Dare to live until the very last. Dare to live forget about the past. Dare to live giving something of yourself to others, even when it seems there's nothing more left to give.
Thursday, May 15, 2008
Taman Wisata Iman Sitinjo Sidikalang
“Sitinjo, An Unique Spiritual Tourism Site.” Demikian sebuah media nasional berbahasa Inggris tanah air, 9 Januari 2005 menginterprestasikan panorama wisata alam religius Dairi yang akan kami singgahi. Letaknya di Kecamatan Sitinjo, 3 kilometer dari Kota Sidikalang.
Mobil masih melaju melintasi aspal hitam. Pemandangan di luar kabin seakan menarik kami untuk segera tiba di tujuan. Tak sabar rasanya. Fauzi, sang fotografer mulai sibuk menyetel kamera. “Ini pasti menarik,” katanya.
Tak lama, mobil menikung ke kiri, melewati sebuah portal yang bertuliskan “Taman Wisata Iman”. Taman Wisata Iman, sebuah nama yang tepat untuk lokasi yang mengandung sejuta makna ini. Jejeran pinus menghantar kesejukan pada mata. Lalu, satu persatu bangunan rumah ibadah ibadah masing-masing agama tampak berdiri tegar. Semua rumah ibadah ada di sana. Seakan-akan Dairi ingin menunjukkan bahwa keaneragaman agama yang saling rukun dan bersatu adalah sesuatu nilai yang agung dan pantas ditanamkan.
Mobil kami menanjak jalanan berliku. Namun bagi umat Kristiani, jalanan yang berliku dan mendaki diyakini memiliki nilai spiritual tersendiri. Bagi mereka, berjalan di sepanjang Taman Wisata Iman mengibaratkan perjalanan Yesus memikul salib hingga Puncak Golgota.
Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.
“Itulah fungsi utamanya. Mengenangkan penderitaan Yesus atau the Passion of the Christ seperti dalam film gubahan Mel Gibson itu ,” kata Sekda Kecamatan Sitinjo Anton Sihaloho sarat makna.
Sekitar 100 meter setelah mendaki jalan berliku, perjalanan kami hentikan. Sebuah vihara berdiri tepat di sebelah kiri jalan. Vihara Saddhavadana namanya. Vihara ini telah berdiri sejak tahun 2002 dan hinga kini selalu ramai dipenuhi umat Buddha baik lokal mau pun Medan, bahkan kota-kota lain.
Memasuki bagian dalam vihara, sejenak keheningan terasa. Sebuah patung Buddha duduk bersila dengan telapak tangan menengadah ke depan sementara tangan kiri menyokong sikunya dari bawah. Temaram lampu redup menyala membikin suasana semakin sakral. Gema suara pelan dengan penjaga vihara masih dapat terdengar menggelinding di antara bangunan.
Perjalanan kembali dilanjutkan. “Goa Bunda Maria, sakrarlnya,” Membuat kami penasaran. Kami pun segera turun. Sebelum menuju ke sana kami pun harus melewati jalan-jalan setapak menurun. Hamparan bunga-bungaan sedikit mengusik pikiran akan firdaus. Damainya.
Jalan menurun, meski melelahkan namun paling tidak sebuah makna tergapai dari sana. Relief-relief yang menggambarkan perjalanan penderitaan Yesus sebelum naik ke surga (the Passion of the Christ) terasa hidup. Patung-patung itu menggambarkan ketika Yesus diadili, disiksa, memikul salib ke Puncak Golgata hingga akhirnya Ia disalibkan dan dikuburkan di sebuah gua.
Beberapa pondok kecil dengan jendela terbuka menghadap lembah dan bukit meramaikan bangunan gereja di samping relief-relief itu. Sambil menunggu keluarga yang sedang berdoa, para pengunjung beragama Kristen masih dapat bersabar dengan ayunan dan beberapa tempat duduk dari kayu di taman tak jauh dari pondok doa itu.
Masih setengah perjalanan. Terasa lelah mendaki jalanan berkelok naik turun, kami pun beristirahat sejenak. Pemandangan alam yang indah. Udara aroma pinus tercium di mana-mana. Anak-anak pelajar tampak berbondong-bondong. Beberapa keluarga asyik berkumpul menikmati makan siang beralaskan tikar. Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.
Kami akhirnya tiba di sebuah bangunan mesjid dan relief Ka’bah di sampingnya, setelah beberapa menit mengunjungi pura bagi penganut agama Hindu. Bangunannya tepat menghadap lembah dengan sebuah taman dan tempat duduk kayu di depannya. Dari sini akan tampak pemandangan menuju Kecamatan Sumbul.
Relief Ka’bah tampak dikelilingi bunga-bunga. Beberapa pengunjung tampak asyik membidikkan lensa kameranya. Ada juga yang berjalan-jalan di sekitar taman sambil memandanginya lama-lama. Inilah puncak perjalan ke Taman Wisata Iman.
Sembari menikmati hidangan kopi panas, di hari yang mulai sore itu, kembali terenung dalam hati bahwa inilah karunia Sang Penguasa. ***
Posted by Northsumatra - Tourism at 3:38 AM
Labels:
Batak,
Dairi,
Pakpak,
Sidikalang,
Sitinjo,
Sumatera Utara,
Taman Wisata Iman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment