Monday, December 29, 2008

Studi Kasus Perbuatan Melawan Hukum Kasus Pembunuhan Munir dari Aspek Hukum Perdata Internasional

Oleh: Kardoman Tumangger, dkk


BAB I

LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS 


DAN KASUS POSISI


A. Latar Belakang Pemilihan Kasus

Dalam banyak kejadian perbuatan melawan hukum, misalnya pembunuhan berencana yang akibatnya diatur oleh hukum pidana, maka sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 340 maka akan dijatuhkan pidana sesuai dengan ancaman dalam undang-undang tersebut. Penjatuhan pidana dianggap sudah setimpal atau adil dengan perbuatan yang telah dilakukan pelakunya dengan pertimbangan-pertimbangan oleh hakim. Hal ini memang sesuai dengan salah satu teori penjatuhan pidana yaitu teori pembalasan (vergeldings theorie) yang mengatakan bahwa pidana tidak bertujuan untuk hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat, kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkannya pidana kepada pelanggar.


Pemikiran umum seperti ini ternyata bagi sebagian orang masih dianggap belum adil. Karena kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain selain menimbulkan penderitaan terhadap korban juga yang menimbulkan kerugian. Dan hal ini sudah diantisipasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia. Dalam salah satu pasalnya, yaitu Pasal 1370 : “Dalam halnya suatu pembunuhan dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang maka suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban, yang lazimnya mendapat nafkah dari si korban yang mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.” Aturan ini menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum selain mengandung aspek pidana juga mengandung aspek perdata yaitu terkait ganti kerugian.

Kasus pembunuhan aktivis HAM Indonesia, pendiri KontraS dan Imparsial, Munir Said Thalib (39) yang diduga diracun arsenik dari mie goreng yang dikonsumsinya di Bandara Changi, Singapura merupakan salah satu kasus Hukum Perdata Internasional. Munir yang dalam perjalanannya untuk melanjutkan studi pasca sarjana ke Belanda, meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor GA 974 di sekitar daerah Madras setelah akhirnya mendarat di Bandara Schippol, Amsterdam. Setelah di otopsi oleh Institut Forensik Belanda (NFI), dinyatakan bahwa di dalam tubuhnya terkandung racun arsenik dengan jumlah dosis yang dapat berakibat fatal. Kasus pembunuhan ini menarik untuk dibahas, karena sepanjang sepengetahuan Tim Penulis, kasus ini lebih sering diperbincangkan dalam konteks hukum pidana saja (terutama pengungkapan kebenaran materiilnya). Oleh karena itu, Tim Penulis ingin menguraikan bahwa di dalam kasus ini juga terkandung aspek hukum lain, yaitu aspek hukum perdata internasional.

B. Kasus Posisi

Munir Said Thalib (39) berkewarganegaraan Indonesia, meninggal pada tanggal 7 September 2004 dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor GA 974 yang terbang dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta menuju Bandara Schippol, Amsterdam tanggal 6 September 2004. Di dalam perjalanan sebelum transit di Bandara Changi, Singapura, Munir memakan mie goreng yang kemudian diketahui mengandung racun arsenik dengan konsentrasi tinggi. Dalam melanjutkan perjalanan ke Belanda, dua jam sebelum mendarat di Bandara Schippol Amsterdam, Munir diketemukan tewas.
Dalam kasus pembunuhan terhadap Munir Said Thalib (39) ini, istri Munir (Suciwati) juga berkewarganegaraan Indonesia dan keluarga menjadi pihak korban (sekaligus penggugat) mempunyai hak untuk menggugat secara perdata kepada PT Garuda Indonesia (tergugat I), Indra Setiawan (Tergugat II), Ramelgia Anwar (Tergugat III), Rohainil Aini (Tergugat IV), Pollycarpus Budihary Priyanto (Tergugat V), Yetti Susmiarti (Tergugat VI), Oedi Irianto (Tergugat VII), Brahmanie Hastawati (Tergugat VIII), Pantun Matondang (Tergugat IX), Madjib Radjab Nasution (Tergugat X), Sabur M. Taufik (Tergugat XI) atas gagalnya memberikan pelayanan yang aman, nyaman dan selamat kepada penumpang.


