BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pada saat suatu undang-undang dibahas di legislatif kemudian diundangkan, semua pihak merasa sudah sangat baik dan sempurna. Tetapi pada kenyataannya tidaklah dapat dipungkiri bahwa perkembangan masyarakat sangatlah dinamis dan agak berbeda dengan perkembangan suatu peraturan hukum yang untuk merubahnya diperlukan waktu yang lebih banyak. Hal ini mengakibatkan suatu produk hukum sering menjadi tertinggal dengan perkembangan masyarakat sehingga ada kalanya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perkembangan zaman. Permasalahan ini sepertinya sudah diantisipasi terutama di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon yang dikenal dengan “judge make law” atau hukum yang dibuat hakim. Sedangkan bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang terkenal dengan asas legalitasnya, sepertinya tanpa ada hukum yang tertulis maka suatu permasalahan hukum sangat sulit untuk diselesaikan secara hukum.
Dalam perundang-undangan Indonesia meskipun dengan tegas dianutnya asas legalitas, tetapi bagi hakim apabila diperhadapkan dengan suatu permasalahan hukum yang tidak ada aturan hukumnya maka menurut Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dan pada pasal lainnya undang-undang yang sama, yaitu Pasal 28 ayat (1), bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Oleh karena itu, pengadilan dan hakim sangat berperan besar dalam mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau memadukan hukum dengan dinamika masyarakat dengan membentuk suatu putusan yang tetap dan diikuti hakim-hakim lainnya yang disebut yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum untuk mengembangkan hukum.
Peranan pengadilan dan hakim dalam membentuk yurisprudensi ini terutama banyak sekali dilakukan oleh hakim-hakim agung di Mahkamah Agung. Peranan Mahkamah Agung di dalam membentuk yurisprudensi ini merupakan salah satu bagian dari fungsi Mahkamah Agung yaitu Fungsi Peradilan (Yustitiele Fungctie). Peranan Mahkamah Agung dan produk-produk hukumnya berupa yurisprudensi itulah yang menarik perhatian Penulis untuk membahas masalah ini.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah Penulis uraikan diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu:
1) Bagaimana perkembangan kekuasaan kehakiman di Indonesia?
2) Apakah yang menjadi kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung di Indonesia?
3) Apakah fungsi yang dijalankan Mahkamah Agung di Indonesia?
4) Bagaimana peranan Mahkamah Agung dalam membentuk yurisprudensi di bidang hukum pidana dan apa-apa saja produk hukum yang dihasilkan?
3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui perkembangan kekuasaan kehakiman di Indonesia,
2) Mengetahui kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung di Indonesia,
3) Mengetahui fungsi yang dijalankan Mahkamah Agung dalam menjalankan tugasnya,
4) Mengetahui peranan Mahkamah Agung dalam membentuk yurisprudensi di bidang hukum pidana dan produk hukum yang dihasilkan.
4. Kegunaan Penulisan
Kegunaan atau manfaat dari penulisan ini adalah:
1) Secara teoritis, penulisan ini berguna untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana Mahkamah Agung melalui kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki dapat berperan dalam penegakan hukum acara pidana melalui produk-produk hukum di bidang hukum pidana yaitu membentuk yurisprudensi,
2) Secara praktis, penulisan ini dapat dijadikan bahan rujukan atau bahan masukan bagi mereka yang ingin mendalami mengenai peranan Mahkamah Agung dalam membentuk yurisprudensi di bidang hukum pidana sehingga dapat mengambil kaidah hukum dari beberapa putusan Mahkamah Agung yang berguna sebagai salah satu sumber hukum.
Makalah ini dapat juga berguna sebagai sumber tambahan pengetahuan bagi pembaca yang kritis terhadap perkembangan masalah hukum di Indonesia dan pengaturannya khususnya bagi para pihak yang ingin mengkritisi peradilan dan lembaga peradilan terutama lembaga peradilan tertinggi dibidang yudisial yaitu Mahkamah Agung. Pembaca dapat juga menarik kesimpulan dan berpendapat terhadap berbagai produk hukum yang diciptakan Mahkamah Agung, apakah sudah sesuai dengan asas-asas hukum dan keadilan atau malah berkembang mengikuti perkembangan politik di Indonesia.
5. Metode Penulisan
Penulisan ini merupakan penelitian hukum normatif yang ditujukan terhadap sistematika hukum khususnya hukum acara pidana. Dalam sistematika hukum acara pidana yang akan Penulis uraikan adalah salah satu dari topik paling penting yaitu penegakan hukum acara pidana itu sendiri. Dalam hal ini, salah satu unsur yang paling berperan menegakkan hukum itu adalah Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya sesuai Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung mendapat perhatian sendiri karena merupakan lembaga pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang mengawasi apakah penerapan hukum peradilan dibawahnya sudah dilakukan dengan baik. Selain itu, Mahkamah Agung dapat membentuk yursiprudensi tetap Mahkamah Agung yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dan dijadikan acuan oleh hakim-hakim dibawahnya meskipun sifat yurisprudensi di Indonesia adalah non-binding precedent (tidak mempunyai kekuatan mengikat).
Penulisan ini berbentuk deskriftif analitis karena Penulis menggambarkan kondisi perkembangan kekuasaan kehakiman khususnya Mahkamah Agung, perkembangan dan pergeseran prinsip-prinsip hukum pidana yang terbentuk melalui penemuan hukum dan pembentukan hukum (konstruksi hukum) oleh Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan hukum atau dalam mengikuti dinamika masyarakat.
Data dalam penulisan ini diperoleh dari sumber data primer yaitu meliputi bahan hukum primer mencakup buku, kertas kerja konperensi atau seminar, laporan penelitian, majalah, bahan-bahan perkuliahan dan lain-lain, bahan hukum sekunder mencakup bibliografi dan penerbitan pemerintah, dan bahan hukum tersier mencakup abstrak perundang-undangan, ensiklopedia hukum, dan lain-lain.
BAB II
PERANAN MAHKAMAH AGUNG
DALAM MEMBENTUK YURISPRUDENSI
HUKUM PIDANA
A. Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Teori Trias Politica dari Montesqiue yang memisahkan kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga bagian yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif pada kenyataannya masih dipraktikkan pada masa kini meskipun dengan variasi yang berbeda. Indonesia adalah salah satu negara yang masih mempraktikkan teori ini dalam pengertian yang agak berbeda dari pemikiran Montesqiue yang sesungguhnya, yaitu dikenalnya istilah distribution of power dan mekanisme check and balances. Distribution of power berarti dikenalnya pembagian kekuasaan, jadi tidak terpisah sama sekali, sedangkan mekanisme check and balances berarti lembaga negara satu sama lain saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan. Oleh karena itu, teori trias politica tidak diadopsi secara murni di Indonesia.
Kekuasaan kehakiman adalah salah satu kekuasaan yang terpenting bagi suatu negara. Secara klasik, kekuasaan kehakiman berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh kekuasaan eksekutif. Untuk menjaga independensi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga ini, maka kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Amandemen bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan kebenaran.” Ternyata penafsiran ini pernah membawa dilematis bagi penegakan hukum di Indonesia sebelum diadakan reformasi kehakiman. Dalam tafsiran dahulu, perkataan “merdeka” disini mengandung dua pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus konstitusional. Tetapi ada pula yang membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau patut diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara oleh hakim. Sehingga dapat dipahami bahwa pengertian kemerdekaan kekuasaan kehakiman haruslah dipahami dalam dalam konteks kemerdekaan hakim dalam menjalankan tugasnya.
Tetapi dalam perjalanan peradilan di Indonesia terutama pada Orde Baru, kekuasaan kehakiman tidak hanya merdeka secara institusional administratif tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses perkara keadilan. Oleh karena itu, muncul desakan setelah bergulirnya Era Reformasi penting bagi bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak hanya menyangkut penataan kelembagaan (institusional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (instrumental atau procedural reform) tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan. Ternyata keinginan ini sudah diakomodir dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman j.o. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Beberapa perubahan yang paling penting bagi dunia peradilan Indonesia dalam perubahan undang-undang itu yaitu pertama, Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 j.o Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 j.o. Pasal 1 UU No. 5 Tahun 2004), kedua, kekuasaan Mahkamah Agung dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman dan mandiri secara institusional.
Perkembangan ini tentu saja membawa kemudahan bagi hakim-hakim dalam memutuskan suatu perkara yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain terutama kekuasaan eksekutif karena secara administrasi dan keuangan dikendalikan oleh eksekutif yang pada waktu itu yaitu Departemen Kehakiman. Itulah sebabnya, hakim dituntut lebih objektif dalam menilai dan memutus suatu perkara terutama yang ada hubungannya dengan penguasa karena sudah ada payung bagi mereka untuk bekerja secara profesional dan proporsional.
B. Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Agung di Indonesia
Kekuasaan dan kewenangan yang diberikan oleh perundang-undangan Indonesia kepada Mahkamah Agung, baik UUD 1945 Amandemen, UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 14 Tahun 1985 j.o. UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Memeriksa dan memutus:
1) Permohonan kasasi,
2) Sengketa tentang kewenangan mengadili,
3) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b) Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara;
c) Memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku kepala negara untuk pemberian atau penolakan grasi;
d) Menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang;
e) Melaksanakan tugas dan kewenangan berdasarkan undang-undang.
Setelah kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung juga mempunyai tugas dan kewenangan di bidang organisasi, administrasi, dan finansial. Adapun tugas dan kewenangan Mahkamah Agung tersebut adalah sebagai berikut:
1) Organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung (Pasal 13 UU No. 4 Tahun 2004);
2) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2004);
3) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung (Pasal 13 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2004).
Pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (5) UU No. 14 Tahun 1985 j.o. UU No. 5 Tahun 2004).
C. Fungsi Mahkamah Agung di Indonesia
Mahkamah Agung dalam melaksanakan kekuasaan dan kewenangan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi Peradilan (Yustiele Fungctie)
Fungsi peradilan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 28 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 UU No. 14 Tahun 1985 j.o. UU No. 5 Tahun 2004, yaitu:
a. Menyelenggarakan kekuasaan kehakiman sebagai alat kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terjaminnya Negara Hukum Republik Indonesia;
b. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah merupakan Pengadilan Kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil;
c. Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan tingkat terakhir tentang:
Semua sengketa tentang kewenangan mengadili,
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh Kapal Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku.
d. Hak uji materiil yaitu hak untuk menguji atau menilai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) mengandung pertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi.
Sehubungan dengan fungsi peradilan Mahkamah Agung maka Mahkamah Agung dapat membentuk yurisprudensi tetap maupun yurisprudensi konstan tentang hukum pidana. Mengenai peranan dalam membentuk yurisprudensi ini dan produk hukum yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung akan Penulis bahas lebih mendetil dalam bagian selanjutnya dari makalah ini.
2. Fungsi Pengawasan (Toeziende Fungctie)
Mengenai fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 38 UU No. 14 Tahun 1985 j.o. UU No. 5 Tahun 2004, yaitu:
a. MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan (rechtsgang) di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan (rechtspraak) yang dilakukan pengadilan diselenggarakan dengan seksama (nauwkeurig) dan wajar (fair), sederhana, cepat dan biaya ringan;
b. MA melakukan pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para pejabat pengadilan (rechtelijke ambtenaren) dalam melaksanakan tugas pokok kehakiman yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili sertamenyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya;
c. Meminta laporan dari pengadilan dalam bidang teknis perkara dan administrasi perkara;
d. Memberi peringatan, tegoran, dan petunjuk kepada pengadilan yang dapat dinyatakan dalam bentuk surat tersendiri atau dengan surat edaran;
e. Dalam menjalankan pengawasan MA dapat mendelegasikan kewenangannya kepada tingkat banding.
Fungsi ini sangat diperlukan dalam penegakan hukum dan mencegah perilaku hakim-hakim dibawah Mahkamah Agung yang tidak sesuai dengan aturan. Namun, meskipun demikian fungsi ini tidak mempengaruhi hakim sama sekali dalam pengambilan keputusan untuk penyelesaian perkara.
3. Fungsi Mengatur (Regelende Fungctie)
Fungsi mengatur yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 j.o. UU No. 5 Tahun 2004, yaitu:
a. MA dapat mengatur hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan baik terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU Mahkamah Agung;
b. MA dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur dalam undang-undang.
4. Fungsi Penasihat (Advieserende Fungctie)
Fungsi penasihat yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 j.o. UU No. 5 Tahun 2004, yaitu:
a. MA dapat memberi nasihat atau pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta ataupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain;
b. MA memberi nasihat kepada Presiden selaku kepala negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi dan rehabilitasi;
c. MA dapat meminta keterangan atau memberi petunjuk kepada pengadilan dalam hal pengadilan diminta nasihat oleh Lembaga Negara lainnya;
5. Fungsi Administratif (Administrative Fungctie)
Fungsi administratif yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985, yaitu:
a. MA berwenang mengatur tentang perincian tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja satuan kepaniteraan dan kesekretariatan MA;
b. MA berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja kepaniteraan.
D. Peranan Mahkamah Agung dalam Membentuk Yurisprudensi Hukum Pidana dan Produk Yurisprudensinya
Dalam ilmu hukum dikenal ada beberapa sumber hukum. Pada umumnya sumber hukum dibagi dua yaitu sumber hukum material dan sumber hukum formal. Sumber hukum material terkait dengan aspek-aspek diluar hukum, misalnya aspek filsafat, aspek historis, aspek sosiologis dan berbagai aspek lainnya. Sumber hukum formal yaitu sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, terdiri dari undang-undang, kebiasaan dan adat, perjanjian/ traktat, yurisprudensi dan doktrin. Tiga sumber hukum yang pertama disebutkan merupakan sumber hukum yang utama sedangkan dua sumber hukum yang terakhir disebutkan merupakan sumber hukum tambahan. Disebutkan sebagai sumber hukum tambahan karena tidak mengikat secara hukum kepada hakim.
