tekanan psikologis” (psychologie zwang).
Mencari tujuan hukuman tidak hanya di dalam ancaman bahkan pula dalam menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan hukuman dan hukumannya dilakukan di depan umum.
- Teori Gabungan (Virenigingstheorie)
Dasar hukumnya terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping itu pula sebagai dasar adalah tujuan daripada hukuman.
Dibagi tiga golongan:
(1) Teori Gabungan yang menitikberatkan kepada pembalasan.
Tokohnya Pompe, Zevergen
(2) Teori Gabungan yang menitikberatkan ketertiban masyarakat
Tokohnya Simons
(3) Teori Gabungan yang menitikberatkan pada kedua asas diatas.
Tokohnya A. Binding.
c. Paham Determinisme: ajaran bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (Mazhab Anthropologis). Ajaran ini mengatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman karena terdorong oleh masalah-masalah baik dari dalam maupun dari luar, sehingga manusia tidak dapat bertindak bebas.
Paham Indeterminisme: ajaran bahwa manusia mempunyai kehendak bebas meskipun diakui bahwa adanya faktor baik dari luar maupun dari dalam manusia menjadi jahat.
Hubungan antara point (a) dan (b)
Yaitu dalam hal sanksi dalam hukum pidana yaitu antara dasar penjatuhan sanksi dalam hukum pidana (point (a)) dengan teori tujuan hukum pidana (point (b)).
Hubungan antara point (b) dan (c)
Yaitu dengan mengetahui teori penjatuhan pidana (point (b)) sehingga kehendak manusia (point (c)) diharapkan menjadi tidak bertentangan dengan hukum sehingga tidak dijatuhi pidana.
2. Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut “asas legalitas” sebagai asas fundamental yang tertuang dalam Pasal 1 KUHP dengan berbagai prinsipnya, tetapi pada perkembangan hukum pidana dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2006 Tentang Pengadilan HAM, dimana dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa untuk kasus-kasus tertentu diberlakukan “asas retroaktif”. Sehubungan dengan hal tersebut, bagaimanakah pendapat Saudara mengenai hal diatas, dilihat dari prinsip hukum pidana sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Jelaskan secara tuntas!
Jawab:
Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP:
“Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.
Dalam rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP boleh diberlakukan surut apabila:
1. dilakukan perubahan dalam perundang-undangan
2. dan perubahan mana sudah terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, akan tetapi sebelum dujatuhkan hukuman terhadap perbuatan tersebut
3. UU yang baru lebih menguntungkan bagi si tersangka dibandingkan UU yang lama.
Mengenai pembentukan Pasal 1 ayat (2) KUHP hanyalah semata-mata untuk kepentingan si tertuduh sehingga tidak membuat menjadi bertentangan dengan asas legalitas.
3. Masalah tindak pidana mempunyai arti yuridis apabila dirumuskan dalam Undang-undang sebaliknya bila tidak disebut/dirumuskan dalam Undang-undang mempunyai arti krimininologis, yang masing-masing mengandung konsekuensi “dapat” atau “tidaknya” dipidana.
a. Jelaskan beserta contoh pasal-pasal dalam KUHP cara atau teknik perumusan tindak pidana, yang melukiskan perbuatan yang skematis tidak konkrit?
b. Apa yang Sudara ketahui tentang konsekuensi dibedakannya kejahatan dan pelanggaran dalam KUHPidana. Jelaskan!
c. Dalam hal terjadinya seseorang yang disangka melakukan tindak pidana pertama-tama apa yang harus dipersoalkan sebelum ia dijatuhi hukuman?