BAB II

MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK


A. Masalah Hukum

Dalam kasus pembunuhan terhadap Munir ini, dimana Tim Penulis akan menarik aspek perdata internasionalnya, ada beberapa masalah hukum yang akan Tim Penulis uraikan, yaitu:
1) Pengadilan manakah yang berwenang mengadili kasus ini?
2) Apa yang menjadi titik taut primer (titik taut pembeda) kasus ini sehingga merupakan kasus perdata internasional?
3) Apakah klasifikasi kasus ini dalam hukum perdata internasional?
4) Apa yang menjadi titik taut sekunder (titik taut penentu) kasus ini untuk menentukan hukum mana yang berlaku?
5) Apakah lex cause kasus ini?


B
. Tinjauan Teoritik

Berikut ini, Tim Penulis akan menjelaskan mengenai asas, kaidah, teori, doktrin, konsep yang relevan dengan masalah yang dibahas yaitu Pebuatan Melawan Hukum yang disarikan dari buku “Pengantar Hukum Perdata Internasional Buku ke VIII” karangan Prof. Dr. Sudargo Gautama, S.H.

1. Pengertian Istilah

Istilah perbuatan melanggar hukum dikenal dalam bacaan HPI sebagai onrechtmatigedaad (Belanda), Perancis “delit” atau acte illicit dengan istilah kumpulan “obligations delictuelles et quasi delictuelles, obligations quasi contractuelles, obligations purement legalis”, unerlaubte handlungen” (Jerman).
Kaidah-kaidah HPI yang mengatur materi-materi ini tidak semata-mata dibataskan kepada perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja, karena kesalahan pihak yang melakukan, baik dengan sengaja (intentional) atau hanya karena kelalaian (negligence). Istilah untuk kategori ini adalah “quasi delicts” tetapi, kini pada umumnya pengertian-pengertian yang dipergunakan dalam rangka “perbuatan melanggar hukum” dalam bacaan HPI tidak membedakan secara tegas antara kedua bagian ini. Juga tanggung jawab yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum tanpa kesalahan termasuk di sini.
Di sini orang teringat kepada “tanggung jawab karena resiko”. Orang dapat melakukan perbuatan yang menurut hukum sama sekali sah adanya adanya, tetapi toh hal ini bisa menyebabkan kerugian bagi orang lain. Jika ia terjadi maka ia harus pula menanggung resiko untuk mengganti kerugian itu.

2. Teori klasik: hukum tempat terjadinya perbuatan melanggar

Kaidah “lex loci delicti” merupakan kaidah yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menemukan tantangan sedikitpun. Kaidah ini dianggap terlalu kaku sebagai “hard and fast rule” kurang memperlihatkan “souplesse” yang demikian diperlukan bilamana hendak memenuhi kebutuhan-kebutuhan hukum yang demikian aneka warnanya dalam realitas kehidupasn sehari-hari.
Hukum yang berlaku untuk peruatan melanggar hukum ialah hukum dimana perbuatan itu dilakukan atau terjadi. Hukum ini menentukan baik mengenai syarat-syaratnya (jadi mengenai pertanyaan apakah telah terjadi suatu perbuatan melanggar hukum ialah onrechtmatigheidsvraag)” maupun juga sampai sejauh manakah akibat-akibat daripadanya. Dengan kata lain tidak diadakan perbedaan antara “syarat-syarat” untuk perbuatan melanggar hukum dan akibat-akibat hukumnya.

3. Prinsip lex fori

Terhadap teori klasik yang diuraikan tadi menurut Wachter dan Savigny telah dipupuk pendirian bahwa dalam perkara-perkara perbuatan melanggar hukum selalu harus dipergunakan hukum dari forum sang hakim. Hal ini disebabkan karena kaidah-kaidah yang mengatur persoalan perbuatan melanggar hukum dan akibat-akibatnya mengenai pergantian kerugian adalah bersifat demikian memaksa, karena segi-segi ethisnya, hingga hakim dari setiap negara tak akan dapat menyimpang dari padanya.
Kaidah-kaidah perbuatan melanggar hukum dari negara lain tak akan dipergunakan. Pikiran ini adalah sejalan dengan pendapat bahwa perbuatan melanggar hukum dari negara lain tak akan dipergunakan. Pikiran ini adalah sejalan dengan pendapat bahwa perbuatan melanggar hukum ini bersifat kriminal pula, setidak-tidaknya segi-segi kepidanaan ini memengaruhi dengan sangat Lex Fori ini juga menentukan kompetensi hakim.


