Mencari Terobosan Kasus Soeharto
R FERDIAN ANDI R
Senin, 07 Januari 2008
Ketika Pak Harto kembali dirawat di RS Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (4/1) pekan lalu, perdebatan soal pemberian kepastian hukum Pak Harto pun langsung muncul ke tengah publik.
(iPhA/Dok-Indra Shalihin)
INILAH.COM, Jakarta — Perdebatan soal nasib dan status hukum mantan Presiden HM Soeharto selalu mencuat tiap kali penguasa Orde Baru itu masuk rumah sakit. Wacana itu kini bahkan meruncing pada kemungkinan pengesampingan perkara pidananya dengan alasan kemanusiaan dan jasanya kepada bangsa. Bagaimana seharusnya pemerintah menangani kepastian status Pak Harto?
Ketika Pak Harto kembali dirawat di RS Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (4/1) pekan lalu, perdebatan soal pemberian kepastian hukum Pak Harto pun langsung muncul ke tengah publik. Sebagian kalangan mengusulkan agar pemerintah segera memberikan pengampunan, namun sebagian yang lain menginginkan proses hukum tetap dilanjutkan.
Ada juga sebagian lagi yang mewacanakan perlunya ‘jalan tengah’ dalam bentuk terobosan hukum. Tujuannya relatif sama, yakni mengupayakan rasa hormat bangsa kepada orang besar yang pernah berjasa tanpa mengabaikan aspek kebenaran dan keadilan di mata rakyat.
Gurubesar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Romli Atmasasmita mengatakan, pemberian kepastian hukum dengan kondisi Pak Harto seperti saat ini, bisa dilakukan dengan terobosan, yaitu melalui pengadilan in absentia.
“Jaksa Agung dan MA harus bisa merekayasa sesuatu yang diperbolehkan dalam hukum. Karena hukum tidak hanya normatif namun living law, maka trial in absentia adalah sebuah terobosan,” tegasnya kepada Inilah.com, di Jakarta, Senin (7/1) pagi.
Sebenarnya kepastian hukum bagi Pak Harto telah menjadi keinginan politik pemerintah sejak sembilan tahun lalu. Dalam ketetapan MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, secara tegas pemerintah diminta menuntaskan kasus dugaan korupsi Pak Harto secara hukum.
Hingga kini Ketetapan MPR itu masih belum dicabut, artinya tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang baru. Isi ketetapan itu bahkan dikukuhkan melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003.
Sayangnya, kata Romli, dari proses awal hukum Pak Harto, sejak era Jaksa Agung Marzuki Darusman hingga Jaksa Agung Hendarman Supandji, tidak ada kemauan politik untuk segera menuntaskan kasus tersebut.
“Tidak ada keinginan kuat untuk mengusut kasus hukum Soeharto. Ingat kasus pidana seharusnya ditangani oleh Jaksa Agung yang langsung di bawah Presiden,” tegasnya.
Menurut mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini, dengan adanya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) di era Abdul Rahman Saleh (Jaksa Agung era awal pemerintahan SBY), maka penanganan kasus pidana dalam proses hukum Pak Harto pada prinsipnya masih terbuka.
“Kasus hukum Pak Harto masih terbuka. Tapi bila Jaksa Agung melakukan deponering (mengesampingkan perkara pidana, red), maka kasus pidana Soeharto benar-benar tertutup,” tegasnya.
Perdebatan soal pemberian kepastian hukum mantan orang nomor satu di republik itu sebenarnya telah semakin mengerucut pada wacana deponering.
Sebelumnya, usulan untuk mengesampingkan kasus pidana (deponering, red) atas Soeharto disuarakan oleh DPP Partai Golkar dengan pertimbangan dasar kemanusiaan terhadap Soeharto atas jasa-jasanya. Hal ini juga dimaksudkan agar stigma sosial yang buruk terhadap mantan penguasa Orde Baru itu dapat dihilangkan.
"Deponering dapat dilakukan oleh Jaksa Agung sesuai pasal 35 C UU Kejaksaan," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono di Jakarta, Sabtu (5/1) malam.
Hal yang sama ditekankan kembali oleh Ketua Golkar yang juga Gubernur Lemhanas, Muladi. Golkar mendesak deponering, kata Muladi, karena demi kepentingan umum dan mengingat jasa-jasa Pak Harto yang sangat besar terhadap bangsa.
Namun dia mengkhawatirkan langkah ini akan mengulang kasus mantan Presiden Presiden Soekarno. Saat itu, presiden pertama RI itu tidak diajukan ke mahkamah militer luar biasa. Namun, hingga Soekarno wafat, status hukumnya tetap sebagai tahanan.
"Bahwa orang-orang yang sangat berjasa di negeri ini harus mendapatkan kepastian status hukum. Dengan sistem hukum di Indonesia, ini dapat dilakukan dengan menggunakan asas opportunity," ujar Muladi, usai menjenguk Pak Harto di RS Pusat Pertamina Jakarta, Senin (7/1).
Demi kepentingan umum dan mengingat jasa-jasa Pak Harto yang sangat besar, kata Muladi, terobosan hukum penting dicarikan sebagai solusi. Muladi menggambarkan jasa Pak Harto saat pembebasan Irian Barat dan penumpasan G30 S PKI.
"Secara internasional beliau dihormati. Pro-kontra selalu terjadi di saat beliau sakit. Rasanya bangsa yang besar ini akan rugi bila selalu terjadi pro dan kontra," kata Muladi.
Demikian pula pendapat hakim agung Mahkamah Agung, Benyamin Mangkudilaga. Ia berpendapat lambatnya penanganan kasus hukum Soeharto selama ini telah menyebabkan polemik yang terjadi saat ini.
Ia menambahkan, sangat kecil kemungkinan untuk meneruskan kasus pidana Soeharto dalam situasi seperti sekarang.
“Tapi kalau perdatanya, apa pun juga kondisi Pak Harto, masih bisa diteruskan kepada ahli warisnya,” tegasnya kepada Inilah.com, Senin (7/1) pagi. Menurut dia yang terpenting adalah pengusutan atas harta kekayaan.
Perdebatan atas kasus hukum Soeharto memang belum akan tuntas seiring belum adanya ketetapan hukum yang tetap atas mantan penguasa rezim Orde Baru tersebut.
Namun Romli menegaskan, kasus Soeharto harus menjadi preseden bagi pemerintah dan aparat hukum, untuk segera menuntaskan suatu perkara hukum. Ini penting agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus tersandera oleh masa lalunya. [P1]
Dikutip oleh:
Kardoman Tumangger
Mahasiswa Fakultas Hukum Unpad
Untuk diketahui dan dibaca bagi teman2 yang berminat mengenai penyelesaian kasus Soeharto oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran,
Prof. Dr. Romli Atmasasmita
2 comments:
bang.. da yg versi Hukum acaranya g?
angk 07 saya... tq ^^
Wah, udah nyampur tuh...
Versi hukum acara dan versi hukum materiilnya
bisa kan kamu pilah2...
Post a Comment