Jawab:
a. Cara atau teknik perumusan tindak pidana:
a) Menentukan unsur kejadian
Contoh Pasal 338 KUHP, unsurnya adalah:
• Dengan sengaja (opzettelijk);
• Merampas (beroven);
• Nyawa (leven);
• Orang lain (een ander)
b) Menyebut nama kejadian
Contoh Pasal 351 ayat (1) KUHP
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
c) Menyebutkan baik unsur maupun namanya
Contoh Pasal 338 KUHP: Pembunuhan, unsurnya:
• Dengan sengaja (opzettelijk);
• Merampas (beroven);
• Nyawa (leven);
• Orang lain (een ander)
b. Konsekuensi dibedakannya kejahatan dan pelanggaran dalam KUHPidana, yaitu:
a) Undang-undang telah tidak membuat suatu perbedaan antara opzet dan culpa di dalam pelanggaran;
b) Percobaan (poging) dalam suatu pelanggaran tidak dapat dihukum;
c) Keturutsertaan (medeplechtigheid) di dalam pelanggaran tidak dapat dihukum;
d) Di dalam pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris itu hanya dapat dihukum apabila pelanggaran itu telah terjdi dengan sepengetahuan mereka;
e) Di dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya suatu “pengaduan” itu merupakan syarat penuntutan;
f) Jangka waktu kadaluarsanya (verjaring) hak untuk melakukan penuntutan (Pasal 78 ayat (1) angka 1 KUHP) dan hak untuk menjalani hukuman (Pasal 84 ayat (2) KUHP) pada pelanggaran itu pada umumnya adalah lebih singkat;
g) Peraturan mengenai hapusnya hak untuk melakukan penuntutan karena adanya suatu pembayaran secara sukarela dari nilai yang setinggi-tingginya (Pasal 82 ayat (1) KUHP) hanya berlaku bagi pelanggaran;
h) Adanya ketentuan tersendiri mengenai dapat disitanya benda-benda yang diperoleh karena pelanggaran;
i) Tindak pidana yang telah dilakukan oleh seorang WNI di luar negeri hanya menimbulkan hak untuk melakukan penuntutan oleh Penuntut Umum, apabila tindak pidana tersebut oleh UU Pidana yang berlaku di Indonesia telah terkualifikasikan sebagai kejahatan dan bukan pelanggaran;
j) Ketentuan-ketentuan menurut UU Pidana Indonesia itu hanya dapat diberlakukan terhadap pegawai negeri yang diluar Indonesia telah melakukan kejahatan-kejahatan jabatan dan bukan pelanggaran-pelanggaran jabatan;
k) Pasal-pasal penadahan (Pasal 480 KUHP dst) selalu mensyaratkan bahwa benda-benda yang bersangkutan haruslah diperoleh karena kejahatan dan bukan pelanggaran;
l) Dalam hal perbarengan (Concorsus) para pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang ringan lebih mudah daripada pidana berat (Pasal 65, 66-70 KUHP).
c. Dalam hal terjadinya seseorang yang disangka melakukan tindak pidana pertama-tama yang harus dipersoalkan sebelum ia dijatuhi hukuman adalah membuktikan bahwa perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum (wederechtelijkheid) dan pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan. Berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geenstraf zonder schuld) dan tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan/ alasan pemaaf.
4. Salah satu unsur atau elemen dari tindak pidana adalah unsur melawan hukum, yang merupakan suatu penilaian objektif terhadap “feit” (perbuatan).
a. Jelaskan oleh Saudara pendapat dan perbedaan sifat melawan hukum beserta konsekuensinya;
b. Jelaskan pula perbedaan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi yang negatif dan positif disertai contohnya.
c. Apa akibat dalam lapangan hukum acara mengenai dicantumkan atau tidak dicantumkannya unsur melawan hukum dari suatu rumusan delik.
Jawab:
a. Perbedaan sifat melawan hukum dan konsekuensinya
Sifat melawan hukum dalam arti formal (wederechtelijk formele) yaitu suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang atau perbuatan yang melawan hukum positif tertulis.