4. HATAH ekstern Indonesia


Untuk HPI indonesia umumnya dikenal pula pemakaian prinsip “Lex Loci delicti” sebagai prinsip umum. Hal ini dapat kita saksikan dari pendirian para penulis dan juga dalam yurisprudensi walaupun perkara-perkara yang kita saksikan tak banyak. Telah disebutkan dalam rangka pembicaraan mengenai titik-titik taut beberapa keputusan yurisprudensi Indonesia yang memakai hukum tempat dimana perbuatan telah dilakukan.

5. Pendirian Yurisprudensi HAG di Indonesia; hukum dari pihak yang melanggar.

Dalam suasana HAG, dimana batas-batas hukum yang berlaku atas ukuran-ukuran personal (HAG= interpersoneel recht, interpersonal law) maka dapat dikatakan telah terpuruk dalam yurisprudensi suatu kaidah yang pasti, bahwa dalam persoalan-persoalan perbuatan melanggar hukum yang dipakai ialah “hukum dari pihak si pelanggar”. Untuk menentukan apakah dan seberapa jauh telah terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigheidsvraag) telah dipergunakan pula hukum dari pihak sang korban.
Pemakaian azas “hukum dari pihak yang melanggar” boleh dikatakan pasti adanya. Hanya sebagai pengecualian kadang-kadang dapat dipakai perlunakan dengan memakai hukum pihak yang lain (yakni dari sang korban), apabila pihak pelanggar ternyata telah “masuk ke dalam suasana hukum dari pihak lain”itu.

6. Tendensi dalam waktu akhir : diperlukan “pelembutan dari kaedah klasik”.

Pada latar belakang semua keberatan-keberatan yang diajukan terhadap teori klasik mengenai lex loci delicti commissi ini nampak ketidakpuasan dengan sikap kaku (rigide), yang mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara otomatis oleh pihak hakim, sebagai “hard and fast rule”, tanpa memperhatikan “keadaan sekitarnya” peristiwa bersangkutan, tak adanya “souplesse” atau “soupelheid” sedikitpun.

7. Perumusan dalam Restatement Second

Kaidah utama yang termaktub dalam paragrap 379 “Restatement of the Law of Conflict of Laws as adopted and promulgated by the “American Law Institute” yang telah ditambahkan dengan perincian titik taut secara enunsiatip, yakni :
1. the place where the injury occured,
2. the place where the conduct occured,
3. the domicilie, nationality, place of incorporation and place of business of the parties, and
4. the place where the relationship, if any between the parties is centered.
Nilai dari titik-titik taut ini adalah relatif.

8. Perbuatan melanggar hukum dalam Eenvormige Wet Benelux

Dalam Konsep Rancangan E. W. Benelux pasal 18 mulai ayat pertamanya menunjuk Lex Loci Delicti yang berlaku untuk “onrechtmatigheidsvraag’ dan juga untuk akibat-akibatnya.

9. “Millieu social” dalam alam HATAH-Indonesia

Siapa yang memerhatikan perkembangan jurisprudensi HAG sekitar perbuatan melanggar hukum akan melihat bahwa tidak selalu hakim menganggap dirinya terikat pada kaidah umum yang dipakai tetapi, kadang-kadang dapat pula diperhatikannya hukum dari pihak yang lain (yakni sang korban), dalam hal bilamana ternyata pihak dader ini telah “masuk dalam suasana hukum dari pihak yang lain”.

10. Tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum.

Berbagai teori telah dikemukakan untuk memecahkan persoalan ini antaranya :
a. Teori tempat terjadinya kerugian;
Titik berat diletakkan atas tempat di mana kerugian timbul.
b. Teori tempat dimana dilakukan perbuatan;
Titik berat harus dilakukan atas tempat di mana si pelanggar melakukan perbuatannya.
c. Teori kombinasi dengan kebebasan memilih;
Teori ini mengadakan kombinasi prinsip antara tempat terjadinya kerugian dan tempat dilakukannya perbuatan.