Dalam hukum pidana, kedudukan yurisprudensi ini perlu ditinjau secara yuridis oleh hakim-hakim sebagai sumber hukum. Hal ini dikarenakan hukum pidana khususnya Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law System) memegang teguh asas legalitas (legality) seperti yang dianut oleh Indonesia yang dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.” Ada tiga pengertian dalam pasal ini, yaitu:
1) Tiada suatu perbuatan pun yang dilarang (diharuskan) dan diancam dengan pidana, kalau hal itu sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan perundang-undangan pidana;
2) Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas);
3) Ketentuan-ketentuan hukum pidana itu tidak boleh berlaku surut (non-retroactive)
Hal ini pada kenyataannya membatasi ruang gerak hakim pidana dalam mengadili dan memutus suatu perkara. Tujuan dari asas ini sesuai dengan sejarah pembentukannya tentu saja untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi kepentingan masyarakat. Tidaklah terlalu menjadi masalah apabila perkembangan peraturan perundang-undangan sama cepatnya dengan dinamika dalam masyarakat atau semua tindak pidana sudah diatur dengan undang-undang. Tetapi bagaimana apabila hakim pidana dihadapkan pada permasalahan yang belum diatur atau sudah diatur tapi sudah tidak relevan dengan kondisi yang terjadi? Selain itu, modus operandi kejahatan demikian pesat meningkat dan semakin bervariasi disertai bantuan kemajuan teknologi menyulitkan hakim dalam menggunakan ketentuan hukum pidana yang yang dirasakan sudah tidak sesuai baik dari segi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembiuktian, jenis tindak pidana dan bahkan pemidanaan. Dilain sisi, hakim dilarang secara tegas untuk menolak mengadili suatu perkara (pidana) yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diadiili dengan alasan tidak ada aturannya dalam undang-undang sesuai ketentuan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Melihat permasalahan diatas, maka hakim pidana pada umumnya dalam penemuan hukum (rechtsvinding) apabila tidak menemukan ketentuan yang mengatur permasalahan tersebut dalam undang-undang tertulis dapat diperkenankan menggunakan ketentuan hukum adat dan kebiasaan, yurisprudensi maupun doktrin para sarjana hukum terkemuka. Tetapi akan menjadi permasalahan, apakah tindakan hakim tersebut tidak melanggar asas legalitas? Kalau ditinjau secara lebih mendalam, Penulis berpendapat hal ini tentu saja tidak melanggar asas legalitas karena tujuan hukum yang terutama adalah mencari dan menemukan keadilan. Meskipun belum diatur dalam undang-undang atau aturan yang ada sudah tidak sesuai, hakim dengan kewenangan yang dimiliki dapat memutus perkara sesuai dengan rasa keadilan. Untuk membantu hakim dalam pertimbangan hukum itu dapatlah dipergunakan ketentuan hukum adat dan kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin tersebut. Dalam melaksanakan penemuan hukum itu, hakim sudah diberi payung hukum dengan ketentuan undang-undang yaitu Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. Hakim pidana dengan instrumen hukum yang ada harus dapat memeriksa dan memutus suatu kasus yang diharapkan dapat memberi rasa keadilan dan demi tegaknya hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Produk-produk putusan hakim itu ada yang sangat baik pertimbangan hukumnya sehingga banyak diikuti oleh hakim-hakim dibawahnya atau hakim-hakim sesudahnya. Agar tidak semakin melebar maka Penulis akan membicarakan mengenai produk putusan yang diputus oleh hakim-hakim agung di Mahkamah Agung. Produk-produk putusan hakim agung itu disusun secara sistematis dan diberi anotasi oleh para pakar dibidang peradilan dan dibukukan dalam Kumpulan Yurisprudensi Mahkamah Agung. Yurisprudensi dapat menjadi yurisprudensi tetap apabila suatu kaidah atau ketentuan dalam suatu putusan kemudian diikuti secara tetap oleh para hakim dalam putusannya dan dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum umum. Oleh karena itu, yurisprudensi dalam sistem hukum pidana membawa pengaruh cukup besar dalam perkembangan hukum pidana baik hukum materiilnya maupun hukum formilnya. Keyakinan hukum ini adakalanya berbeda bahkan bertentangan dengan undang-undang hukum pidana, oleh karena itu kedudukan yurisprudensi MA sebagai sumber hukum menimbulkan pendapat berbeda diberbagai kalangan pakar hukum itu sendiri. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, yurisprudensi dapat mempunyai arti penting sebagai alat pembaharuan hukum dan social engineering. Dilain sisi, Han Bin Siong, mengatakan tidak boleh dilupakan maksud pembentuk UU, tidak dapat berlaku sebagai UU apabila bertentangan dengan kata-kata yang oleh pembentuk UU itu digunakan untuk mewujudkan maksud itu. Memang secara hukum, kekuatan mengikat yurisprudensi bagi negara-negara dengan sistem hukum Civil Law yurisprudensi hanya mengikat secara persuasive precedent sehingga hakim-hakim dibawahnya diperkenankan tidak mengikuti yurisprudensi.
Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi negara di Indonesia berperan paling besar dalam membentuk yurisprudensi. Dengan demikian, pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim-hakim agung di lembaga itu haruslah benar-benar dapat membentuk keyakinan hukum yang baik. Apabila pertimbangan hukum dari yurisprudensi MA tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan peraturan yang ada maka kredibilitas MA sebagai lembaga pengadilan tertinggi negara perlu dipertanyakan. MA sebagai lembaga yudikatif diharapkan benar-benar bebas, merdeka, dan mandiri serta terlepas dari kekuasaan lain yang dapat mempengaruhi putusannya. Ada kalanya suatu negara dengan kondisi politik yang tidak stabil, misalnya Indonesia pada jaman Orde Baru, kekuasaan eksekutif terlalu besar sehingga dapat mempengaruhi kekuasaan yudikatif. Akibatnya, banyak putusan MA yang kurang memenuhi syarat menjadi sebuah yurisprudensi. Kemandirian MA dalam mengeluarkan putusan beserta pertimbangan hukum yang diambil dapat menjadi kaidah hukum yang justru dapat memperbaharui hukum khususnya hukum pidana. Ada begitu banyak praktik-praktik peradilan yang tidak ada ketentuannya di dalam undang-undang tetapi melalui yurisprudensi yang kemudian beberapa diantaranya dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung atau Surat Edaran Mahkamah Agung dan dianggap sebagai keyakinan hukum umum sehingga yang tidak ada ketentuannya dalam UU dapat diatur melalui PERMA atau SEMA. Hanya saja kedudukan SEMA atau PERMA sebagai sumber hukum tidak sama dengan yurisprudensi.
Demikan besarnya peranan Mahkamah Agung dalam membentuk yurisprudensi untuk menegakkan hukum pidana di Indonesia baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil dapat ditelesuri dari putusan-putusan yang sudah menjadi yurisprudensi. Oleh karena itu, untuk mewujudkan living law dapatlah dikatakan judge make law terutama hakim-hakim agung sangatlah berpengaruh besar terhadap pembaharuan dan perkembangan ketentuan hukum pidana. Pada halaman selanjutnya ini adalah beberapa putusan MA yang menjadi yurisprudensi untuk menambah pengetahuan pembaca bahwa ada banyak hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang pidana sehingga dibutuhkan sebuah ketentuan hukum berupa yurisprudensi untuk mengisi kekosongan hukum itu. Meskipun kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum tidak dapat menggeser kedudukan undang-undang sebagai sumber hukum utama tetapi ketidaksempurnaan suatu undang-undang dapat diisi dengan yurisprudensi sehingga diharapkan dapat memperbaharui hukum dan masyarakat.
KUMPULAN YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG RI
HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA
UMUM
I.3. Cara pemeriksaan.
Mengajukan suatu perkara secara sumir atau tidak adalah wewenang Jaksa yang dapat mengajukan suatu perkara secara sumir kalau perkara itu mudah dalam pembuktiannya dan juga kalau hukuman yang akan dijatuhkan tidak akan melebihi, hukuman penjara tiga tahun: jadi pengajuan perkara secara sumir tidaklah dihubungkan dengan ancaman hukuman yang diuraikan dalam K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-9-1961 No. 85 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Kasah bin Samad.
I.3. Cara pemeriksaan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi - bahwa perkara ini seharus¬nya diajukan secara biasa dan tidak secara sumir
tidak dapat dibenarkan karena wewenang untuk menentukan suatu perkara diajukan secara biasa atau sumir berada ditangan judex facti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-12-1967 No. 64 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : Noerchalin.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H.. 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
I.3. Cara pemeriksaan.
Pembukaan kembali pemeriksaan sidang guna mencari kebenaran mengenai surat tuduhan tidak bertentangan dengan undang-undang, dengan ketentuan, bahwa :
a. kepada Jaksa/Penuntut Umum harus diberi kesempatan untuk mengucapkan tuntutan hukuman/tuntutan hukuman baru dan replik disatu pihak, dan
b. pembelaan/pembelaan baru dan dupliek oleh Terdakwa/Pembela dilain pihak, bila mana dianggap perlu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-5-1966 No. 109 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Ribut bin H. Naman.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H., 2. M. Abdurrachman S.H., 3. Surjadi S.H.
I.3. Cara pemeriksaan.
Yang terjadi dalam hal ini adalah : Pengadilan Negeri dan Pengadilan Ekonomi melakukan pemeriksaan secara serentak dan melakukan peradilan pada waktu yang bersamaan dengan kemudian Pengadilan Negeri dan Pengadilan Ekonomi masing-masing menjatuhkan hukuman Dalam Perkara yang bersang¬kutan (perkara pidana biasa dan perkara pidana ekonomi yang terdakwanya orangnya sama). Hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai pemeriksaan secara gabungan Pengadilan Negeri - Pengadilan Ekonomi yang merupakan pelanggaran undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-1-1975 No. 98, 99 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Abu Kiswo bin Kusman.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Senoadji S.H., 2. Purwosunu S.H. 3. Busthanul Arifin S.H.
I.6. Tentang berlakunya H.I.R.
1. H.1.R. sebagai pedoman harus ditafsirkan, bahwa tentang hukum acara pidana H.I.R. lah yang berlaku dan hanyalah dapat menyimpang dan itu bila¬mana didalam suatu daerah ada suatu peraturan lain (khusus)
2. Pasal 251 ayat 1 H.I.R. telah mengatur dengan tegas wewenang Jak¬sa untuk mengadakan perlawanan atas ketetapan Hakim; perlawanan diluar ketentuan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima
3. Hukum Acara Pidana adalah termasuk Hukum Publik yang memuat ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan terhadap hak-hak azasi dari terdakwa, sehingga segala penafsiran harus dilakukan secara limilatief.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-2-1967 No. 48 K/Kr/1966.
Dalam Perkara : Hatimbai alias Narur Ali.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H., 2. Prof. R. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
I.8. Pengadilan Ekonomi.
Pengadilan Ekonomi harus dianggap bukan Pengadilan tersendiri sebagai halnya Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer, melainkan hanya suatu differrensiasi/specialisasi dalam Pengadilan Umum.
Sesuai dengan penjelasan U.U. 14/1970 didalam lingkungan Pengadilan Umum dapat diadakan differrensiasi/specialisasi berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi dan sebagainya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-1-1975 No. 98, 99 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Abu Kiswo bin Kusman.
dengan Susunan Majelis 1. Prof. Oemar Senoadji S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
I.8. Forum previlegiatum.
Negara Republik Indonesia tidak mengenal adanya forum previlegiatum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-4-1967 No. 15 K/Kr/1967;
Dalam Perkara : Teuku Jusuf Muda Dalam.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H., 2. Prof. R. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
I.8. Pengaruh putusan Pengadilan lain.
Suatu Pengadilan Negeri tidak terikat pada putusan Pengadilan Negeri lain.
i.c. Dalam Perkara notaris yang tidak melaporkan pendirian kantornya pada Jawatan Perburuhan, Pengadilan Negeri Madiun memutuskan lain dari pada Pengadilan Negeri Surabaya Dalam Perkara yang semacam yang terjadi kemudian.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-8-1965 No. 173 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Anwar Mahajudin.
KOMPETENSI
II.1. Kompetensi Pengadilan Militer.
Karena tertuduh pada saat ia melakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan kepadanya masih berstatus militer (ia dipensiun pada tgl. 1-1-1966 sedang perbuatannya tersebut dilakukan pada tgl. 8-11-1965) perkaranya harus diajukan kepada Pengadilan Militer.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-10-1973 No. I PKM/Kr/1973.
Dalam Perkara : Boenyamin.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Subekti S.H., 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. Indroharto S.H.
II.1. Kompetensi.
Seorang Hansip berada dibawah jurisdiksi Mahkamah Militer dan kepadanya dikenakan Hukum Pidana Tentara, jika ia nyata-nyata dikerahkan dan di¬tugaskan dalam bidang pertahanan/keamanan dan secara langsung berada diba¬wah komando suatu instansi militer.
Putusan Mahkaniah Agung tgl. 30-7-1973 No. 111 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : Rowa. dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Sardjono S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.
II.1. Kompetensi.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung
Alasan banding yang diajukan - bahwa terdakwa secara praematuur langsung dihadapkan kemuka Pengadilan untuk diadili,
tidak dapat diterima, karena pada azasnya mengenai perbuatan-perbuatan terdakwa termaksud pertanggungan jawab pidananya, yang harus dilakukan dihadapan Pengadilan. dapat jika dikehendaki, diselenggarakan bersamaan dengan pertanggungan politik keuangannya, yang harus dilakukan dihadapan Badan Pemeniksa Keuangan, M.P.R.S. atau DPRGR.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-4-1967 No. 15 K/Kr/l967.
Dalam Perkara : Teuku Jusuf Muda Dalam.
dengan Susunan Majelis :1. Surjadi S.H., 2. Prof. R. Subekti S.H., 3. Mr. M. Abdurrachman.
II.1. Kompetensi.
Pengadilan Tinggi tidak berwenang memutus perkara dalam tingkat banding yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi Ekonomi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-4-1971 No. 156 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : R. Soetarmin.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja.
II.2. Kompetensi relatif.
Menurut pasal 252 H.I.R., disamping Pengadilan Negeri yang didalam wilayahnya dilakukan kejahatan, hanya berkuasa mengadili Pengadilan Negeri, yang didalam wilayahnya terdakwa berdiam, bertempat tinggal atau ditangkap, apabila tempat kediaman sebagian terbesar dari saksi-saksi lebih dekat dengan tempat kedudukan Pengadilan Negeri ini, dari pada dengan tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang didalam wilayahnya dilakukan kejahatan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-8-1958 No. 50 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Tengku Sulaiman Daud.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Projodikoro, 2. Mr. R. Soerjotjokro, 3. Mr. Sutan Abdul Hakim.
TERSANGKA
III.2. Kewajiban tersangka.
Dalam hal para terdakwa ada diluar penjara dan mereka telah diberitahu hal diadakannya pemeriksaan ulangan, maka merekalah yang, jika mereka membutuhkan pembelanya, seharusnya mernberitahu kepadanya; hal itu menurut Mahkamah Agung tidak menjadi kewajiban Pengadilan Negeri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-1-1959 No. 199 K/Kr/1958
Dalam Perkara : Soesastro alias Rantip.
dengan Susunan Majelis: 1. Mr. R.S. Kartanegara, 2. Mr. M. Abdurrachman 3. Mr. R. Wirjono Kusumo.
PENYIDIK
IV.1. Wewenang penyidik.
Soal pihak Kepolisian didalam pengusutan perkara tidak mengadakan pemeriksaan ditempat dimana kejahatan dilakukan (plaatseijk onderzoek), merupakan kebijaksanaan tindakan Polisi, hal mana tidak tunduk pada kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27 - 10 - 1956 No. 44 K/Kr/1956.
Dalam Perkara: Paerun.
IV.3. Surat-surat pemeriksaan Polisi.
Bahwa surat-surat pemeriksaan polisi tidak ditanda tangani oleh terdakwa tidaklah menyebabkan batalnya pemeriksaan, lagi pula yang menjadi dasar putusan adalah pemeriksaan Hakim di sidang Pengadilan Negeri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 26 - 4 - 1960 No. 226 K/Kr/1959.
Dalam Perkara: Moehsin Wibisono; Moekminin.
PENUNTUT UMUM
V.1. Wewenang Penuntut Umum.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi - bahwa saksi D. Telaumbowo harus turut sebagai tertuduh karena uang-uang tersebut telah pemohon serahkan kepada D. Telaumbowo sebagai juru bayar;
tidak dapt diterima karena Pengadilan tinggi tidak salah menerapkan hukum sebagai dimaksudkan dalam pasal 18 U.U.M.A.1, Iagi pula wewenang untuk menuntut seseorang adalah pada Penuntut Umum;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4 - 8 - 1976 No. 47 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Faolombowo Mendrofa.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof Oemar Seno Adji S.H.; 2. Purwosunu S.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
V.1. Wewenang Penuntut Umum.
Tentang mengajukan seseorang dimuka pengadilan atau tidak adalah melulu tergantung kepada kebijaksanaan Penuntut Umum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14 - 1 - 1958 No. 241 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Asim Gelar Marah Sampono.
V.1. Wewenang Penuntut Umum.
Walau dalam suatu perkara terdapat dasar-dasar untuk memajukan gugatan terhadap terdakwa yang dapat merupakan perkara perdata, akan tetapi ini tidak berarti bahwa penuntut kasasi tidak dapat dituntut karena ia melakukan suatu tindak pidana; dengan demikian perbuatan-perbuatan yang dilakukan dapat merupakan baik perkara pidana maupun perkara perdata tersendiri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8 - 5 - 1957 No. I K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Yasmoen.
V.1. Wewenang Penuntut Umum.
Perundang-undangan tidak mewajibkan Jaksa Tentara memberikan alasan¬-alasan tentang sebab musababnya ia meminta banding dan pula tidak ada suatu peraturan yang mengharuskan Jaksa Tentara untuk memajukan suatu risalah banding.
Putusan Mahkamah Agugn tgl. 14 - 12 - 1956 No. 188 K/Kr/1956.
Dalam Perkara: Soetan Syarifudin.
V.1. Wewenang Penuntut Umum.
Tidak ada peraturan Undang-undang yang mewajibkan ada kata sepakat dari Jaksa Agung untuk penuntutan terhadap seorang jaksa pada Pengadilan Negeri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7 - 4 - 1956 No. 92 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Mas Soepii Adiwidjojo.
V.1. Wewenang Penuntut Umum.
Pasal 83 m R.I.B. tidak mengatur perdamaian yang mungkin tercapai antara terdakwa dan jaksa, sedangkan perdamaian demikian tidak dapat merobah sifat tindak pidana menjadi perdata.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 15 - 2 - 1958 No. 45 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Ie Van Tjong.
BANTUAN HUKUM
VI.1. Hak-hak Penasehat Hukum.
Hak tertuduh untuk melakukan pembelaan dalam persidangan Pengadilan, dianggap dilimpahkan kepada pembelanya, dengan pelimpahan mana pembelanya berkewajiban untuk membela kepada yang dibelanya dengan baik.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3 - 1 - 1973 Nc. 109 K/Kr/1970.
Dalam Perkara: Yap Thian Hien S.H.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.; 3. Busthnul Arifin S.H.
VI.3. Bantuan Hukum.
Menurut pasal 83 h ayat 6 jo pasal 250 ayat 5 R.I.B. terdakwa harus memajukan permohonan supaya oleh Hakim diperbantukan padanya seorang ahli hukum sebagai pembelanya dalam tingkat pemeriksaan oleh Jaksa dan pada tingkat Ketua Pengadilan negeri akan menyusun surat tuduhan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5 - 5 - 1958 No. 42 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Ramli bin Fakih.
KETUA PENGADILAN NEGERI/ HAKIM
IX.1. Wewenang Hakim.
Soal dapat atau tidak dapat dipercayanya saksi-saksi, berdasarkan pasal 302 R.I.B. terserah kepada kebijaksanaan Hakim pertama.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-11-1958 No. 124 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Soetomo.
IX.1. Wewenang Hakim.
Pengadilan Negeri tidak usah mendengar semua saksi apabila Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa dalam pemeriksaan di persidangan telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menghukum terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-4-1957 No. 47 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Loe Tjing Sang.
IX.1. Wewenang Hakim.
Tidak ditanda tanganinya oleh terdakwa berita acara pemeriksaan pendahuluan yang dibuat oleh Polisi, tidak mengakibatkan batalnya putusan dan Pengadilan Negeri yang mendasarkan putusannya antara lain kepada proses verbal tersebut, karena Hakim mempunyai wewenang untuk menghargai atau tidak berita acara Polisi yang tidak ditanda tangani oleh terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-4-1956 No. 122 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Mashudi alias Ismadi.
IX.2. Kewajiban Hakim.
Hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang ber¬laku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan undang-undang (di dalam Perkara ini undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954 dan No 1 tahun 1956).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-12-1959 No. 178 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Kartodimedjo dkk.
IX.2. Kewajiban Hakim.
Dimajukan tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan adalah kebijaksanaan Kejaksaan dalam menjalankan penuntutan, akan tetapi kalau suatu perkara te¬lah dimajukan dimuka Pengadilan (Hakim) maka Pengadilan harus memeriksa dan mengadilinya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-5-1959 No. 47 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : R. Singgih Prawiroyudho.
IX.3. Wewenang judex facti.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi : bahwa Pengadilan Tinggi tidak mengindahkan surat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus yang dilampirkan dalam memori apel :
Tidak dapat dibenarkan karena diindahkan tidaknya suatu surat oleh judex facti adalah termasuk kebijaksanaan judex facti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-8-1959 No. 148 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Lian Hok Pin.
IX.3. Wewenang judex facti.
Persoalan kepada siapa barang bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex facti kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-5-1975 No. 100 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Rachmad.
dengan Susunan Majelis 1. Hendrotomo S.H., 2. Palti R. Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
IX.3. Wewenang judex facti.
Soal memperhatikan atau tidak pasal 26 K.U.H.P. itu terserah pada judex facti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-6-1959 No. 58 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : M. Imam Dhamin bin Mohamad Saleh.
IX.3. Wewenang Pengadilan.
Menurut pasal 27 Ordonnantie tanggal 18 Pebruari 1932 (Staatsblad 1932 No. 80) Pengadilan Asli berhak menjatuhkan hukuman-hukuman yang termak¬tub dalam pasal 10a Kitab Undang2 Hukum Pidana).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 31-8-1957 No. 64 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Anang bin Jum’at.
PANITERA
X.1. Wewenang Panitera.
Tempo lima minggu yang ditentukan oleh pasal 10 ayat 1 Undang2 Darurat No. 1/1951 adalah tidak mutlak, yang berarti apabila jangka waktu tersebut tidak diindahkan, pelanggaran itu tidak menimbulkan akibat hukum, karena sanctienya tidak ada.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1957 No. 3 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Soedarman.
X.2. Kewajiban Panitera Pengadilan Tinggi.
Pernyataan dan Panitera Pengadilan Tinggi bahwa terdakwa menerima baik putusan Pengadilan Tinggi, tidak dapat meniadakan hak terdakwa untuk mengajukan permohonan kasasi, karena lain dari yang ditentukan dalam pasal 318 H.I.R. mengenai putusan Pengadilan Negeri, undang-undang tidak mewa¬jibkan Panitera untuk menerangkan bahwa terdakwa pada waktu putusan ban¬ding diberitahukan kepadanya menyatakan menerima baik atau tidak putusan itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-5-1960 No. 179 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Sadam; Jamal; Mistin.
TINDAKAN PENYIDIK/PENGUSUT
XI.2. Penahanan.
Untuk orang yang dikenakan “huisarrest” sudah tepat bila disebutkan bahwa ia ada diluar tahanan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-4-1956 No. 92 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Mas Soepii Adiwidjojo.
SURAT TUDUHAN
XII.1. Surat tuduhan.
Yang menjadi dasar pemeriksaan oleh Pengadilan ialah surat tuduhan dan bukan tuduhan yang dibuat oleh Polisi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-3-1957 No. 47 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Zoe Tjing Sang.
XII.1. Bentuk surat tuduhan.
Didalam tuduhan “terutama” sebenarnya terdapat 2 macam tuduhan, yaitu tuduhan pasal 340 dan pasal 338 K.U.H.P. Sebaiknya dua macam tuduhan tersebut diatur dalam bentuk tuduhan “primair” dan “subsidair”, tetapi tuduhan “terutama” itu tidak dapat dikatakan salah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-7-1970 No. 8 K/Kr/1969
Dalam Perkara : Tan Swie Kwang, Tan Tjien Tjien.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Prof. Sardjono S.H., 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
XII.1. Bentuk surat tuduhan.
Tingkatan dalam tuduhan seperti “primair”, “subsidair” dan selanjutnya dalam menterjemahkan dalam bahasa Indonesia belum terdapat suatu istilah yang resmi bagi semua Pengadilan, sehingga istilah “pertama” dan “kedua” sebagaimana yang tercantum dalam surat tuduhan dapat diartikan sebagai “pri¬mair” dan “subsidair”.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-11-1958 No. 133 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Maskor alias Haji Munir.
XII.2. Isi surat tuduhan.
Putusan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena tuduhan merupakan ”obscure libelle” yang hanya mengemukakan rumusan delik pasal 378 K.U.H.P. tanpa mengkhususkan tentang perbuatan-perbuatan tertuduh yang dianggap menipu dalam arti pasal 378 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 31-1-1973 No. 104 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Rinie Juniastutik.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Subekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XII.2. Isi surat tuduhan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung bahwa dalam tuduhan kedua diatas ternyata tidak disebutkan semua unsur delik pasal 378 K.U.H.P. dan meskipun disebutkan waktu dan tempat perbuatan dilakukan tetapi tidak dengan jelas dan tepat dilukiskan hal-ikhwal perbuatan terdakwa;
bahwa dengan demikian tuduhan kedua tersebut selain tidak memenuhi syarat-syarat formil, karena tidak jelas dan tepat sangat menyulitkan bagi terdakwa dalam menggunakan haknya membela diri;
bahwa oleh karena itu tuduhan tersebut harus dinyatakan batal.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-1-1975 No. 41 K/Kr/1973.
Dalam Perkara Andi Tadang Anwar.
dengan Susunan Majelis 1. Prof. Oemar Seno Adji SH, 2. Poerwosu¬an S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XII.2. Isi surat tuduhan.
Tindak pidana penggelapan secara principieel berbeda dengan tindak pidana penipuan,
Ia harus dengan tegas dirumuskan dalam tuduhan dan tidak cukup me¬nunjuk kepada tuduhan primair saja.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-12-1974 No. 74 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Sugani Sundjaja (Sum Tung Hoat).
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XII.2. Isi surat tuduhan.
Walaupun unsur kesengajaan ada disebut dalam tuduhan mengenai pasal 1 Undang-undang Darurat No. 12/1951, hal ini tidak mengakibatkan ba¬talnya tuduhan tersebut, tetapi cukuplah untuk menganggap kata “dengan sengaja” yang diuraikan dalam surat tuduhan sebagai tidak tercantum dari Mahkamah Agung akan mempenbaiki kwalifikasi kejahatan yang bersangkutan,
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5-11-1969 No. 10 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Bujung Djafar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
XII.2. Isi surat tuduhan.
Dalam tuduhan atas “pembunuhan berencana”termasuk pula tuduhan atas “pembunuhan’ karena pembunuhan berencana tidak lain dari pada pembunuhan yang telah direncanakan lebih dulu dengan ketenangan hati.
Maka orang yang dituduh melanggar pasal 340 K.U.H.P. tetapi di sidang hanya terbukti bersalah melanggar pasal 338 K.U.H.P., ia dapat dipersalahkan atas kejahatan “pembunuhan”.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-10-1956. No. 42 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Ong Pui Lie.
XII.2. Isi surat tuduhan.
Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur-unsur pemerasan pasal 368 K.U.H.P. bersama-sama unsur-unsur penipuan pasal 378 K.U.H.P. merupakan kesalahan yang esensiel yang menyebabkan tuduhan tersebut batal.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-5-1969 No. 71 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Kadar Soehardjo bin Karijoredjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R.Subekti S.H., 2. Z. Asikin Kusumah Atmatdja S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XlI.3. Perubahan/penambahan surat tuduhan.
Perobahan surat tuduhan yang dimaksud oleh pasal 282 H.I.R. adalah perobahan yang tidak mengakibatkan timbulnya perbuatan pidana lain.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-2-1971 No. 15 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Koo Han Kie.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2, Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. Indroharto S.H.
XII.3. Perubahan surat tuduban.
Keberatan yang diajukan pemohon kasasi bahwa surat tuduhan yang semula berbentuk alternatif telah dirobah menjadi tuduhan berbentuk kumula¬tif sebelum Jaksa membacakan requisitoir;
tidak dapat diterima, karena perobahan tersebut tidak bertentangan dengan pasal 282 H.I.R. dan ternnyata hal itu tidak menyebabkan isi tuduhan menjadi perbuatan pidana yang lain (strafbaar feit).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-1-1975 No. 41 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Andi Tadang Anwar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Poerwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XII.3. Perubahan surat tuduhan.
Perubahan atas surat tuduhan yang diadakan oleh Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding yang hanya terdiri dari penambahan perumusan perbuatan terdakwa dengan tidak menjadikan perbuatannya itu suatu tindak pidana yang lain daripada yang dituduhkan semula, tidaklah bertentangan dengan pasal 282 H.I.R.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-1-1962 No. 138 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Anang bin Bakar.
XII.6. Penggabungan/pemisahan perkara.
Untuk kepentingan pemeriksaan perkara Jaksa berwenang untuk mengajukan perkara secara terpisah-pisah, sedang Hakim hanya berwenang untuk me¬nyatukan perkara-perkara (voegen) dipersidangan (ten terechtzitting) Dalam Perkara-perkara tolakan. (i.c. perkara diajukan secara summir).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-1-1975 No. 105 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Haji Umar Said bin Rodiwongso.
dengan Susunan Majelis :1. D.H. Lumbanradja S.H., 2. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 3. Hendrotomo S.H.
XII 7. Tuduhan-tuduhan alternatif.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa karena penuntut kasasi oleh Pengadilan Negeri telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan “pen¬curian” sebagaimana dituduhkan dalam tuduhan “primair”, ia tidak dapat lagi oleh Pengadilan Tinggi dipersalahkan atas kejahatan “penadahan” yaitu per¬buatan yang dituduhkan dalam tuduhan “subsidair”;
tidak dapat dibenarkan : karena Dalam Perkara yang tuduhan-tuduhannya dibuat secara alternatif, tuduhan “subsidair” baru diperhatikan setelah tuduhan “primair” dinyatakan sebagai tidak terbukti, seperti halnya yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Dalam Perkara ini.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-10-1967 No. 60 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Mas buro Dalimunte, 2. Abd.Sani, 3. Tohir Manurung dkk
dengan Susunan Majelis :1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
XII.7. Pemeriksaan terhadap tuduhan-tuduhan primair dan subsidair
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah salah mengetrapkan hukum acara yang berlaku karena tidak mempertimbangkan tuduhan-tuduhan subsidair, subsidair lagi, setelah tuduhan primair dinyatakan tidak terbukti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-3-1976 No. 65 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : 1. Drs.Lukman Muluk, 2. Muluk Alains, 3, Muzakar.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
PEMBUKTIAN
XIII. Pembuktian.
Karena Pengadilan Negeri dalam putusannya tidak mencantumkan tentang keyakinan terbuktinya kejahatan yang dituduhkan dan Pengadilan Tinggi telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri dengan mempergunakan alasan-alasan Pengadilan Negeri sebagai alasan Pengadilan Tinggi sendiri, sedang unsur keyakinan tersebut adalah essensieel (negatief wettelijk bewijs) putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus dibatalkan. (oleh Mahkamah Agung diputuskan Membebaskan tertuduh tersebut dari semua tuduhan).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-6-1976 No. 130 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Kurniagawan Lukman alias Loe Kim Kiauw.
dengan Susunan Majelis : 1 .Kaboel Arifin S.H, 2. Patti Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Anna S.H.
XIII.1.5. Alat-alat bukti yang sah.
Seandainya benar Rapat Besar Bengkulu-Seluma di Tais memutus perkara terdakwa berdasarkan keterangan-keterangan terdakwa-terdakwa lain. putusan Rapat Besar itu tidaklah bertentangan dengan pasal 295 H.I.R. oleh karena hukum acara yang digunakan dalam peradilan adat bukanlah H.I.R. tetapi Hu¬kum Adat setempat berdasarkan pasal 3 Ordonnantie op de Inheemche Rechts¬praak (S. 1923 - 80).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-2-1956 No. 50 K/Kr/1954.