Sifat melawan hukum dalam arti material (wederechtelijk materieele) yaitu suatu perbuatan dapat dipandang bersifat melawan hukum tidak hanya ditinjau apakah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis
Konsekuensinya jika dicantumkan secara tegas di rumusan delik dan ternyata tidak terbukti di sidang pengadilan maka putusannya harus vrijspraak (bebas), dan jika tidak dicantumkan secara tegas dalam delik dan ternyata tidak terbukti di pengadilan maka putusannya onslag van alle rechtsvevolging (lepas).
b. Perbedaan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi yang negatif dan positif
Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu sekalipun tidak bertentangan dengan perundang-undangan (melawan hukum formal) tetapi sepanjang perbauatan terdakwa adalah tindakan-tindakan yang tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan kepatutan sudah dapat dikatakan melawan hukum.
Contohnya: Arrest Dokter Hewan dari Desa Huizen tanggal 20 Februari 1933, Putusan MA RI tanggal 15 Desember 1933 No. 275K/Pid/1933 dalam Perkara Korupsi Bank Bumi Daya.
Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi negatif yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis dan bersifat umum sehingga tidak menjadi perbuatan pidana.
Contohnya: Putusan MA tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42K/Kr/1965
c. Akibat dalam lapangan hukum acara mengenai dicantumkan atau tidak dicantumkannya unsur melawan hukum dari suatu rumusan delik yaitu jika tercantum sebagai unsur delik maka harus dicantumkan dalam surat dakwaan dan kewajiban dari JPU untuk membuktikannya dalam sidang pengadilan; jika tidak tercantum sebagai unsur delik maka tidak perlu dicantumkan dalam surat dakwaan dan JPU tyidak perlu membuktikannya dalam sidang pengadilan.
5. Persoalan yang menyangkut ajaran sebab akibat dapat diterapkan dalam menentukan penentuan apakah perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Terkait dengan hal tersebut dikatakan bahwa teori sebab akibat dari von Buri adalah syarat mutlak (Conditio sine qua non).
a. Jelaskan teori ini;
b. Teori ini sangat memperluas dasar pertanggung jawaban pidana. Jelaskan dan beserta buktinya dengan contoh kasusnya.
Jawab:
a. Teori Conditio Sine Qua Non Von Buri
Intinya: Tiap perbuatan adalah sebab dari akibat.
Ini disebabkan karena untuk menentukan sesuatu akibat, tiap masalah yang merupakan syarat untuk timbulnya sesuatu akibat, adalah sebab dari akibat itu atau karena antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya terdapat suatu hubungan timbal balik, maka faktor-faktor tersebut dapat dipandang sebagi penyebab-penyebab dari suatu akibat yang telah timbul, sedang kepada semua faktor-faktor itu haruslah diberikan suatu nilai yang sama (teori ekuivalen).
b. Apabila menganut ajaran Von Buri, maka dasar pertanggungjawabannya sangat diperluas, disebabkan karena perbuatan-perbuatan yang jauh bangunannya dengan akibat, juga harus dianggap sebagi dari akibat. Jadi, ajaran Von Buri sangat memperluas strafrechtelijke aansprakellijkeheid.
Contoh:
A memukul B dan membuat kulit luka-luka ringan yang pada umumnya tidak mengakibatkan kematian. Berhubung luka-lukanya itu, B memerlukan perawatan dokter dan berjalan kaki menuju rumah sakit. Tapi dalam perjalanan, B ditabrak mobil C sehingga luka-luka berat, dan karena C tidak segera menolongnya, membuat B akhirnya mati.
Menurut Von Buri, apabila A tidak memukul B, B tidak akan menderita luka ringan. Jika B tidak luka ringan maka dia tidak perlu ke rumah sakit. Jika dia tidak perlu ke rumah sakit dia tidak akan luka berat ditabrak C. Jika C tidak menabraknya dia dapat sampai ke rumah sakit. Jika dia sampai kerumah sakit maka dia tidak akan mati.
Nampaklah dalam contoh ini batap lauasnya pertanggungjawaban pidana, sehingga ajaran Von Buri tidak dipergunakan dalam hukum pidana.