BAB III

RINGKASAN PERTIMBANGAN HUKUM DAN PUTUSAN


A. Ringkasan Pertimbangan Hukum

Adapun pertimbangan yang dipakai oleh hakim dalam memutus perkara ini secara singkat adalah sebagai berikut:
1. Untuk petitum angka I “Menerima dan mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya” maka majelis hakim akan mempertimbangkan apakah penggugat dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya sehingga petitum gugatan dapat dikabulkan.
2. Untuk petitum angka II “Menyatakan bahwa TERGUGAT I, TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI, TERGUGAT VII, TERGUGAT VIII, TERGUGAT IX, TERGUGAT XI dan TERGUGAT X telah melakukan perbuatan melawan hukum” majelis hakim memberi pertimbangan antara lain:
• Tergugat I harus bertanggung jawab pula terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat IX.
• Tergugat IX selaku pribadi dan pilot GA 974 Singapura-Amsterdam dipandang telah melakukan perbuatan melawan hukum.
• Tergugat II selaku pribadi dan Dirut PT Garuda Indonesia 2002-2005 tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
• Tergugat III, IV, V, VI, VII, VIII, X, XI tidak memiliki peranan dalam kelalaian tergugat IX karenanya tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
• Tergugat I bertanggung jawab atas ganti rugi atas kelalaiannya.
3. Untuk petitum III “Memerintahkan Para TERGUGAT meminta maaf kepada PENGGUGAT melalui 5 Media cetak yaitu : KOMPAS, KORAN TEMPO, Jawa Pos, Suara Pembaharuan dan JAKARTA POST dan 7 media elektronik yaitu, SCTV, TRANS TV, RCTI, INDOSIAR, METRO TV, TV 7, LATIVI yang format dan isinya ditentukan oleh PENGGUGAT selama 7 hari berturut-turut”; petitum IV “Memerintahkan TERGUGAT I untuk melakukan pemeriksaan independen terhadap kinerja TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI, TERGUGAT VII, TERGUGAT VIII, TERGUGAT IX, TERGUGAT XI, TERGUGAT X dan kru pesawat dalam penerbangan GA 974 tanggal 6 September 2004. Pemeriksa independen yang dimaksud harus melibatkan unsur akademisi, ahli penerbangan, ahli manajemen perusahaan, dan sepuluh perwakilan dari NGO yang terkait dengan Munir”; petitum V “Memerintahkan TERGUGAT I membuat Monumen Peringatan atas Kematian Aktivis HAM Munir dalam Pesawat GA 974 di halaman kantor TERGUGAT I sesuai dengan gambar dan ukuran yang ditentukan oleh PENGGUGAT”; petitum VI “Memerintahkan TERGUGAT I mengeluarkan peringatan kepada masyarakat tentang keselamatan naik garuda yang berisi pernyataan salah satunya “PERNAH JATUH KORBAN PERACUNAN DALAM PESAWAT INI”. Peringatan tersebut harus dicetak dalam seluruh tiket beserta dan seluruh benda yang terkait dengan penerbangan TERGUGAT I”; petitum VII “Memerintahkan TERGUGAT I melakukan perbuatan hukum berupa penjatuhan sanksi administratif/kepegawaian sesuai dengan tingkat kesalahan masing-masing terhadap TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI, TERGUGAT VII, TERGUGAT VIII, TERGUGAT IX, TERGUGAT XI dan TERGUGAT X” semuanya dari petitum yang telah tersebut diatas tidak beralasan hukum dan karenanya harus ditolak.
4. Untuk petitum angka VIII “Menghukum PARA TERGUGAT secara tanggung renteng untuk membayar segala kerugian yang dialami oleh PENGGUGAT, yakni sebesar Rp. 14.329.107.500 (Empat Belas Milyar Tiga Ratus Dua Puluh Sembilan Juta Seratus Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah)” majelis hakim berpendapat para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi.
5. Untuk petitum IX “Menyatakan sah dan berharga sita lebih dulu yang telah diletakkan atas barang-barang yang bersangkutan” tidak beralasan hukum karenanya harus ditolak.
6. Untuk petitum XI “Menyatakan bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada upaya verzet, banding, kasasi; perlawanan dan/atau peninjauan kembali (uitvoerbaar bij Voorraad)” tidak memenuhi syarat-syarat dalam perkara aquo maka petitum ini tidak beralasan hukum dan karenanya harus ditolak.