Dalam Perkara : Bai bin Rambok.
XIII.1.5. Acara pembuktian.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa persoalan ini mengenai bidang Agama; ajaran Agama Islam menentukan sekurang-kurangnya saksi 4 orang sebagaimana tersebut dalam Qur’an surat Annisa ayat 15;
tidak dapat diterima karena Pengadilan Tinggi telah menuruti acara hukum pembuktian menurut hukum acara pidana yang berlaku.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-12-1975 No. 111 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : M. Jasir gelar Engku Lunak.
dengan Susunan Majelis : 1. Purwosunu S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIII. 1.5. Yang harus dibuktikan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya telah salah menerapkan hukum kare¬na tidak dapat membuktikan secara tepat berapa jumlah uang yang digunakan terdakwa secara melawan hukum.
tidak dapat diterima, karena judex facti dalam pertimbangannya telah menyatakan bahwa yang diterima oleh pemohon kasasi adalah sejumlah uang yang lebih dari Rp. 250.-
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-8-1976 No. 142 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Soenarjo alias Seitoatmodjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Umar Seno Adji S.H., 2. Purwosunu S.H. 3. Busthanul Arifin SM.
XIII.2.2. Surat-surat otentik.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung :
Berita Acara kesimpulan pemeriksaan dari Markas Besar Kepolisian RI.
Lembaga Laboratorium Kriminil, karena dibuat dengan mengingat sumpah jabatan oleh pejabat-pejabat yang khusus diangkat untuk tugas itu, merupakan surat keterangan termaksud dalam pasal 305 H.I.R. sehingga merupakan alat bukti yang sah menurut pasal 295 H.I.R.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14-3-1973 No. 16 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : Holid bin Sukarso.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Indroharto S.H.
XIII.2.4. Visum et repertum.
Tidak disebutnya tanggal dan jam pemeriksaan mayat dan tidak disebut¬nya sebab si korban meninggal, tidak merupakan halangan bagi Hakim untuk menarik kesimpulan bahwa si korban telah meninggal akibat luka-luka tersebut dalam visum et repertum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-11-1959 No. 182 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Lim Tjoei Hok.
XIII.3. Kesaksian yang berdiri sendiri.
Menurut pendapat Mahkamah Agung keterangan seorang saksi menurut Hukum Adat tidak merupakan alat bukti yang sah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-11-1959 No. 80 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Raden Abdullah Yusuf bin Raden Haji Rifin.
XIII.3.4. Saksi a decharge.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa Pengadilan Negeri me¬nolak saksi a decharge hanya dengan kata-kata “dipandang tidak perlu”.
tidak dapat diterima, karena saksi-saksi a decharge termaksud pada hakekatnya saksi-saksi ahli juga dan Pengadilan sudah merasa cukup memperoleh penjelasan dan saksi-saksi ahli yang telah didengar.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-5-1973 No. 18 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : I. Carel Lodewijk Blume, II. Ny. Siti Zubaedah binti Mas’ud. III. Ny. Tini Surtini binti Inasan. IV. Nola Holgher Tomana.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Subekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Indroharto S.H.
XIII.3.7. Tentang keterangan saksi yang ada pertalian keluarga.
Isteri yang sah dan tertuduh tidak dapat dijadikan sebagai saksi yang disumpah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14-5-1973 No. 28 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : Lukman bin Ismail.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. Indroharto S.H.
XIII.3.12. Keterangan ahli.
Sebagai pengganti visum et repertum dapat juga didengar keterangan saksi ahli.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5-11-1969 N0. 10 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Bujung Djafar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. Z. Asikin Kusumahatmadja S.H.
XIII.3.12. Keterangan ahli.
Menurut pasal 306 (2) H.I.R. Hakim tidak terikat pada pendapat seorang ahli (i.c. pendapat Dr. Sie Swie Dong dengan visum et repertumnya) jika pendapat ini bertentangan dengan keyakinannya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-3-1962 No. 72 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Phwa Tjiang Ing.
XIII.3.13. Keterangan saksi yang dibacakan di sidang.
Berdasarkan atas pasal 47 Jo pasal 52 Landgerecht Reglement keterangan dari seorang saksi yang diberikan dihadapan Magistrat Pembantu, yang dibaca¬kan di sidang Pengadilan Negeri, adalah suatu alat pembuktian yang sah.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 15-4-1957 No. 167. K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Milangi Marga Sembiring dkk.
XIII.3.13. Keterangan-keterangan saksi yang tidak disumpah.
Berdasarkan pasal 303 H.I.R. keterangan-keterangan saksi yang diberikan di sidang Pengadilan tanpa sumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan dari upaya pembuktian yang berhubungan; Dalam Perkara ini keterangan-keterangan dari penuntut kasasi sendiri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-12-1956 No. 137 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Djohan marga Ginting Munthe; Anwar.
XIII.3.13. Terdakwa Dalam Perkara lain sebagai saksi.
Seorang terdakwa Dalam Perkara lain, meskipun peristiwanya sama, dapat saja didengar sebagai saksi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-10-1967 No. 60 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Masburo Dalimunte, 2. Abd. Sani, 3. Tohir Ma¬nurung dkk.
dengan Susunan Majelis :1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
XIll.5. 1. Pengakuan dalam sidang.
Theori mengenai “onsplitsbaar aveu” hanya berlaku Dalam Perkara perdata dan tidak Dalam Perkara pidana.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-9-1957 No. 5 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Gouw Liong San.
XIII.5.1. Pengakuan dalam sidang.
Karena terdakwa di sidang Pengadilan Negeri mengaku atas segala yang dituduhkan kepadanya, Hakim cukup mendengar seorang saksi saja.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-11-1957 No. 81 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Roesdi.
XIII.5.2. Pengakuan diluar sidang.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
Bahwa pengakuan-pengakuan para tertuduh I dan II dimuka Polisi dan Jaksa, ditinjau dalam hubungannya satu sama lain dapat dipergunakan sèbagai petunjuk untuk menetapkan kesalahan para tertuduh;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-9-1967 No. 177 K/Kr/1965.
Dalam Perkara :1. Ilyas Soetan Madjo Lelo, II. Boerhanudin Soetan Madjokayo, III. Sjoekoer Malim Soetan.
XIII.5.8. Pengakuan yang dicabut kembali.
Berdasarkan pasal 309 H.I.R. pengakuan terdakwa diluar sidang yang kemudian di sidang Pengadilan dicabut tanpa alasan yang berdasar, merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23-2-1960 No. 229 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Achmadi.
XIII.5.8. Pengakuan.
Suatu pengakuan tidak dapat ditiadakan karena alasan tidak mengerti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-9-1961 No. 85 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Kasah bin Samad.
XIII.5.9. Pengakuan tertuduh yang berdiri sendiri.
Pengadilan Ekonomi dan Pengadilan Tigggi Ekonomi yang menganggap bahwa telah terbukti secara syah dan meyakinkan kesalahan terdakwa akan tuduhan II, dengan hanya berpegang pada pengakuan terdakwa tanpa dikuatkan oleh bukti lain yang dengan demikian merupakan sekedar “bloote bekentenis” termaksud dalam pasal 308 H.I.R. telah melanggar pasal 307 H.I.R.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-4-1962 No. 119 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Ong Kie Bok.
XIII.5.9. Pengakuan tertuduh yang berdiri sendiri.
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri telah salah menerapkan pasal 308 Jo pasal 300 dan berikutnya dari R.I.B. karena pembuktian mengenai tu¬duhan terhadap terdakwa hanya disandarkan pada keterangan terdakwa tanpa dikuatkan oleh kesaksian dengan persyaratan-persyaratan yang dimaksudkan dalam pasal-pasal tersebut, maka putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri harus dibatalkan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1947 No. 37 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Kasirin.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
PUTUSAN/PENETAPAN HAKIM
XIV.1. Bentuk/syarat-syarat putusan.
Putusan yang tidak didahului “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan tidak pula memuat alasan-alasan dan dasar dari putusan adalah merupakan satu kelalaian yang oleh karena itu adalah batal.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-8-1974 No. 104 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Mualib bin Sarkawi.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. Santoso Poedjosoebroto S.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIV.1. Bentuk putusan.
Undang.undang tidak mewajibkan kepada Pengadilan Tinggi untuk mem¬buat catatan dibawah putusannya, bahwa putusan telah diumumkan kepada terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-5-1959 No. 200 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Sanwireja alias Sakoen.
XIV.1. Bentuk penetapan Hakim.
Ketiadaan alasan-alasan dalam perintah Hakim untuk memasukkan seseorang kedalam tahanan tidak menyebabkan batalnya perintah tersebut, asal terpenuhi syarat-syarat bagi penahanan sementara.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-5-1964 No. 100 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Latak bin Haji Tojib.
XIV. 1. Bentuk/syarat-syarat putusan.
Apabila terdapat tuduhan “pertama” (primair) dan “atau” (subsidair), maka apabila terdakwa telah dipersalahkan melakukan tindak pidana yang disebut dalam tuduhan pertama” Pengadilan tidak boleh mempertimbangkan lagi perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa secara “atau” (subsidair), se¬hingga terdakwa tersebut tidak usah dibebaskan dari tuduhan “atau”.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-4-1958 No. 285 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Ong Mie Kong.
XIV.1. Bentuk/syarat-syarat putusan.
Dalam putusan harus disebut unsur-unsur mana dari pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang terbukti dilakukan oleh terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-7-1969 No. 12 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Raden Soeharto.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Prof. R. Sardjono S.H., 3. Indroharto S.H.
XIV.1. Bentuk/syarat putusan.
Keberatan yang diajukan : bahwa putusan Pengadilan Tinggi tidak mengemukakan alasan hukum, onvoldoende gemotiveerd;
tidak dapat diterima, karena Pengadilan Tinggi sudah tepat dengan mengambil alih alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan Pengadilan Negeri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-3-1976 No. 39 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Pukka Naik Sitompul.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Busthanul Anfin S.H., 3. Purwosunu S.H.
XIV.1. Syarat-syarat putusan.
Putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena Pengadilan Tinggi dalam putusannya sama sekali tidak ada pertimbangannya mengapa perbuatan tertuduh yang sudah terbukti itu oleh Pengadilan Tinggi dipandang termasuk soal perdata.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-6-1976 No. 29 K/Kr/1976.
Dalam Perkara : Hamzah bin Achmad.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIV.3. Batalnya putusan.
Walaupun dalam putusan terdapat kesalahan mengenai penyebutan peraturan yang dilanggar tetapi karena dictum putusan sudah tepat, putusan tidak harus dibatalkan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-10-1956 No. 82 K/Kr/1954.
Dalam Perkara : Raden Muhamad Saman bin Raden Achmad.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R.S. Kartanegara, 2. Mr. R. Soerjotjokro, 3. Mr. Sutan Abdul Hakim.
XIV.3. Batalnya putusan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi, bahwa memori bandingnya belum dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi.
dapat dikesampingkan karena hal tersebut tidak menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Tinggi, lagi pula Pengadilan Tinggi telah memeriksa kembali perkara tersebut dalam keseluruhannya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-9-1975 No. 15 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Sunardi.
dengan Susunan Majelis 1. Palti Radja Siregar S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIV.3. Batalnya putusan.
Bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi tidak disebutkan dengan tegas mengenai telah diperhatikannya risalah banding, tidaklah merupakan alasan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi itu, karena dalam H.I.R. tidak ada ketentuan yang menyatakan batalnya putusan Hakim dalam hal terse¬but;
lagi pula Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi selain memperhatikan risalah banding, sehingga penuntut kasasi tidak dirugikan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-7-1961 No. 109 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Cimin alias Tawil; lmam Basuki alias Mujadi; Miskun alias Lembung.
XIV.3. Batalnya putusan.
Tidak diajukannya barang bukti dimuka Pengadilan tidak mengakibatkan batalnya suatu putusan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-10-1958 No. 127 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Gianyam Bargumal Dodani.
XIV.3. Batalnya putusan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa perkara penuntut kasasi diajukan kemuka Hakim tidak dalam jangka waktu 3 bulan, akan tetapi 5 bulan 16 hari dan pada saat perkara diperiksa dimuka sidang Pengadilan tidak dengan jangka waktu 6 bulan, tetapi 6 bulan 6 hari, keadaan mana bertentangan dengan pasal 3 (1) dan pasal 2 dari Perpu No. 24/1960;
tidak dapat diterima karena hal itu tidak menyebabkan batalnya putusan Pengadilan karena jangka waktu yang ditetapkan dalam undang-undang tidak ada sangsinya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-5-1974 No. 149 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : imam Soebekti, Sukarmani.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2.Hendrotomo S.H., 3. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
XIV.3. Batalnya putusan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa penuntut-penuntut kasasi tidak pernah mendapat kesempatan mempelajari berkas perkara sampai diputus oleh Pengadilan Tinggi;
tidak dapat diterima karena hal tersebut tidaklah menyebabkan batal¬nya putusan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-11-1971 No. 155 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Andi Haerani Krg Ngamang dkk.
dengan Susunan Majelis : Prof. Sardjono S.H., Busthanul Arifin S.H., Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
XIV.3. Batalnya putusan.
Mengadili TPE dalam pemeriksaan tingkat banding harus dengan 3 orang Hakim.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-7-1964 No. 25 K/Kr/1964.
Dalam Perkara : Go Siang long.
XIV.3. Batalnya putusan.
Dengan tidak disebutkannya perkataan melakukan kejahatan dalam keputusan tidak mengakibatkan batalnya putusan tersebut.
Perbedaan kwalifikasi antara “pemalsuan surat” dan “membuat surat palsu” adalah soal terjemahan saja, yang tidak akan mengakibatkan batalnya putusan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23-8-1969 No. 36 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Haji Pahmurdji bin Hasan Ro’i.
dengan Susunan Majelis : 1. M. Abdurrachnan S.H., 2. Prof. R. Sardjono S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XIV.3. Batalnya putusan.
Kesalaban judex facti mengenai pengmbalian barang bukti tidaklah menyebabkan batalnya putusan dan cukuplah dalam hal ini Mahkamah Agung memperbaiki putusan mengenai barang bukti itu dengan menyerahkan barang bukti ini kepada yang berhak.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14-5-1973 No. 35 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Jihanes Eli Motullah.
XIV.3. Batalnya putusan.
Kelalaian dalam cara-cara peradilan yang harus diindahkan oleh Pengadilan Ekonomi, yang Dalam Perkara ini sesungguhnya tidak terdapat, berdasarkan pasal 44 U.U. Tindak Pidana Ekonomi hanya dapat digunakan sebagai dasar untuk pembatalan putusannya jika kelalaian tersebut merugikan pihak kejak¬saan dalam tuntutannya atau pihak tersangka dalam pembelaannya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-1-1975 No. 98, 99 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Abu Kiswo bin Kusman.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIV.4. Putusan diluar hadir tertuduh.
Perkara yang tidak bersifat ringan seperti yang dimaksud dalam pasal 6 (1) ayat a dan b Undang-undang No. 1 tahun 1951 tidak dapat diputuskan secara in absentia (verstek).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14-2-1968 No. 70 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Sutjipto bin Djapar.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. Indrobarto S.H.
XIV.4. Putusan diluar hadir tertuduh.