6. Berikan komentar Saudara terkait kasus video mesum, yang melibatkan anggota DPR (YZ) dan ME. Apakah masalah tersebut ada kaitannya dengan apa yang disebut “Klacht delict” ataukah “tidak”. Jelaskan secara tuntas!
Jawab:
Komentar saya terkait kasus video mesum yang melibatkan anggota DPR (YZ) dan penyanyi dangdut (ME) sangat memalukan.Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat yang duduk di dewan punya reputasi buruk bisa menjadi public figur yang baik. Karena kasus ini merupakan tindak pidana “perzinahan” (overspel) maka akan dikenai Pasal 284 ayat (1) angka 1 KUHP. Tetapi terkait adanya ketentuan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP, kasus ini termasuk delik pengaduan (Klacht delict) dan merupakan delik aduan absolute/ delik aduan mutlak yang artinya suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan dan yang diadukan hanyalah perbuatannya saja. Yang merasa dirugikan, dialah yang mengadu. Tetapi karena YZ disini adalah anggota DPR selain pengaduan dari pihak yang dirugikan dia juga dikenai sanksi oleh Badan Kehormatan DPR.
7. Suatu peristiwa tragis terjadi di wilayah hukum Bandung Timur, dimana Aniek Qoriah S., tega menghabisi ketiga anaknya yang notabene masih anak-anak yang memerlukan perhatian dan perlindungan dari kedua orang tuanya. Melalui suatu pemeriksaan yang intensif terungkap bahwa Aniek Qoriah S. dengan tega membunuh ketiga anaknya karena dengan alasan takut tidak bisa membahagiakan anak di masa depan, dan merasa takut pula bila nanti anaknya hidup susah.
Berkaitan dengan kasus diatas, masalah apa saja yang dapat Saudara kemukakan dengan memperhatikan:
a. Masalah pokok hukum pidana, yaitu pertanggungjawaban hukum pidana (mens-rea);
b. Teori-teori dan bentuk kesengajaan;
c. Bagaimanakah dengan kealpaan disadari (bewuste schuld);
Jelaskan secara tuntas dan apakah kasus tersebut ada kaitan dengan ketentuan dalam Pasal 44 KUHP.
Jawab:
a. Mengenai pertanggungjawaban hukum pidana (mens-rea).
Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh psikiater maka kejiwaan ibu Aniek S. Qoriah dinyatakan terganggu. Oleh karena itu, tindakannya membunuh ketiga anaknya menjadi tidak dipidana karena adanya ketentuan Pasal 44 KUHP ayat (1) “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” Karena perbuatan ibu Aniek S.Qoriah tidak dapt dipertanggunjwabkan kepada dirinya karena adanya gangguan kejiwaan, maka berdasarkan Pasal 44 ayat (2) KUHP:”Jika ternyata perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supayta orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagi percobaan”, maka hakim memerintahkan ibu Aniek masuk ke rumah sakit jiwa selama satu tahun sabagai masa percobaan.
b. Teori dan Bentuk Kesengajaan
Sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk)
Intinya melakukan tindakan yang terlarang secara dikehendaki dan dimengerti
Jadi apabila seseorang pada waktu ia melakukan suatu tindakan untuk menimbulkan suatu akibat terlarang,menyadari bahwa akibat tersebut pasti akan timbul atau mungkin dapat timbul karena tindakan yang sedang ian lakukan, sedangkan timbulnya akibat itu memang ia kehendaki, maka apabila kemudaian benar bahwa akibat tersebut telah timbul karena perbuatannya maka orang tersebut melakukan sengaja dengan maksud.