B. Putusan

Adapun putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam perkara ini antara lain:
Dalam eksepsi: menolak eksepsi para tergugat.
Dalam pokok perkara:
1. Mengabulkan gugatan tergugat sebagian.
2. Menyatakan tergugat I : PT. (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia dan tergugat IX : Pantun Matondang, telah melakukan perbuatan melawan hukum.
3. Menghukum tergugat I dan IX secara tanggung renteng untuk membayar kerugian yang dialami penggugat sebesar Rp. 664.209.900,-
4. Menolak gugatan penggugat untuk selebihnya.
Dalam rekonpensi: menolak gugatan rekonpensi seluruhnya.
Dalam konpensi dan rekonpensi: menghukum tergugat I dan IX dalam konpensi/ para penggugat dalam rekonpensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.644.000,-



BAB IV 

ANALISIS KASUS


1. Fakta Hukum

Fakta hukum yang dapat ditemukan dalam kasus ini adalah:
Munir Said Thalib (39) berkewarganegaraan Indonesia sebagai korban, meninggal dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor GA 974 yang terbang dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta menuju Bandara Schippol, Amsterdam pada tanggal 7 September 2004. Di dalam perjalanan sebelum transit di Bandara Changi, Singapura, Munir memakan mie goreng yang kemudian diketahui mengandung racun arsenik dengan konsentrasi tinggi. Dalam melanjutkan perjalanan ke Belanda, dua jam sebelum mendarat di Bandara Schippol Amsterdam, Munir diketemukan tewas.

Dalam kasus pembunuhan terhadap Munir Said Thalib (39) ini, istri Munir (Suciwati) juga berkewarganegaraan Indonesia dan keluarga menjadi pihak korban (sekaligus penggugat) mempunyai hak untuk menggugat secara perdata kepada PT Garuda Indonesia (tergugat I), Indra Setiawan (Tergugat II), Ramelgia Anwar (Tergugat III), Rohainil Aini (Tergugat IV), Pollycarpus Budihary Priyanto (Tergugat V), Yetti Susmiarti (Tergugat VI), Oedi Irianto (Tergugat VII), Brahmanie Hastawati (Tergugat VIII), Pantun Matondang (Tergugat IX), Madjib Radjab Nasution (Tergugat X), Sabur M. Taufik (Tergugat XI) atas gagalnya memberikan pelayanan yang aman, nyaman dan selamat kepada penumpang.

2. Pengadilan yang Berwenang

Pengadilan yang berwenang mengadili perkara ini adalah Pengadilan Indonesia, karena:
a.Forum rei (domisili) para tergugat di Jakarta, Indonesia;
b.Berdasarkan principle of basis presence yaitu gugatan diajukan di pengadilan tempat tergugat dan penggugat berdomisili;
c.Berdasarkan principle of convenience, yaitu tergugat diberi kemudahan untuk membela diri;
d.Berdasarkan principle effectiveness yaitu agar putusan dapat efektif dilaksanakan;
e.Prinsip lex loci delicti commis, yaitu tempat terjadinya perbuatan melawan hukum dilakukan berada di pesawat Indonesia yaitu Garuda Indonesia.
f.Prinsip lex fori, yaitu hukum dari hakim (Indonesia) yang mengadili.
g.Pengadilan yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Indonesia.

3. Titik Taut Primer (Titik Taut Pembeda)

Unsur-unsur yang menandakan adanya unsur asing, sehingga ada kemungkinan suatu kaidah hukum asing yang berlaku bagi suatu peristiwa hukum , dinamakan titik-titik taut, atau titik pertalian, atau anknupfungspunkte, atau points of contact, atau test factors, atau connecting factors, atau points de rattachement (Perancis). Titik taut primer adalah unsur-unsur yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa Hukum Perdata Internasional atau bukan. Jadi titik taut primer adalah titik taut yang membedakan Hukum Perdata Internasional itu dari peristiwa intern (bukan Hukum Perdata Internasional). Oleh sebab itu, maka titik taut primer juga dinamakan titik taut pembeda.

Titik taut primer dapat berupa:
1.Kewarganegaraan;
2.Bendera kapal;
3.Tempat kedudukan badan hukum;
4.Domisili;
5.Tempat kediaman, dll.

Dalam kasus pembunuhan Munir ini, titik taut primer yaitu tempat keberangkatan Bandara Soekarno Hatta (Indonesia), tempat diracuni di Singapura, tempat merasakan sakit di Madras, tempat meninggalnya di Belanda.