Menurut pasal 6 ayat 1 sub a Undang-undang Darurat tahun 1951 perkara kejahatan “penghinaan ringan” diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam si¬dang dengan tidak dihadiri oleh Jaksa, kecuali bilamana Jaksa itu sebelumnya telah menyatakan keinginannya untuk menjalankan pekerjaannya sebagai penun¬tat umum pada sidang itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-2-1958 No. 269 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Soetomo.
XIV.6. Putusan tentang pembebasan.
Jika Pengadilan Negeri membebaskan terdakwa dari tuduhan “primair dan subsidair” akan tetapi menghukum terdakwa karena tuduhan “lebih subsidair” maka berdasarkan pasal 6 ayat 2 Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 maka tuduhan pnimair dan subsidair tersebut tidak dapat lagi dipergunakan Sebagai dasar untuk menghukum terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-2-1958 No. 168 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Muhamad Nasir bin Dalam Kepala.
XIV.6. Putusan pembebasan
Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tiundak pidana yang disebut dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkutu kompetensi absolut dan relatif tetapi juga dalam hal apabila unsur-unsur non-juridis yang turut dipertimbangkan dalam putusan pengadilan itu, hal mana dalam pelaksanaan wewenang pengawasannya, meskipunhal itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi oleh jaksa, Mahkamah Agung wajib menelitinya, maka atas dasar pendapatnya, bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni, Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi tersebut.
Putusan Mahkamah Agung: tgl. 29-12-1983 No. 275 K/ Pid/ 1983
XIV.6. Putusan pembebasan.
Permohonan banding Jaksa terhadap putusan mengenai tuduhan II subsidair berdasarkan pasal 6 (2) Undang-undang No. 1 Drt 1951 seharusnya tidak diterima oleh Pengadilan Tinggi disebabkan putusan Pengadilan Negeri adalah putusan “bebas murni” yaitu karena unsur “niat” untuk memiliki barang-ba¬rang itu tidak dapat dibuktikan oleh Pengadilan Negeri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-2-1976 No. 58 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Suprapto B.A.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Pahi Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIV.7. Putusan pelepasan dari tuduhan hukum.
Berdasar fakta-fakta yang telah dianggap terbukti dalam persidangan, salah satu unsur pokok, yaitu unsur kesalahan (schuld) dari pasal 359 K.U.H.P. pada hakekatnya tidak dipenuhi, maka perbuatan yang dituduhkan kepada tertuduh tidak dapat dihukum oleh karena bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran, sehingga seharusnya pemohon kasasi dilepas dari segala tuntutan hu¬kum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-5-1976 No. 54 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Idris Gelas Sidi Maradjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Purwosunu S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Hendrotomo S.H.
XIV.8. Putusan “segera masuk”.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Perintah untuk segera memasukkan terdakwa dalam tahanan seyogyanya hanya diberikan dalam hal terdakwa dijatuhi hukuman enam bulan keatas dan ada urgensi yang mendesak untuk itu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-8-1975 No. 67 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : Syahdan bin Junait.
dengan Susunan Majelis : 1. Purwosunu S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIV.9. Isi amar putusan.
Putusan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi harus diperbaiki, karena da¬lam amar putusan tidak dicantumkan bahwa tertuduh dibebaskan dari tuduhan pertama, sedang ia hanya dipersalahkan terhadap tuduhan kedua.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-12-1975 No. 13 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Macdayaros Zjainogri.
dengan Susunan Majelis : 1. Purwosunu S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIV.9. Isi amar putusan.
Karena tindak pidana yang dituduhkan kepada terdakwa dirumuskan sebagai “ndjurmak”, maka dalam amar putusan tindak pidana yang dipersalahkan kepadanya haruslah dirumuskan sebagai “ndjurmak” (pemakaian tanah orang lain tanpa izin yang berhak) juga.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-5-1972 No. 11 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Suwe Karo2; Djedamin Karo2.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Sardjono S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
XIV.9. Isi amar putusan.
Dalam dictum hams disebut semua kwalifikasi tindakan yang terbuk¬ti dilakukan tendakwa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18—7—1970 No. 11 K/Kr/1969.
Dalam Perkara Soengkono bin Chamin; Soedjadi bin Aboe Hasan.
dengan Susunan Majelis PrQf. R. Subekti S.H., Indroharto S.H., R.Z. Asikin Kusumah Atmadja.
XIV.9. Isi amar putusan.
Kekhilafan dalam hal memberi kwalifikasi tidak merupakan alasan untuk membatalkan pemutusan Hakim bawahan; kekhilafan serupa itu akan diperbaiki oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, meskipun permohonan kasasi ditolak.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-9-1967 No. 3 K/Kr/l967.
Dalam Perkara : Toegirin.
dengan Susunan Majelis 1. Suijadi S.H., 2. Prof. R. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
XIV.9. Isi amar putusan.
Putusan Pengadilan Tinggi harus diperbaiki karena Pengadilan Tinggi dalam amar putusannya menyinggung mengenai terdakwa II yang tidak minta banding; lagi pula tidak menyinggung mengenai biaya perkara dalam tingkat banding.
amar putusan Pengadilan Tinggi :
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri ……tentang terdakwa I:………terha¬dap hukuman yang dijatuhkan kepadanya tersebut kecuali terhadap terdakwa II……. kamena tidak dimintakan banding.
Oleh Mahkamah Agung amar putusan diperbaiki sebagai berikut :
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bondowoso tanggal :………….No……. tentang terdakwa I/pembanding. Membebankan biaya perkara dalam ting¬kat banding kepada terdakwa I/pembanding.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 18-6-1970 No. 24 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : 1. K.H. Gozali, 2. Imam Sukardjo, 3. Abdoessyakoe.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Soebekti S.H., 2. Indroharto S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XIV.9. Pertimbangan-pertimbangan putusan.
Tidaklah perlu dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi bahwa tertuduh tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan melanggar pasal 299 K.U.H.P. karena pasal 299 K.U.H.P. ternyata tidak dirumuskan dalam surat tuduhan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-8-1976 No. 92 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Daslim bin Ahmaddin.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji A.H., 2. Hendroto¬mo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XIV.15. Putusan Mahkamah Agung : yang menyatakan tidak dapat diterimanya permohonan kasasi.
Permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena risalah kasasinya dikirim langsung kepada Mahkamah Agung, sedangkan menurut pasal 125 ayat 1 Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia risalah kasasi itu harus disampaikan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Ekonomi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-7-1956 No. 41 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Ng Kong Po.
XIV.15. Putusan Mahkamah Agung : yang menyatakan ddak dapat diterimanya permohonan kasasi.
Berdasarkan atas pasal 125 ayat 2 Undang-undang Mahkamah Agung Indo¬nesia permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena penuntut kasasi tidak memajukan risalah kasasi dimana dimuat alasan-alasan permohonan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-3-1956 No. 93 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Patanring.
XIV.16. Putusan Mahkamah Agung : yang menyatakan ditolaknya permohonan kasasi.
Karena penuntut kasasi tidak dengan tegas memajukan dalam risalah kasasinya undang-undang beserta pasal-pasal mana yang tidak atau salah dilaksanakan oleh Hakim maka permohonan kasasi harus ditolak.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 26-9-1956 No. 7 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Kie Bu Choan (Kee Boe Thuan).
XIV.18. Putusan Mahkamah Agung : yang memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi.
Dalam hal Pengadilan Tinggi sudah mempertimbangkan bahwa tertuduh melakukan tindak pidana korupsi, namun lalai mencantumkannya dalam dictum putusannya, Mahkamah Agung hanya berwenang memperbaiki dictum ltu tanpa memperbaiki putusan yang hukumannya memang ringan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1974 No. 77 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : R. Soemarto Soemarjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji A.H., 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. Indroharto S.H.
XIV.18. Putusan Mabkamah Agung yang memerintahkan pemeriksaan tambahan.
Karena dalam putusan Pengadilan Negeri disebutkan bahwa saksi I pr. Haji Salbiah tersebut “memberi keterangan dibawah sumpah menerangkan di persidangan dst”, sedangkan menurut berita acara persidangan, saksi tersebut tidak disumpah oleh Pengadilan Negeri dengan alasan karena telah disumpah oleh Jaksa pada pemeriksaan pendahuluan.
maka saksi I pr. Haji Salbiah perlu didengar kembali dibawah sumpah dan da¬lam pemeriksaan itu juga perlu ditanyakan kepada saksi apakah gelang itu diberikan karena terpengaruh dengan “kekayaan” dari saksi Alus bin Mansyur.
Oleh Mahkamah Agung diperintahkan kepada Pengadilan Negeri untuk mengadakan pemeriksaan tambahan seperti dimaksud diatas.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-9-1975 No. 40 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Rusni binti Kamidi.
dengan Susunan Majelis : 1. Palti Radja Siregar S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
UPAYA HUKUM
XV.2. Banding.
Karena undang-undang yang dimaksud dalam pasal 14 (2) Undang-undang No. 19/1964 belum ada maka tetaplah berlaku pasal 6 (2) Undang-undang No. 1 tahun 1951.
Putusan Mahkamah Agung : tgL 7-7-1969 No. 41 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Lauw Kwi Eng.
XV.2. Banding.
Putusan yang mengandung pembebasan tidak dapat dimintakan banding oleh Jaksa kecuali dapat dibuktikan dalam memon bandingnya bahwa pembebasan tersebut sebenarnya adalah pembebasan tidak murni.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 28-3-1970 No. 19 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Machmud Kahar.
XV.2. Banding.
Terbadap putusan pembebasan (vrijspraak) Dalam Perkara tindak pidana subversi dapat diajukan banding.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-7-1971 No. 28 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Madjaeni alias Zamad dkk.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Sardjono S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Indroharto S.H.
XV.2. Banding.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa putusan Pengadilan Tinggi Ekonomi bertentangan dengan hukum karena Pengadilan Tinggi Ekonomi menerima banding atas putusan yang mengandung pembebasan murni dari Pengadilan Ekonomi;
tidak dapat dibenarkan, karena bagi tindak pidana ekonomi tidak men¬jadi soal ada/tidaknya pembebasan murni (vrijspraak of onstslag van alle rechts wrvolging) melainkan apakah tindak pidana ekonomi tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-9-1970 No. 25 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : 1. Mak Kim Koan, 2. Richard Tampubolon alias A¬na Ni Patik, 3. The Tjoei Liong.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Soebekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Indroharto S.H.
XV.2. Banding.
Menurut pasal 11 (1) Undang-undang (Drt.) No. 1 tahun 1951 sebagaimana dirobah dengan Undang-undang (Drt.) No. 11 tahun 1955 segolongan perkara atau suatu perkara tertentu dapat diputus dalam tingkat banding oleh seorang Hakim.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-2-1962 No. 93 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Hadisoemarta alias Sukadi.
XV.2. Banding.
Pengadilan Tinggi menurut pasal 16 Undang-undang Darurat N.o. 1 .tahun 1951 jo Undang-undang No. 1 tahun 1961 dalam tingkat banding dapat mengubah putusan Pengadilan Negeri dan mengadakan putusan sendiri dengan mengingat akan pasal 315 ayat 1 H.I.R.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27-6-1961 No. 16 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Soemarto.
XV.2. Banding.
Karena tuduhan subsidair adalah mengenai pelanggaran yang ancaman hukumannya kurang 3 bulan penjara, berdasarkan pasal 6 (1) a dan (2) Undang¬Undang No. 1 Drt. 1951 terhadap putusan atas tuduhan tersebut tidak dapat dimintakan banding.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-2-1976 No. 77 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: 1. Ania A.D. Adiwidjaja bin Kie Shong Pok; 2. Lie Toeng Kie dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Kabul Arifin S.H.; 2. Hendrotomo S.H.; 3. Bustanul Arifin S.H.
XV.2. Banding.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi, bahwa Pengadilan Tinggi tidak melaksanakan ketentuan pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 1/Drt. ta¬hun 1951,
tidak dapat diterima karena hal ini tidak mengakibatkan batalnya pu¬tusan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 15-4-1975 No. 28 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Said Habib Hasyim Chutban.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo S.H.; 2. Bustbanul Arifin S.H.; 3. Z. Asikin Kusumahatmadja S.H.
XV.2. Banding.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: bahwa Pengadilan Tinggi te¬lah memutus perkara ini tanpa memberi kesempatan kepada penuntut kasasi untuk memasukkan memori banding, karena sebelumnya tidak diberitahukan;
tidak dapat dibenarkan, karena tidak ada ketentuan yang mengharuskan Hakim banding menunggu masuknya risalah banding dari terdakwa dalam memutus suatu perkara banding, lagi pula Dalam Perkara ini jarak antara keputusan Pengadilan Negeri dan keputusan Pengadilan Tinggi telah cukup la¬ma.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-6-1968 No. 108 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Adeng; 2. Isben.
dengan Susunan Majelis: 1. Subekti S.H.; 2. Sardjono SH.; 3. Indro¬harto S.H.
XV2. Banding.
Berdasarkan pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 selain terdakwa, Jaksa berwenang untuk naik banding, apabila tidak meneri¬ma baik putusan Pengadilan; pembayaran denda oleh terhukum tidak meng¬hilangkan hak Jaksa untuk naik banding.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-5-1962 No. 20 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Basir bin Abdullah.
XV.2. Banding.
Pengadilan Tinggi telah dengan tepat memutuskan: “Menerangkan, bahwa permohonan akan pemeriksaan dalam tingkat bandingan dari terdakwa-¬terdakwa II, III dan IV tersebut tidak dapat diterima.”
karena putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan diucapkan dengan hadirnya para penuntut kasasi pada tgl. 3 Nopember 1966 dan dalam beri¬ta acara dicatat oleh Panitera Pengganti bahwa para penuntut kasasi minta banding tgl. 12 Nopember 1966, maka permohonan banding diajukannya ter¬lambat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-6-1968 No. 112 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Toposoejatno alias Soejatno al. Sarman (dakwa II); 2. Tjiptosoerasa al. Soewage (dakwa ke III); 3. Darmosentono al. Markam (dakwa ke IV);
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Subekti SH.; 2. Indroharto SH.; 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XV.2. Banding
Karena dalam putusan Pengadilan Negeri tertuduh-tertuduh dilepaskan dari segala tuntutan hukum mengenai tuduhan primair, seharusnya Pengadiian Tinggi menerima permohonan banding dari Jaksa sekedar mengenai tuduhan primair itu; maka putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan dan diperintah¬kan agar Pengadilan Tinggi membuka kembali persidangan untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut dalam pemeriksaan banding sekedar mengenai tuduhan primair.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-10-1973 No. 100 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: 1. Muchamad Busro bin Rujami; 2. Rumidan bin Djami¬un al Sardi;
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin SH.; 3. Sri Widoyati Wiratmo Soekito S.H.
XV.2. Banding.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: bahwa ia tidak diberi tahu tentang permohonan banding daripada Jaksa dan tidak diberi tahu isi memo¬ri banding sehingga ia tidak dapat mengajukan contra memori banding;
tidak dapat diterima, karena hal tersebut tidak menyebabkan batalnya putusan, lagi pula contra memori banding tidak menentukan karena dalam ting¬kat banding perkara diperiksa kembali dalam keseluruhannya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-9-1972 No. 47 K/Kr/1971.
Dalam Perkara: Soetomo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Sardjono S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.; 3. lndroharto S.H.
XV.2. Banding.
Walaupun terdakwa III telah menerima putusan Pengadilan Ekonomi, te¬tapi karena Penuntut Umum naik banding, perkaranya diperiksa kembali seca¬ra keseluruhan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-11-1975 No. 89 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: 1. Muji Setiono bin Jotosumarto; 2. Tan Heng Yan; 3. Chaidir bin Saleh.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.2. Banding.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa tertuduh I dan Jaksa telah meminta agar perkara ini diperiksa dan diputus dalam tingkat banding;
bahwa dart akte banding Jaksa ternyata Jaksa hanya membanding ter¬hadap keputusan Pengadilan Negeri mengenai diri tertuduh I saja;
Selanjutnya oleh Pengadilan Tinggi hanya diputuskan mengenai diri ter¬tuduh I: hukuman terhadap tertuduh I dirobah dari 8 bulan menjadi 1 ta¬hun.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-4-1968 No. 113 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Selamat Depari; 2. Nuradjab.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Subekti S.H.; 2. Sardjono S.H.; 3. Sri Widojati Notoprodjo S.H.
XV.2. Banding.
Tidak dipertimbangkannya risalah banding secara khusus oleh Pengadilan Tinggt tidaklah menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Tinggi tersebut.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23-8-1972 No. 7 K/Kr/1971.
Dalam Perkara: Hasbullah.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XV.2. Banding.
Kata “dan” dalam pasal 43 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi menjadikan bagian kalimat sesudah kata “dan” ini merupakan suatu keseluruhan dengan bagian kalimat sebelum kata “dan” tersebut.
Oleh karena itu terhadap putusan Pengadilan Ekonomi Dalam Perkara ini, walaupun mengenai pelanggaran, dapat dimintakan banding karena hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman penjara.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-5-1961 No. 178 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Liem Swan Thwan.
XV.3. Kasasi.
Menurut ketentuan undang-undang yang sekarang ini berlaku, Mahkamah Agung belum dapat menjalankan kasasi terhadap putusan-putusan badan-badan Pengadilan dari lingkungan lain selainnya Peradilan Umum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-8-1976 No. 125 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Otto Bojoh.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Umar Seno Adji S.H.; 2. Purwosunu S.H.: 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Karena permohonan kasasi diajukan langsung kepada Mahkamah Agung, tidak menurut cara yang ditentukan oleh ps. 122 U.U. M.A.1., permohonan kasasi tidak bisa diterima;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-3-1959 No. 2 K/Kr/1959.
Dalam Perkara: Mohamad Kijam (Mohd. Kiam bin Idrus).
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi yang diajukan kepada Panitera Pengganti Pengadilan Negeri, yang menurut pasal 122 (1) Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia harus diajukan kepada Panitera Pengadilan Tinggi, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 2-5-1961 No. 17 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Tubari bin Misban.
XV.3. Kasasi.
Permohonan untuk pemeriksaan kasasi menurut pasal 122 U.U. M.A.1. harus disampaikan oleh pemohon sendiri atau wakilnya, yang sengaja dikuasa¬kan untuk memajukan permohonan itu. Apabila wakilnya tidak mempunyai surat kuasa khusus, maka permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-9-1958 No. 117 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Liong Tjin.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak ketiga/saksi tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-5-1967 No. 141 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: Djudi alias Ruman Peranginangin.
XV.3. Kasasi.
Menurut pasal 17 dan 121 U.U. M.A.I. yang berhak mengajukan permohonan kasasi Dalam Perkara pidana adalah terdakwa dan Jaksa Agung. Apabila Dalam Perkara pidana yang mengajukan permohonan kasasi seorang jaksa dari Pengadilan Negeri, maka untuk itu jaksa tersebut harus mendapat kuasa khusus dari Jaksa Agung. Jika tidak permohonan kasasi dari jaksa itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1-3-1958 No. 322 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Poh Kim Heng dkk.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Agung semata-mata untuk kepentingan hukum dengan tidak merugikan pihak yang berkepentingan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-5-1962 No. 178 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Kiem Swan Thwan.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa pada Kejaksaan Negeri tanpa mendapat kuasa khusus dari Jaksa Agung untuk mengajukan permohonan kasasi-jabatan, harus dianggap sebagai kasasi-pihak (partij cassatie).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1975 No. 112 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: R. Hardjasurawinata.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo S.H.; 2. Palti Radja Siregar S.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi yang diajukan dengan melewati tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal 122 U.U. M.A.I. harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12-9-1974 No. 521 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Raden Mochamad Asari Surianegara.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Bahwa tenggang yang berlalu antara diajukannya permohonan kasasi (tgl. 12 Juni 1967) dan diterimanya risalah kasasi (tgl. 4 Juli 1967) adalah 22 hari, jadi melewati tenggang 2 minggu sebagaimana ditentukan dalam pasal 125 (1) U.U.M.A.I.
bahwa akan tetapi permohonan kasasi itu diajukan terhadap putusan Pengadilan di luar Jawa-Madura, sedang tenggang yang berlalu antara pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi (tgl. 6 Juni 1967) dan diterimanya risalah kasasi adalah 28 hari, jadi masih dalam tenggang untuk mengajukan permohonan kasasi, maka dalam hal ini tanggal penerimaan kasasi dapat dianggap sekali¬gus sebagai tanggal diajukannya permohonan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10-2-1968 No. 92 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: Stanis Pedron Sareng.
dengan Susunan Majelis: 1. Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
XV.3. Kasasi.
bahwa tenggang yang berlalu antara diajukannya permohonan kasasi (tgl. 22 April 1961) dan diterimanya risalah kasasi (tgl. 9 Mei 1964) adalah 17 hari jadi melewati tenggang 2 minggu sebagaimana ditetapkan dalam pasal 125 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia;
akan tetapi permohonan kasasi tersebut diajukan 3 hari sebelum keputusan Pengadilan Tinggi secara resmi diberitahukan kepada penuntut kasasi (tgl. 25 April 1964);
jika tanggal diberitahukannya keputusan Pengadilan Tinggi ini dianggap sebagai tanggal diajukannya permohonan kasasi, penerimaan risalah kasasi ma¬sih dalam tenggang 2 minggu sebagaimana ditentukan dalam pasal 125 U.U. M.A.I. maka permohonan kasasi formil dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-8-1966 No. 129 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: Abdoel Moeluk gelar Soetan Radjo Bangsor.
dengan Susunan Majelis: 1. Subekti SH.; 2. Sutan Abdul Hakim SH.; 3. M. Abdurrachman S.H.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi yang diajukan Jaksa Agung karena jabatan tidak ter¬ikat pada Ienggang waktu menurut pasal 122 ayat 1 U.U.M.A.1.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7 Juli 1964 No. 25 K/Kr/1964.
Dalam Perkara: Go Siang Jong.
XV.3. Kasasi.
Yang harus digunakan sebagai dasar perhitungan waktu memajukan permohonan kasasi ialah tempat kedudukan dari Pengadilan tingkat pertama yang mengadili perkara dari penuntut kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1955 No. 84 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Moh. Junan bin Haji Maksud.
XV.3. Kasasi.
Dengan dimasukkannya risalah kasasi, penuntut kasasi telah mengajukan permohonan kasasi pada saat itu juga.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-3- 1967 No. 79 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: Haji Cholil dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Suryadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. Muh. Ishak Sumowijoyo S.H.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima apabila tidak diajukan risalah kasasi.
Putnsan Mahkamah Agung tgl. 30-9-1975 No. 20 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Kim Hok alias Katono.
dengan snsunan majelis: 1. Busthanul Arifin S.H.; 2. Palti R. Siregar S.H.; 3. Purwosunu S.H.
XV.3. Kasasi.
Walaupun penuntut kasasi tidak mengajukan risaiah kasasi tersendiri, ka¬rena dalam akte kasasi tercantum keberatan kasasi yang diajukan oleh penun¬tut kasasi, permohonan kasasi harus dinyatakan dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-1-1975 No. 46 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Mohamad Sidik.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Palti R. Si¬regar S.H.; 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
XV.3. Kasasi.
Risalah kasasi yang hanya dicap jempol tanpa disahkan lebih dulu oleh pejabat yang berwenang, tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam pasal 1 S. 1916 No. 46 jo. 43 sebagai telah diubah dengan S. 1919—776, sehingga ha¬rus dianggap bahwa penuntut kasasi tidak mengajukan risalah kasasi termaksud dalam pasal 125 U.U.M.A.I.
XV.3. Kasasi.
Yang mengatur tenggang waktu untuk menyampaikan risalah kasasi ada¬lah suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa, sehingga permohonan kasa¬si tidak dapat diterima apabila tenggang waktu itu dilampaui.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-11-1968 No. 58 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Djapar Sutan Djaramis.
XV.3. Kasasi.
Tambahan risalah kasasi yang diterima melewati tenggang waktu dalam pasal 125 ayat 1 Undang-Undang M.A.I. tidak dapat dipertimbangkan di Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-4-1967 No. 5 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: Go Siang Jong.
XV.3. Kasasi.
Kalau secara resmi telah diajukan permohonan kasasi walaupun pemberitahuan resmi keputusan Pengadilan Tinggi belum dilakukan, maka tanggal menga¬jukan permohonan kasasi berlaku sebagai tanggal permulaan jangka waktu risa¬lah kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7 -7-1972 No. 12 K/Kr/1971.
Dalam Perkara: Johan Niamu.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Subekti S.H.; 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.; 3. D.H. Lumbanraja S.H.
XV.3. Kasasi.
Pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi didasarkan pada waktu penerimaan permohonan kasasi, walaupun risalah kasasi telah diterima lebih dahulu.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-1-1969 No. 62 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Mohamad lusuf.
dengan Susunan Majelis: 1. M. Abdurrachman S.H.; 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Menurut pasal 124 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia permohonan kasasi tidak dapat dicabut kembali setelah surat-surat pemeriksaan di¬kirim ke Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-9-1956 No. 33 K/Kr/1956.
Dalam Perkara: Benyamin Alwien Rozenberg.
dengan Susunan Majelis: 1. Mr. RS. Kartanegara; 2. Mn. R. Soenjotjokro; 3. Mr. Sutan Abdul Hakim;
XV.3. Kasasi.
Kasasi adalah suatu alat hukum untuk melawan suatu putusan Hakim, maka alat hukum itu tidak dapat dipergunakan lagi setelah putusan Hakim tersebut diterima baik oleh si terhukum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-1-1958 No. 235 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Tjin Kau Tjun.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi yang diajukan oleh terdakwa, sedang terdakwa tidak menggunakan haknya lebih dulu untuk mohon pemeriksaan ulangan oleh Pengadilan yang lebih tinggi, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-3-1958 No. 314 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Mustakim.
XV.3. Kasasi.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang dijatuhkan di luar hadlirnya terdakwa, tidak dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi, jikalau terdakwa be¬lum mempergunakan haknya melawan (verzet) putusan Pengadilan Negeri;
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-5-1958 No. 66 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Kiliman dan Sakijo.
XV.3. Kasasi.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menunut PS. 6 ayat 1 bab. b Undang-Undang Darurat Tahun 1951 No. 1 tidak dapat dimintakan banding, secara Iangsung dapat diminta kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-2-1956 No. 15 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Tjan Koan Beng.
XV.3. Kasasi.
Berdasarkan atas ps. 16 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia, permohonan kasasi tidak dapat diterima oleh karena permohonan itu diajukan pada saat sebelum ada putusan terakbir dari Pengadilan Tinggi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 24-8-1955 No. 36 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Djapeni bin Balan dkk.
XV.3. Kasasi.
Terhadap putusan sela dari Pengadiian Tinggi tidak dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi oleh karena putusan sela tidak merupakan putusan yang terakhir.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 25-2-1958 No. 320 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : M. Kabul.
XV.3. Kasasi.
Pada tingkat kasasi tidak dapat diajukan alat-alat bukti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-2-1960 Nc. 228 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Paidi.
XV.3. Kasasi.
Menurut paul 16 U.U.M.A.I. pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak mungkin dilakukan terhadap putusan Pengadilan Dalam Perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-9-1956. No. 70 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Tjian Siau Tjeng.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi terhadap putusan pembebasan dari segala tuduhan tidak dapat diterima, karena dalam memori kasasi tidak memuat bantahan bahwa pembebasan tersebut sesungguhnya suatu lepasan dari tuntutan hukum berdasarkan alasan bahwa pembebasan tersebut tidak murni, juga tidak terdapat keberatan-keberatan bahwa pembebasan termaksud didasarkan atas tafsiran yang kurang benar atau kurang tepat.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-7-1974 No. 69 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Arifiddin.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. Santoso Pudjosubroto S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan-ke beratan kasasi harus dituj ukan terhadap putusan Pengadilan Tinggi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13—1—1971 No. 128 K/Kr/1969.
Dalam Perkara Soejadi bin Soengkono.
dengan Susunan Majelis 1. Prof. R. Sardjono S.H., 2. Sri Widojati Wirat¬mo Soekito S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan-keberatan yang diajukan penuntut kasasi tidak dapat diterima karena keberatan-keberatan tersebut tidak mengenai pokok persoalan dari putusan Pengadilan Tinggi sehingga keberat an-keberatan itu irrelevant.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 31-5-1972 No. 89 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : 1. Ibrahim alias Otjok Radjaguguk, 2, Muhamad Tabir Radjaguguk.
dengan Susunan Majelis 1. Prof. Subekti S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi yang diajukan hanya dengan alasan “merasa keberatan terhadap putusan Pengadilan Tinggi” dianggap bahwa permohonan kasasi tersebut diajukan secara tidak sungguh-sungguh.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-1-1971 No. 9 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Sutanto bin Karjodiwirjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti SH., 2. Indrohanto S.H., 3. D.H. Lurnbanradja SH.
XV.3. Kasasi.
Hal yang baru dikemukakan dalam risalah kasasi yaitu yang merupakan novum tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-1-1971 No. 101 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Nyak Ali.
dengan Susunan Majelis 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Indroharto S.H. 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan mengenai basil pembuktian adalah keberatan yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-9-1967 No. 41 K/Kr/1967.
dengan Susunan Majelis : 1. Suryadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
XV.3. Kasasi.
Permohonan kasasi harus ditolak karena keberatan-keberatan yang diaju¬kan pemohon kasasi bertentangan dengan keterangan-keterangannya pada pemeriksaan persidangan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-2-1970 No. 63 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : M. Nadjib.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Soebekti S.H., 2. Indroharto SH., 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : bahwa saksi memberikan uang kepada tertuduh atas kerelaan sendiri, maka menurut tertuduh adalah bukan kejahatan ataupun pelanggaran perbuatan tertuduh tersebut.
tidak dapat dibenarkan; karena pada hakekatnya keberatan serupa itu adalah mengenai basil pembuktian, jadi mengenai penghargaan dari suatu kenya¬taan dan keberatan serupa itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksa¬an pada tingkat kasasi.
(i.c. perkara pasal 418 K.U.H.P.).
Putusan Mahkamah Aguug tgl. 30-6-1976 No. 75 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Kaddi bin Simin.
dengan Susunan Majelis : 1. Kabul Arifin S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang ditujukan kepada jenis hukuman tidak dapat diterima karena hal tersebut adalah wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali kalau telah dijatuhkan hukuman yang lain daripada yang dite¬tapkan oleh undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30-9-1975 No. 36 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Oh Tjeng Sih.
dengan Susunan Majelis : 1. Palti Radja Siregar S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Ukuran hukuman adalah wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi kecuali kalau melampaui batas maximum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 26-6-1972 No. 15 K/K.r/1970.