Contoh:
Apabila seseorang bermaksud membunuh lawannya dengan cara menembak orang tersebut dengan pistol. Ia juga menyadari bahwa apabila lawannya ditembak dengan jarak sangat dekat maka lawannya akan pasti atau mungkin mati. Karena matinya lawan memang ia kehendaki dan sebelum melakukannya ia pun telah mengetahui atau telah menyadari bahwa lawannya itu pasti atau mungkin akan meninggal dunia karena tembakannya, maka apabila ia benar-benar melakukannya dan lawannya benar-benar meninggal dunia maka ia sengaja melakukan dengan maksud.
Sengaja dengan kesadaran kepastian (opzet bij zakerheids-bewustzijn)
Intinya melakukan tindakan yang terlarang yang dilandasi oleh kesadaran akan kepastian (tentang timbulnya akibat lain daripada akibat yang memang ia kehendaki.
Contoh:
Dalam kasus diatas, apabila dalam melakukan niatnya itu, secara kebetulan terdapat orang lain yang ia ketahui atau ia sadari bahwa orang lain yang tidak bermaksud untuk membunuhnya itu pasti akan ikut tertembak mati, apabila ia melepaskan tembakan terhadap lawannya dan apabila kemudian orang lain itu telah ikut tertembak dan mati, maka ia telah melakukan sengaja dengan kesadaran kepastian.
Sengaja dengan kesadaran kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn)
Intinya apabila adanya kesadaran tentang timbulnya kemungkinan akibat lain dan akibat itu tidak membatalkan niatnya, dan kemudian ternyata bahwa akibat semacam itu benar-benar teerjadi ia dapat disebut melakukan sengaja dengan kesadaran kemungkinan.
Contoh:
Dalam kasus diatas, pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatannya untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang undang-undang telah menyadari kemungkinan menimbulkan suatu akibat yang lain daripada akibat yang memang ia kehendaki. Jadi jika kemungkinan yang ia sadari itu menjadi kenyataan, maka ia dikatakan mempunyai kesengajaan.
c. Kealpaan disadari (bewuste schuld)
Terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, tetapi akibat itu timbul juga.
Contohnya:
Mengendarai mobil yang remnya blong, supaya tidak terjadi kecelakaan maka ia menjalankannya dengan pelan-pelan dan memilih jalan yang tidak rawan, tetapi tabrakanterjadi juga.
8. Dalam teori Hukum Pidana dikenal 3 (tiga) alasan penghapusan pidana. Sebutkan alasan-alasan penghapusan pidana menurut teori hukum pidana tersebut.
Jawab:
Dalam teori Hukum Pidana dikenal 3 (tiga) alasan penghapusan pidana, yaitu:
(1) Alasan pembenar (rechtsvaardigingstheorie): yaitu alasan yang mengahapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
Terdapat dalam Titel Ketiga Buku Pertama KUHP yaitu Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht), Pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 50 mengenai melaksanakan undang-undang, Pasal 51 ayat (1) tentang melaksanakan perintah atasn (ambtelijk bevel).
(2) Alasan pemaaf (schulduitsluitingstheorie): yaitu alasan yang menghapusakan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan tindk dipidana, tetapi di atidak dapat dipidana, karena tidak ada kesalahan.
Terdapat dalam Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht), Pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas (noodweer-excess), Pasal 51 ayat (2) (alasan penghapus) tentang penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wenang.
(3) Alasan penghapus penuntutan (vervolgingssuitsluiting gronden): disini masalahnya bukan alasan pembenar atau pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan atau mengenai sifatnya pelaku, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak dilakukan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan disini adalah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntut tentunya pelaku tidak dapt dijatuhi pidana.
Contoh Pasal 53, kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan suatu kejahatan.