4. Klasifikasi/ Kualifikasi

Klasifikasi atau kualifikasi adalah penggolongan peristiwa atau hubungan hukum ke dalam kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional dan hukum materiil. Dalam kaidah hukum materiil Indonesia dikenal permasalahan hukum perdata internasional dibagi dalam empat klasifikasi, yaitu:
1) Hukum orang;
2) Hukum benda;
3) Hukum perjanjian;
4) Hukum perbuatan melawan hukum;

Dalam kasus pembunuhan Munir ini, klasifikasi permasalahan adalah perbuatan melawan hukum, dimana dalam diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu apabila mengandung unsur:
a. Adanya perbuatan yang mengandung kesalahan;
b. Perbuatan itu menimbulkan kerugian;
c. Ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

5. Titik Taut Sekunder

Titik taut sekunder yaitu akan menentukan hukum manakah yang harus berlaku bagi peristiwa Hukum Perdata Internasional itu. Karena itu, titik taut sekunder ini juga biasa dinamakan titik taut penentu.
Titik taut sekunder dapat berupa:
1.Pilihan hukum (choice of law);
2.Tempat terletaknya benda (lex sitae);
3.Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis);
4.Tempat dilangsungkannya perkawinan (lex celebretionis);
5.Tempat ditanda tanganinya kontrak (lex loci contractus);
6.Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi)

Dalam kasus Munir ini, yang menjadi titik taut sekunder yaitu:
a. Tempat terjadinya peristiwa/ tempat meninggalnya di Belanda;
b. Tempat diracuninya di Singapura di dalam pesawat Garuda Indonesia berbendera Indonesia;
c. Tempat perbuatan melawan hukum di Madras.

6. Lex Cause

Hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia. Berkaitan dengan hukum yang berlaku bagi perbuatan melawan hukum, maka terdapat beberapa prinsip:

1) Prinsip lex loci delicti commisi
* Bahwa hukum yang berlaku bagi perbuatan melawan hukum adalah hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan atau terjadi.
* Berdasarkan prinsip ini, maka dalam kasus Munir lex loci delicti commisi adalah tempat meninggalnya (Belanda), tempat diracunnya (Singapura), tempat merasa sakit (Madras).

2) Prinsip lex fori
* Bahwa penentuan kualitas suatu prebuatan hukum sebagai perbuatan melawan hukum harus ditentukan oleh forum hukum (tempat diadili).
* Hal ini disebabkan karena kaidah-kaidah yang mengatur perbuatan melawan hukum dan akibatnya yaitu mengenai ganti kerugian bersifat memaksa.
* Berdasarkan prinsip ini, maka dalam kasus Munir lex forinya adalah hukum Indonesia.

3) Prinsip kombinasi lex loci dan lex fori
* Harus memenuhi dua syarat, yaitu:
(1) Actionability,
Yaitu seorang penggugat di pengadilan harus dapat membuktikan bahwa tindakan tergugat merupakan suatu perbuatan yang membawa kewajiban untuk memberikan ganti kerugian.
(2) Justifiability,
Yaitu perbuatan yang dipersengketakan harus juga merupakan perbuatan yang melanggar hukum di tempat dimana perbuatan tersebut dilaksanakan.

*Berdasarkan prinsip ini, maka dalam kasus Munir actionability dapat dibuktikan penggugat (Suciwati) sedangkan justifiability juga terpenuhi dimana perbuatan pembunuhan yang dilakukan dapat dihukum.

4) Prinsip lex loci delicti diperhalus
- Merupakan prinsip lex loci delicti commisi yang diberlakukan secara tidak kaku, melainkan dapat diadakan perubahan seperlunya dalam pengevalusian beratnya titik-titik taut yang bersangkutan.
- Cara menentukan tempat (locus) suatu perbuatan melawan hukum, ada beberapa teori, yaitu:
a. Tempat terjadinya kerugian;
b. Tempat dilakukannya perbuatan;
c. Kombinasi dengan kebebasan memilih hukum manakah yang akan diterapkan.
- Berdasarkan prinsip ini, maka dalam kasus Munir maka strongest interest (kepentingan terkuat) adalah Indonesia, dan sociale unwelt (suasana sosial).



BAB V

KESIMPULAN


Berdasarakan uraian Tim Penulis diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Indonesia.
2) Yang menjadi titik taut primer (titik taut pembeda) kasus ini sehingga merupakan kasus perdata internasional adalah tempat diracuninya (Singapura), tempat merasakan sakit (Madras), dan tempat meninggalnya (Belanda).
3) Klasifikasi kasus ini dalam hukum perdata internasional adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
4) Yang menjadi titik taut sekunder (titik taut penentu) kasus ini untuk menentukan hukum mana yang berlaku adalah adalah tempat diracuninya (Singapura), tempat merasakan sakit (Madras), dan tempat meninggalnya (Belanda).
5) Lex cause kasus dalam kasus ini adalah Hukum Indonesia.

No comments: