Pada zaman dahulu adalah seorang petani yang sebatang kara bernama Toba yang menyendiri di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan sawah dan ladang untuk keperluan hidupnya. Sebenarnya dia sudah cukup berumur untuk menikah, tapi hingga saat itu dia belum mendapat jodoh juga.
Selain mengerjakan ladangnya, kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ke sungai yang berada tak jauh dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. Biasanya ikan hasil tangkapannya dibawa ke pondoknya untuk dimakan seorang diri. Hidupnya yang sederhana membuat dia tidak pernah merasa kekurangan sesuatu apapun.
Pada suatu hari, setelah pulang bekerja dari ladangnya, dia pergi ke sungai untuk memancing ikan. Tetapi sudah cukup lama ia memancing tak seekor iakan pun didapatnya. Kejadian yang seperti itu, tidak pernah dialami sebelumnya. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama tak ada yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing. Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancing itu jauh ketengah sungai. Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, Karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar. Setelah beberapa lama dia biarkan pancingnya ditarik ke sana kemari, barulah pancing itu disentakkannya, dan tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu.
Namun, saat dia sudah melepaskan mata kail dari mulut ikan itu, ikan itu pun langsung berkata:
“Tolong, jangan bunuh aku, aku akan mengabulkan permintaanmu nantinya..”
Toba pun merasa ketakutan karena belum pernah sebelumnya dia mendengar bahwa ikan dapat berbicara. Kemudian ikan itu berkata lagi:
“Jangan takut. Bawalah aku ke rumahmu dan taruhlah aku selama seminggu di kamarmu dan kau tidak boleh melihat aku sebelum seminggu berlalu.”
Kemudian, Toba pun melaksanakan sesuai keinginan ikan. Dibawa dan ditaruhnya ikan tersebut di dapurnya dan tidak dikunjunginya selama seminggu. Seminggu kemudian, ketika Toba hendak melihat ikan tersebut, dia sudah tidak menemukannya lagi. Yang ia lihat hanyalah kepingan-kepingan emas dan seorang gadis cantik jelita. Kemudian gadis itu pun menceritakan bahwa ia adalah penjelmaan dari ikan tersebut dan kepingan-kepingan emas itu adalah bekas sisiknya. Karena demikian jelitanya sehingga Toba pun akhirnya memberi nama gadis itu Puteri dan melamar gadis itu sebagai permintaannya dan kemudian gadis itu menerimanya dengan satu syarat bahwa apapun terjadi kemudian, maka Toba tidak boleh memberitahu kepada siapapun bahwa ia adalah keturunan ikan termasuk anak mereka sekalipun. Toba pun kahirnya setuju dan mereka menikah.
Selama pernikahan mereka, hidup mereka bahagia dan Toba pun tetap menjaga rahasia tentang ikan jelmaan itu. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Samosir. Anak itu sangat dimanjakan ibunya yang mengakibatkan anak itu bertabiat kurang baik dan pemalas. Selain itu, anak itu juga sering mengambil yang bukan haknya.
Kehidupan mereka berjalan sebagaimana mestinya, Toba bekerja di ladang, Puteri mengurusi rumah sedangkan Samosir mengantar makanan ke ayahnya yang bekerja di ladang. Suatu hari yang terik, anak itu disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, ia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksa ibunya memaksanya. Karena terus dipaksa ibunya, dengan kesal pergilah ia mengantarkan nasi itu. Di tengah jalan, ia bertemu dengan teman-temannya dan bermain-main cukup lama. Karena merasa lapar akhirnya sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Ketika menyadari bahwa ia lupa mengantarkan makanan untuk ayahnya maka ia berlari-lari ke ladang. Setibanya diladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, si ayah sudah merasa sangat lapar karena nasinya terlambat sekali diantarkan. Oleh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika melihat nasi yang diberikan kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnya makin bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang memakan sebagian besar dari nasinya itu.
Karena amarah ayahnya, maka dia dipukul oleh ayahnya sambil berkata:
“Anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”
Ketika Toba menyadari kesalahannya, anak itu telah berlari entah kemana. Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa dia dipukul ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya di ceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu.
Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan perintah ibunya itu. Ia pergi ke puncak bukit dan mendakinya sampai ke puncaknya. Ketika ibunya melihat anaknya telah sampai di puncak bukit dan telah memanjat pohon tertinggi, maka sang Ibu berdoa sambil menangis kepada Tuhan. Setelah itu, turunlah hujan yang deras sekali selama berhari-hari dan menenggelamkan daerah tempat tinggal mereka. Puteri itu kemudian menerjunkan dirinya ke dalam kumpulan air yang semakin lama semakin meluas sehingga membentuk danau. Toba yang sedang marah tidak mampu mneyelamatkan dirinya sehingga mati tenggelam di genangan air tersebut. Demikian luasnya genangan air tersebut sehingga membentuk danau yang kemudian disebut Danau Toba sedangkan daerah dimana anak tersebut berada disebut Pulau Samosir yaitu daratan di tengah-tengah danau tersebut.
Legenda ini aku tulis khusus atas permintaan seorang kenalan dari Bali.
Lely Ratna, selamat membaca dan jangan mudah marah.
OK!
Your sincerely, Kardoman Tumangger
No comments:
Post a Comment