Dalam Perkara : Uding alias Saiful Bachri bin H. Nuria.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Sardjono S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi bahwa Pengadilan Ting¬gi terlalu berat memberikan hukuman, hal mana bertentangan dengan hukum dan kepatutan, karena Rumah Sakit tidak banyak dirugikan;
tidak dapat dibenarkan, karena penjatuhan hukuman itu tidak melanggar hukum, sebab masih dibawah hukuman tertinggi yang diancamkan oleh undang¬undang.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6-5-1967 No. 146 K/Kr/1966.
Dalam Perkara : R. Tumenggung Suhadi Prijonegoro.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi SH., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
XV.3. Kasasi.
Soal siapa yang didengar sebagai saksi tergantung pada kebijaksanaan judex facti yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-4-1961 No. 103 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Darso.
XV.3. Kasasi.
Soal bagaimana menggunakan keterangan-keterangan saksi yang berlainan itu adalah terserah kepada Hakim, yang hal tersebut merupakan penilaian suatu kenyataan yang tidak tunduk pada kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 21-11-1961 Nc. 116 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Mochamad bin Amad.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi bahwa Hakim tidak bersedia mempertimbangkan surat keterangan Dokter dan surat-surat keterangan lainnya yang telah diajukan;
tidak dapat dibenarkan karena hal tersebut terserah kepada kebijaksanaan Hakim dan masalah kebijaksanaan ini tidak tunduk pada kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 7-11-1961 No. 82 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Losanius Seba.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi :
Pengadilan Negeri dalam keputusannya mempergunakan pendapat yang bersumber pada Team AkhIi Tehnis pada waktu itu (materi yang Iama).
Sementara dalam proses banding timbul pendapat baru dari Team Ahli Tehnis tanggal 11 Maret 1968 (materi yang baru) yang bertentangan dengan pendapat diatas.
Menurut pendapat pemohon disini ada perobahan perundang-undangan secara materiil, sehingga yang harus dipakai terhadap terdakwa adalah yang paling baik (pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.).
tidak dapat diterima, karena apa yang disebut penuntut kasasi sebagai “materi lama” dan “materi baru” tidaklah merupakan perubahan perundang¬undangan yang dimaksud oleh pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.; kalau pengajuan “materi baru” ini dimaksudkan sebagai pembuktian baru, hal ini tidak dimung¬kinkan ditingkat kasasi dan harus dikesampingkan.
Putnsan Mahkamah Agung tgl. 3-12-1975 No. 97 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Harjono B.E. bin Amadi.
dengan Susunan Majelis : 1. Busthanul Arifin S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Purwosunu S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa hubungan antara pe¬mohon dengan saksi Somad (saksi pengadu) adalah hubungan perdata (hutang-piutang) dimana sebelum perkara pidana ini putus saksi Somad telah mengaju¬kan perkara perdata No. 3/1973/PN Lahat yang menggugat pemohon kasasi untuk minta ganti rugi; dengan demikian adalah adil apabila putusan Pengadilan Tinggi merobah putusan Pengadilan Negeri dengan melepaskan pemohon dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging);
tidak dapat diterima, oleh karena tidak berkenaan dengan tidak dilaksanakannya peraturan hukum atau ada kesalahan dalam pelaksanaannya ataupun tidak dilaksanakannya cara peradilan yang harus diturut menurut undang-undang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 U.U.M.A.I.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-8-1967 No. 146 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : R.A. Madjid bin R.Dencik.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Kabul Arifin S.H.,, 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa kehati-hatian penuntut kasasi selaku sopir sudah cukup; bahwa ía menderita “ziekelijke storing der verstandelijke vermogen”;
tidak dapat diterima karena keberatan-keberatan serupa itu adalah me¬ngenai penilaian hasil pembuktian, jadi mengenai penghargaan dari suatu ke¬nyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat ka¬sasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-2-1967 No. 42 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Hasanudin bin Dulaur.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin A.H.
XV.3. Kasasi.
Mengingat ketentuannya tidak imperatif, maka dirampas tidaknya barang bukti adalah wewenang judex facti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-8-1969 No. 66 K/Kr/1969
Dalam Perkara : R.M. Soedianto Dimjadi.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Subekti S.H., 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa ia tidak bermaksud untuk melakukan pencurian tetapi hanya bermaksud untuk mengambil sepe¬danya;
tidak dapat diterima karena hal tersebut adalah mengenal penilaian hasil pembuktian yang tidak dapat dipertimbangkan pada pemeriksaan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 5-11-1974. No. 71 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Binsar Siregar.
dengan Susunan Majelis : 1. Purwosunu S.H., 2. Palti Radja Siregar SH., 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Hal apakah kata-kata terdakwa hanya merupakan kritik yang pedas atau merupakan penghinaan adalah mengenai penghargaan kenyataan yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-9-1955 No. 53 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Gok Tjing Hok.
XV.3. Kasasi.
Hal apakah sebuah tulisan melanggar perasaan kesopanan atau tidak adalah wewenang judex facti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-1-1961 No. 120 K/Kr/1960
Dalam Perkara : Jusuf Shati Nasution.
XV.3. Kasasi.
Hal apakah perkataan-perkataan penuntut kasasi yang dituduhkan itu diucapkan dimuka umum atau tidak adalah mengenai penghargaan dari kenyataan, yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23-3-1957 No. 17 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Madnus Van Der Put.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R.S. Kartanegara, 2. Mr. Sutan Abdul Hakim, 3. R. Ranu Atmadja.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa hubungan terdakwa dengan saksi adalah hubungan dagang ……..sehingga pemohon kasasi tidak menggunakan wang milik saksi dengan melawan hukum dan bahwa hubungan ini adalah soal perdata;
tidak dapat diterima, karena keberatan itu mengenai penilaian basil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-8-1976 No. 142 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Soenarjo alias Setioatmodjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2.Purwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi bahwa Hakim banding keliru menafsirkan adanya unsur pasal 212 K.U.H.P., yaitu mengenai unsur melakukan tugasnya dengan sah, karena Sdr. F. Nasibu menyalah gunakan jabatannya tanpa surat perintah yang sah, oleh karena itu Sdr. F. Nasibu bukan menjalan¬kan tugas jabatannya secara sah.
tidak dapat diterima, oleh karena mengenai basil pembuktian yang ber¬sifat penghargaan tentang suatu kenyataan, yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4-8-1976 No. 22 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Saleh Lamadlauw.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi bahwa ia tidak dapat dipersalahkan karena ini adalah kecelakaan, yang oleh pengemudi manapun ti¬dak akan dapat dihindarkan/diluar kesanggupan manusia normal;
tidak dapat diterima, karena keberatan itu adalah mengenai penilaian ha¬sil pembuktian, yang tidak dapat dipertimbangkan pada pemeriksaan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23-9-1975 No. 117 K/Kr/l974.
Dalam Perkara : Momo bin Karna.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Kabul Arifin SH., 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi bahwa perbuatannya itu dilakukan karena keadaan paksa (overmacht);
tidak dapat diterima karena pada hakekatnya keberatan semacam itu adalah mengenai penilaian hasil pembuktian, jadi mengenai penghargaan dari suatu kenya¬taan, yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 14 - 10- 1975 No. 125 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Komar Slamat.
dengan Susunan Majelis : 1. Purwosunu S.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: bahwa pemohon sama sekali tidak dapat dipersalahkan melakukan kejahatan tindak pidana korupsi, karena sama sekali tidak merugikan keuangan negara, sebab transaksi jual beli dilakukan dengan melalui prosedure sebagaimana mestinya dengan penetapan harga yang pantas;
tidak dapat diterima; keberatan serupa itu pada hakekatnya adalah menge¬nai penilaian hasil pembuktian, yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemerik¬saan tingkat kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19 - 11 - 1974 No. 54K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Haji Mustafa Umar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. oemar Seno Adji S.H.; 2. Purwosunu SH.; 3. Busthanul Arifin S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi: bahwa benar ucapan terdakwa-terdakwa merupakan rangkaian kata-kata bohong menurut pasal 378 K.U.H.P.;
tidak dapat dibenarkan karena keberatan tersebut mengenai penilaian ha¬sil pemhuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-6-1970 No. 168 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: Said Alwaini, Saleh bin Said Alwaini.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Sardjono S.H.
XV.3. Kasasi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: bahwa perbuatan pemohon kasasi menanda tangani Kartu Pemilih Model A-1 barulah merupakan sua¬tu perbuatan persiapan yang menurut undang-undang belum dapat dihukum;
tidak dapat diterima, karena pada hakekatnya keberatan semacam itu adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang tidak dapat dipertimbang¬kan dalam pemeriksaan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8-1-1975 No. 66 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: Kliwon.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Palti Radja Siregar S.H.; 3. Purwosunu S.H.
BARANG BUKTI
XVI. Barang bukti.
Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyarat¬kan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-11-1962 No. 125 K/Kr/1960.
Dalam Perkara: Mr. Lim Wan Too.
XVI.2. Perampasan barang bukti.
Pengadilan Tinggi dan Pengadilàn Negeri dalam keputusannya tidak mempertimbangkan dasar-dasar perampasan barang bukti; oleh karenanya kedua ke¬putusan tersebut sebagai kurang beralasan harus dibatalkan.
Putnsan Mahkamah Agung tgl. 22-2-1969 No. 89 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Parta Sugeng.
dengan Susunan Majelis: 1. M. Abdurrachman S.H.; 2. Sardjono S.H.; 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
XVI.2. Perampasan barang bukti.
Putusan Pengadilan Negeri yang dalam amarnya a.1. menyatakan bahwa barang bukti sejumlah minyak tanah disita, harus diperbaiki karena menurut ketentuan yang bersangkutan (pasal 7 ke 2 Petnoleum-ordonnantie) barang buk¬ti dapat dirampas.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-1-1961 No. 57 K/Kr/1960.
Dalam Perkara: Patuan Soritua Harahap.
XVI.2. Perampasan barang bukti.
Oleh Undang-Undang Darurat No. 7/1955 dan pasal 39 K.U.H.P. perampasan tidaklah diharuskan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22-12-1964 No. 22 K/Kr/1964.
Dalam Perkara: Kiai Haji Achmad Syarbini.
XVI.3. Pengembalian barang bukti.
Dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 3-3-1972 No. 87 K/Kr/1970.
Dalam Perkara: Imani Soeardi Tjondro Kusumo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Sri Widoyati Wirat¬mo SoekitoS.H.; 3. Busthanul Arifin S.H.
XVI.3. Pengembalian barang bukti.
Karena menurut catatan dalam daftar pemeriksaan Pengadilan Negeri ti¬dak ada suatu barang buktipun yang diajukan di muka sidang Pengadilan Ne¬geri, maka putusan Pengadilan Tinggi mengenai barang-barang bukti seperti tercantum dalam amar putusannya sebagai bertentangan dengan kenyataan tak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan.
(i.c dalam amar putusan Pengadilan Tinggi dicantumkan: “Memerintah¬kan agar barang-barang bukti berupa: 1……2………dikembalikan kepada L.Tj.H.).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 15-2-1969 No. 43 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Lie Tjin Phan.
dengan Susunan Majelis: 1. M. Abdurrachman SH.; 2. DH. Lumbanra¬dja S.H; 3. Busthanul Arifin S.H.
XVI.4. Baring bukti yang tidak diajukan di muka siding.
Tidak memberi keputusan atas barang bukti (surat) yang diajukan di muka sidang dan memberi keputusan atas sesuatu barang yang tidak diajukan se¬bagai barang bukti di muka sidang tidaklah mengakibatkan batalnya putus¬an.
Yudex facti tidak berwenang memberi putusan terhadap barang yang ti¬dak diajukan di muka sidang.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-7-1971 No. 129 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: Wirotaruno.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Sardjono S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.; 3. D.H. Lumbanradja S.H.
XVI.4. Barang bukti yang tidak diajukan di sidang.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: bahwa Pengadi]an Tinggi Ekonomi telah memberi keputusan tentang barang bukti yang tidak dikemukakan dalam persidangan;
tidak dapat diterima, karena mengenai barang bukti mesin tempel itu ada disebut dalam surat tuduhan Jaksa, hanya tidak ditujukan di depan si¬dang Pengadilan Ekonomi dan pemegangnya, T. Ibrahim, mengakui di depan sidang adanya barang bukti mesin tempel tersebut sebagai termaksud dalam surat tuduhan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 30 - 7 - 1973 No. 15 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: M. Junus bin Anzib.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Sardjono S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
XVI.4. Barang bukti yang tidak diajukan di persidangan.
Sudahlah tepat Pengadilan Tinggi tidak memberi keputusan mengenai barang-barang termaksud, karena menurut berita acara persidangan yang diajukan hanya surat-surat, sedang yang dimaksud dengan barang bukti dalam persidangan ialah barang bukti yang resmi diajukan oleh Jaksa kepada Hakim dalam per¬sidangan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 23 - 5 - 1973 No. 115 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: 1. Djokotirtodiningrat; 2. Lodewijk Arnold Soewak.
dengan Susunan Majelis:1. Prof. Sardjono SH.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. D.H. Lumbanradja S.H.
HUKUM ACARA PIDANA
1.3. Cara pemeriksaan.
Dalam hal Pengadilan menganggap ada “praejudicieel geschil”, pemeriksaan perkara harus ditangguhkan dulu dan tidak terus diputus.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11 April 1978 No.8 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Hanapiah bin M. Amin.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
1.3. Cara pemeriksaan.
Keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi, bahwa Majelis telah lebih dulu memeriksa tertuduh dan baru kemudian saksi-saksi, tidak dapat dibenarkan, karena dalam sidang perkara pidana. Hakimlah yang berwenang menentukan bagaimana pemeriksaan akan dilakukan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-3-1978 No. 150 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: Liern Tji Sian (G) al. Bernard Rozano al. Roy Manaff (Bob Liem).
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
1.3. Cara pemeriksaan.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi, bahwa ia dalam peradilan tingkat pertama dan tingkat banding tidak diberi kesempatan untuk membaca berkas perkara, tidaklah dapat diterima, karena dalam sidang Pengadilan telah diterangkan dan ditanyakan segala sesuatunya mengenai perkara ini, jadi penuntut kasasi tidak perlu membaca sendiri berkas perkaranya.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20-12-1978 No. 169 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Riduan Syahrani bin Indar.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
III.3. Terdakwa meninggal.
Dalam hal terdakwa telah rneninggal (pada taraf pemeriksaan banding), Pengadilan Tinggi cukup rnengeluarkan penetapan yang menyatakan tuntutan hukuman gugur atau tuntutan jaksa tidak dapat diterima karena terdakwa meninggal dunia.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13 Agustus 1979 No. 186 K/Kr/1979.
Dalam Perkara : Drs. H. Chozin Baidowi.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
VII.3. Pendengaran saksi-saksi.
Penilaian relevansi dari pada saksi-saksi yang akan didengar adalah wewenang judex facti.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 26 Oktober 1976 No. 108 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Abu Anak Kuang.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Palti Radja Si¬regar SH. 3. Busthanul Arifin SH
XI.2. Penahanan.
1. Kurang tepatnya sebutan nama undang-undang, dalam hal ini Undang-undang Pokok Kejaksaan bagi Undang-undang tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi tahun 1961 No. 16 yang dijadikan dasar dari Penetapan P.T. tidak menyebabkan kurang kuatnya penetapan P.T. tersebut.
2. Pengadilan Negeri dalam memberikan penetapannya tentang perpanjangan penahanan baik dalam bentuknya penetapan maupun secara substansil harus mengindahkan ketentuan perundang-undangan, pasal 38 d (1) (2) H.I.R. yang memungkinkan Hakim untuk meminta surat-surat pemeriksaan supaya diajukan dan untuk memerintahkan pelepasan dan penahanan tersangka apabila berkesimpul¬an bahwa perbuatan itu tidak termasuk dalam pasal 62 (2) H.I.R.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1977 No. 189 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Basuki Pringgoadimulya alias Liem Yan Tjae.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XlI.1. Syarat-syarat tuduhan.