----------Selamat Bekerja----------
Pembahasan oleh:
1. Kardoman Tumangger
2. Gilbert Orlando Sitorus
3. Kartini Corytien Pardosi
Thanks and dedicated to: Jesus Christ my Saviour
Wednesday, January 02, 2008
Materi Ujian Akhir Semester HTN Tahun Akademik 2007/2008
Materi Ujian Akhir Semester
PENGANTAR
HUKUM TATA NEGARA
INDONESIA
OLEH:
KARDOMAN TUMANGGER
110110060381
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2006
1. Pengertian dan Ruang Lingkup HTN
a. Pengertian HTN menurut para pakar
b. Ruang lingkup HTN (terutama JHA. Logemann dan Usep Ranawidjaya)
c. Hubungan HTN dengan Ilmu Kenegaraan lainnya (terutama dengan HAN, Ilmu Negara, Ilmu Politik dan Perbandingan HTN)
(Soal UAS 2004, UAS 2003, UAS 1999)
2. Konvensi Ketatanegaraan
a. Pengertian konvensi ketatanegaraan menurut para pakar
b. Hubungan konvensi dengan konstitusi
c. Alasan konvensi ditaati
d. Contoh konvensi di Indonesia dan di negara lain
(Soal UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 1999, UAS 1997, UAS 1995)
3. Sistem Pemerintahan
a. Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil dan sistem parlementer menurut para pakar (Sri Soemantri, C. F. Strong, Alan R. Ball)
b. Sistem Pemerintahan yang diterapkan di Indonesia beserta landasan hukumnya
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 1999, UAS 1995)
4. Konstitusi
a. Materi Muatan Konstitusi (terutama menurut Sri Soemantri dan Miriam Budiardjo)
b. Metode/ Cara Perubahan Konstitusi
c. Sejarah Konstitusi/ Ketatanegaraan Indonesia
d. Nilai Konstitusi dan contohnya
e. Sifat Konstitusi
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 1995)
5. Sistem Badan Perwakilan
a. Teori Sistem Badan Perwakilan
b. Sistem Badan Perwakilan yang dipakai di Indonesia menurut UUD 1945
(Soal UAS 2007)
6. Pemilihan Umum
a. Cara penetapan pejabat negara
b. Sistem Pemilu dan Sistem Pemilu di Indonesia
c. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilu
d. Sistem Kepartaian
e. Fungsi dan Tujuan Partai Politik
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 1997, UAS 1995)
7. Hak Asasi Manusia
a. Jenis-jenis HAM menurut perkembangannya
b. HAM dalam UUD 1945 dan UUD 1945 Amandemen
(Soal UAS 2007, UAS 2006)
8. Pemerintahan Daerah
a. Asas-asas Pemerintahan Daerah
b. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
c. Perbedaan Hubungan Pemerintah Daerah dengan Permerintah Pusat dalam negara kesatuan dengan negara federal
d. Letak Hukum Pemerintahan Daerah dalam HTN-HAN
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 1999)
9. Hukum Kewarganegaraan
a. Asas-asas dalam menentukan kewarganegaraan
b. Pentingnya status kewarganegaraan
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2004, UAS 1999)
10. Materi-materi lainnya
a. Perbedaan Meteri Muatan UU Darurat, UU, Perpu ( Soal UAS 2006)
b. Hukum Tentang Lembaga-lembaga Negara khususnya kedudukan MPR dan MK menurut UUD 1945 dan UUD 1945 Amandemen (Soal UAS 2007, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003)
c. Pembentukan UU khususnya hak uji materiil (Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 1999)
11. Isitilah-istilah HTN yang sering ditanyakan:
a. Staatsrecht in ruimere zin dan staatsrecht in engere zin
b. Hak uji materiil dan hak uji formil
c. Separation of powers dan division of powers
d. Rigid Constitution dan Flexible Constitution
e. Otonomi Daerah, Desentralisasi, dan Dekonsentrasi
f. Revolusi, Coup d’etat,dan Pronunciamento.
g. Undang-undang organik dan Undang-undang non-organik
h. Sumber hukum materiil (welborn) dan sumber hukum formil (kenborn)
i. Amandemen dan referendum
j. Mahkamah Konstitusi, Komisi Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah
PENGANTAR
HUKUM TATA NEGARA
INDONESIA
OLEH:
KARDOMAN TUMANGGER
110110060381
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2006
1. Pengertian dan Ruang Lingkup HTN
a. Pengertian HTN menurut para pakar
b. Ruang lingkup HTN (terutama JHA. Logemann dan Usep Ranawidjaya)
c. Hubungan HTN dengan Ilmu Kenegaraan lainnya (terutama dengan HAN, Ilmu Negara, Ilmu Politik dan Perbandingan HTN)
(Soal UAS 2004, UAS 2003, UAS 1999)
2. Konvensi Ketatanegaraan
a. Pengertian konvensi ketatanegaraan menurut para pakar
b. Hubungan konvensi dengan konstitusi
c. Alasan konvensi ditaati
d. Contoh konvensi di Indonesia dan di negara lain
(Soal UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 1999, UAS 1997, UAS 1995)
3. Sistem Pemerintahan
a. Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil dan sistem parlementer menurut para pakar (Sri Soemantri, C. F. Strong, Alan R. Ball)
b. Sistem Pemerintahan yang diterapkan di Indonesia beserta landasan hukumnya
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 1999, UAS 1995)
4. Konstitusi
a. Materi Muatan Konstitusi (terutama menurut Sri Soemantri dan Miriam Budiardjo)
b. Metode/ Cara Perubahan Konstitusi
c. Sejarah Konstitusi/ Ketatanegaraan Indonesia
d. Nilai Konstitusi dan contohnya
e. Sifat Konstitusi
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 1995)
5. Sistem Badan Perwakilan
a. Teori Sistem Badan Perwakilan
b. Sistem Badan Perwakilan yang dipakai di Indonesia menurut UUD 1945
(Soal UAS 2007)
6. Pemilihan Umum
a. Cara penetapan pejabat negara
b. Sistem Pemilu dan Sistem Pemilu di Indonesia
c. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilu
d. Sistem Kepartaian
e. Fungsi dan Tujuan Partai Politik
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003, UAS 1997, UAS 1995)
7. Hak Asasi Manusia
a. Jenis-jenis HAM menurut perkembangannya
b. HAM dalam UUD 1945 dan UUD 1945 Amandemen
(Soal UAS 2007, UAS 2006)
8. Pemerintahan Daerah
a. Asas-asas Pemerintahan Daerah
b. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
c. Perbedaan Hubungan Pemerintah Daerah dengan Permerintah Pusat dalam negara kesatuan dengan negara federal
d. Letak Hukum Pemerintahan Daerah dalam HTN-HAN
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2005, UAS 1999)
9. Hukum Kewarganegaraan
a. Asas-asas dalam menentukan kewarganegaraan
b. Pentingnya status kewarganegaraan
(Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 2004, UAS 1999)
10. Materi-materi lainnya
a. Perbedaan Meteri Muatan UU Darurat, UU, Perpu ( Soal UAS 2006)
b. Hukum Tentang Lembaga-lembaga Negara khususnya kedudukan MPR dan MK menurut UUD 1945 dan UUD 1945 Amandemen (Soal UAS 2007, UAS 2005, UAS 2004, UAS 2003)
c. Pembentukan UU khususnya hak uji materiil (Soal UAS 2007, UAS 2006, UAS 1999)
11. Isitilah-istilah HTN yang sering ditanyakan:
a. Staatsrecht in ruimere zin dan staatsrecht in engere zin
b. Hak uji materiil dan hak uji formil
c. Separation of powers dan division of powers
d. Rigid Constitution dan Flexible Constitution
e. Otonomi Daerah, Desentralisasi, dan Dekonsentrasi
f. Revolusi, Coup d’etat,dan Pronunciamento.
g. Undang-undang organik dan Undang-undang non-organik
h. Sumber hukum materiil (welborn) dan sumber hukum formil (kenborn)
i. Amandemen dan referendum
j. Mahkamah Konstitusi, Komisi Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah
Subscribe to:
Posts (Atom)