Karena tuduhan tidak jelas, tuduhan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 10 September 1979 No. 234 K/Kr/1978.
Dalam Perkara Ny. Armina Sitompul Panggabean.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XII.1. Syarat-syarat tuduhan.
Pengadilan Tinggi telah salah menafsirkan keabsahan surat tuduhan yang Dalam Perkara ini telah memuat hal-hal yang disyaratkan oleh peraturan perundang¬-undangan yang berlaku.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 4 Oktober 1978 No. K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Ruban Ampangalo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Busthanul Arifin SH.
XII.2. Isi surat tuduhan.
Dalam surat tuduhan harus disebutkan secara lengkap perbuatan-perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa; tuduhan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut dalam pasal 263 (1) (2) jo 416, 419 K.U.H.P. dan pasal 1 Peraturan Pemerin¬tah Pengganti Undang-undang No. 24 tahun 1960, tidak dapat diartikan sebagai mencakup pula perbuatan-perbuatan termaksud dalam pasal 418 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29 Oktober 1979 No. 157 K/Kr/1977.
Dalam Perkara : Kasimin Mardisuwito.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
XlI.3. Perubahan surat tuduhan.
Pasal 14 Undang-undang No. 1 /Drt tahun 1951 sifatnya tidak inperatif dan adalah wewenang sepenuhnya dan pada judex facti untuk mengubah atau tidak surat tuduhan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12 Maret 1979 No. 35 K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Tham Meng Foo.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XII.6. Penggabungan/pemisahan perkara.
Penggabungan perkara tertuduh-tertuduh bertentangan dengan pasal 250 (14) H.I.R. karena setiap tertuduh diajukan dengan surat tuduhan secara terpisah-pisah sehingga dengan adanya beberapa tertuduh dengan tuduhan yang terpisah-pisah, berita acara dan putusan pun harus dipisahkan.
Putusan Mahkamah Agung :tgl. 19-11-1977 No.95 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Ny. Toen Wang Ting alias Tutik Lawati.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Z. Asikin Kusu¬mah Atmadja SH. 3. Indroharto SH.
XlII.1. Pembuktian.
Hakim itu bebas dalam memberikan penghargaan atau penilaian terhadap bahan bukti dalam hal ini bahan-bahan bukti yang dlkumpulkan oleh Hakim dapat menimbulkan konklusi bahwa perbuatan yang dituduhkan itu dapat terbukti dan adanya material-material itu tidak bertentangan satu sama lain.
Tuduhan adalah jelas karena memuat perbuatan-perbuatan materiil yang dimaksud dalam pasal 263 (2) K.U.H.P. yaitu: menggunakan atau menyuruh pengacaranya menggunakan surat-surat palsu atau yang dipalsukan berupa 2 invoerpas No. 820/L.T. tanggal 22 Maret 1967. dan No. 820/L.T. tanggal Maret 1967.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 19-11-1977 No. 142 K/Kr/1975.
Dalam Perkara Dian Rahayu Kurniawan d/h Kwok Hui Jun.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XlII.3.1. Keterangan saksi yang berdiri sendiri.
Judex facti telah salah menerapkan hukum, karena mendasarkan putusan¬nya atas keterangan saksi 1 saja, sedangkan para tertuduh mungkir dan keterangan saksi lainnya tidak memberi petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-4-1978 No. 28 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Yuspendi bin M. Djohar dan Alimudin bin Nawawi.
dengan Susunan Majelis: 1. Bustanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
XlII.3.12. Keterangan saksi ahli.
Kesimpulan saksi ahli tidak mutlak harus menjadi kesimpulan Hakim.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 22 Juni 1976 No. 121 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Machmud Thenawidjaja alias Thee Tjoen Liong.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo SH. 2. Purwosunu SH. 3. Busthanul Arifin SH.
XlV. Batalnya putusan.
Keputusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena pertimbangan-pertimbangannya mengandung pertentangan yakni:
Pengadilan Tinggi mempertimbangkan bahwa “keputusan Pengadilan Negeri pada prinsipnya telah tepat”, tetapi Pengadilan Tinggi mengambil alih seluruh pertimbangan Pengadilan Negeri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29-6-1976 No. 114 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Dalizatulo Telambanua.
dengan Susunan Majelis: 1. Palti Radja Siregar SH. 2. Purwosunu SH. 3. Bus¬thanul Arifin SH.
XIV. Batalnya putusan.
Karena dalam keputusan Pengadilan Tinggi tidak dimuat alasan-alasan dan dasar putusan sebagai yang diharuskan oleh pasal 23 Undang-undang No. 14 tahun 1970. Mabkamah Agung karena jabatan membatalkan keputusan tersebut dan mengadili sendiri perkara ini.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-6-1976 No. 69 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Muchtar Sanawi.
dengan Susunan Majelis : 1. Palti Radja Siregar SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Busthanul Arifin SH.
XIV.3. Batalnya putusan.
Tidak ditanda tanganinya berita acara persidangan oleh Panitera Pengganti tidak menyebabkan batalnya putusan.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 17-10-1977 No. 96 K/Kr/1976.
Dalam Perkara Soleman.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
.3. Batalnya putusan.
Keberatan penuntut kasasi bahwa memberi banding Jaksa tidak pernah dikemukakan kepadanya, tidaklah dapat diterima, karena hal tersebut tidak menyebabkan batalnya putusan, lagi pula dalam tingkat banding perkara ditinjau kembali secara menyeluruh.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-10-1978 No. 104 K/Kr/1977.
dalajn perkara : Dr. Alfus Admiral.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XIV.6. Putusan pembebasan dan tuduhan.
Karena unsur-unsur tindak pidana, yang juga dinyatakan dalam surat tuduhan, tidaklah terbukti, terdakwa seharusnya “dibebaskan dan segala tuduhan” dan tidak “dilepaskan dari tuntutan hukum”.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 11-6-1979 No. 163 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Han Poo Sien al. Handaya Kusuma.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XIV.9. Isi putusan.
Terhadap tuduhan yang berupa kejahatan dan tuduhan yang berupa pelanggaran seharusnya dijatuhkan hukuman-hukuman tersendiri.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 6 Maret 1978 No. 174 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: I Gusti Ngurah Gedab dk.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XIV.9. Isi pulusan.
Karena hal perbuatan yang diteruskan sebagai yang dimaksud dalam pasal 64 K.U.H.P. tidak dituduhkan, tidaklah tepat bila hal tersebut dipertimbangkan dalam putusan serta disebutkan dalam kwalifikasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 12 Agustus 1976 No. 155 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Pieter Constantius Alfred Lawalata.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Busthanul Arifin SH.
XIV.9. Isi amar putusan.
Dalam hal tertuduh dinyatakan bersalah atas tuduhan penggantinya lagi dengan dibebaskan dari tuduhan utama dan tuduhan penggantinya, pembebasan dan tuduhan-tuduhan tersebut harus dicantumkan dalam amar putusan.
Putusan Mahkamah Agung : tgi. 27 September 1978 No. 133 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Muslim Dahuri Hardono bin Tasngad.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Palti Radja Siregar SH.
XV.1. Bantahan
1. Perlawanan terhadap penetapan Pengadilan Negeri yang dapat diajukan oleh Jaksa terbatas kepada penetapan-penetapan berdasarkan pasal 247 (1) H.I.R. mengenai kompetensi relatif dan pasal 250 (3) mengenai penolakan untuk me¬limpahkan perkara ke persidangan dan tidak mellputi penetapan-penetapan, per¬panjangan tahanan.
2. Requisitoir-verzet hanya dapat diajukan oleh Jaksa Tinggi, apabila sebelumnya ada pernyataan perlawanan oleh Jaksa terhadap penetapan Pengadil¬an Negeri.
Putusan Mahkamah Agung : tgi. 19-11-1977 No.50 K/Kr/1977.
Dalam Perkara. Diarso Budijono alias Eng Sheng.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XV.2. Banding.
Terhadap putusan Dalam Perkara pidana adat “logika sanggraha” (hukum adat Bali) tidak dapat diajukan banding.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 8 Oktober 1979 No. 195 K/Kr/1978.
Dalam Perkara: I Wayan Supatra.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XV.2. Banding.
Tenggang waktu untuk mengajukan permohonan banding adalah 7 hari bukan 7 hari-kerja.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1 Juni 1976 No. 119 K/Kr/1975.
Dalam Perkara Ny. Soebani alias Rakijah.
dengan Susunan Majelis: 1. Kabul Arifin SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Bustha¬nul Arifin SH.
XV.2. Banding.
Terhadap putusan Pengadilan Ekonomi yang berisi pembebasan dapat diajukan permohonan banding.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 20 September 1978 No. 62 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Hsiu Min sin alias Surnadi Dermawan.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Palti Radja Sire¬gar SH. 3. Busthanul Arifin SH.
XV.2. Banding.
Seharusnya Pengadilan Tinggi menyatakan permohonan banding tidak dapat diterima karena putusan Pengadilan Negeri merupakan suatu pembebasan sedangkan permohonan banding tidak disertai bantahan terhadap pembebasan tersebut, atas alasan bahwa pembebasan itu bukan suatu pembebasan murni tetapi suatu pelepasan dari tuntutan hukum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 29 Juni 1976 No. 14 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Robert Karundeng.
dengan Susunan Majelis : 1. Palti Radja Siregar SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Busthanul Arifin SH.
XV.3. Kasasi.
Mahkamah Agung memutuskan perkara kasasi yang diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatan demi kepentingan hukum, dengan menentukan bahwa putus¬an tidak mempunyai akibat hukum.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13 Agustus 1979 No. 186 K/Kr/1979.
Dalam Perkara Drs. H. Ghozin Baidowi.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XV.3. Kasasi.
Penentuan mengenai barang bukti adalah wewenang judex facti, yang tidak tunduk pada kasasi.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 16-10-1978 No. 107 K/Kr/1977.
Dalam Perkara : Hanafi bin Husen.
dengan Susunan Majelis I. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
XVI.2. Perampasan.
Barang bukti yang terdiri dari barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi harus dirampas untuk negara.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 1 Juli 1978 No. 20 K/Kr/1976.
Dalam Perkara : Morhan Jasni bin Surjansyah.
dengan Susunan Majelis: 1. Purwosunu SH. 2. Busthanul Arifin SH. 3. Ka¬bul Arifin SH.
XVI.2. Perampasan barang-barang bukti.
Karena mobil tertuduh terbukti digunakan untuk rnelakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya (pasal 3 Jo 25 ayat 3 sub a (3), ayat 4 sub a, ayat 5 sub a Verdovende Middelen Ordonnantie 1927), maka berdasarkan pasal 25 (9) Verdovende Middelen Ordonnantie tersebut barang bukti mobil seharusnya dirampas untuk negara. (oleh judex fadti mobil dikembalikan kepada tertuduh).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 13-4-1977 No.49 K/Kr/1977.
Dalam Perkara : Reginald Rene Hodgens.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
XVI. Penyitaan.
Dengan telah disetujuinya pengeluaran banang-barang yang semula disita oleh pihak yang berwenang (Polisi dan dalam hal khusus ini Laksus Pangkopkamtib) maka barang-barang tersebut telah dilepaskan dari status sitaan, sehingga perbuat¬an terdakwa mengeluarkan barang-barang itu tidak merupakan kejahatan ataupun pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 27 September 1978 No. 63 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Agung Dau bin E.T. Dau.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Kabul AriIin SH. 3. Hendrotomo SH.
BAB III
PENUTUP
Tugas dan kewenangan seorang hakim dengan pembentuk undang-undang adalah ada persamaannya dan ada perbedaannya. Persamaanya yaitu baik hakim maupun pembentuk undang-undang sama-sama menentukan atau menetapkan hukum. Perbedaaanya, pembentuk undang-undang menetapkan hukum secara in abstraco, dengan kata lain merumuskan suatu peraturan hukum yang berlaku umum, sedangkan hakim menetapkan hukum secara in concreto, yaitu menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata dan berlaku spesifik terhadap suatu kasus tertentu saja. Ada kalanya ketentuan undang-undang itu tidak mengatur secara lengkap, atau tidak diatur sama sekali atau pengaturannya sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu, kadang kala hakim merasa kesulitan untuk memutus suatu perkara apabila tidak diatur di undang-undang karena hakim pidana terikat terhadap asas legalitas (the principle of legality). Dalam suatu putusan, ada suatu yang disebut sebagai kaidah hukum menurut hakim terutama yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan fungsinya sebagai fungsi peradilan melalui pengadilan kasasi dan membentuk yurisprudensi dari putusan-putusan yang dianggap baik.
Meskipun kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum terutama bagi hukum pidana tetapi kedudukannya perlu dipertimbangkan apabila hakim dihadapkan pada suatu keadaan kekosongan hukum (rechtsvacumm). Kedudukan yurisprudensi bagi hakim-hakim dibawahnya atau hakim-hakim sesudahnya hanya mengikat secara moral (persuasive precedent), boleh diikuti boleh tidak.
Sebagai lembaga pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung mempunyai peranan sangat besar dalam membentuk yurisprudensi hukum pidana sehingga membantu pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Fungsi yang dijalankan Mahkamah Agung yaitu fungsi peradilan (yustiele fungctie) sangat bermanfaat. Peranan Mahkamah Agung ini pernah ditegaskan oleh Prof. Oemar Seno Adji, yaitu: “Melalui kasasi ini, Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin, dan uitbouwen dan voortbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih lanjut) hukum melalui yurisprudensi. Dengan demikian, ia dapat mengadaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri kurang adequat, bahkan kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika dari kehidupan masyarakat itu sendiri.”
Demikian besar peranan Mahkamah Agung dalam mengkonstruksi hukum sehingga apabila dilakukan diluar koridor atau kaidah-kaidah hukum dapat mengakibatkan putusannya menjadi kuda politik bagi kepentingan orang-orang yang berkuasa. Oleh karena itu, kemandirian dan indepensi hakim-hakim agung di Mahkamah Agung diharapkan mampu menangkal hal-hal demikian sehingga terciptanya negara hukum yang bersih dengan penegakan hukum acara pidana yang baik sehingga memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh lapisan masyarakat.
2. Saran-Saran
Dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung maka pembaharuan hukum khususnya di hukum acara pidana lebih mudah dilakukan. Hal ini sangat membantu bagi para hakim pidana dalam memutus suatu perkara yang tidak diatur di dalam undang-undang.
Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum kiranya dimuat dalam kitab atau buku berisi kumpulan yurisprudensi dan disebarluaskan ke masyarakat, atau setidak-tidaknya dimuat di website Mahkamah Agung sehingga lebih mudah untuk memperoleh dan mengaksesnya baik bagi kalangan praktisi maupun kalangan akademisi. Selain untuk menambah pengetahuan mengenai kaidah hukum yang baru, putusan suatu yurisprudensi juga supaya dapat dikritisi mengenai pertimbangan hukumnya sehingga fungsi yurisprudensi sebagai pembaharu hukum benar-benar dapat terlaksana.
Bagi kalangan pendidik terutama di perguruan tinggi yang mengkhususkan diri di bidang hukum, yurisprudensi sudah selayaknya diketahui dan dipelajari serta diajarkan kepada para mahasiswa. Sehingga mahasiswa juga memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai beberapa hal yang tidak diatur dalam undang-undang tapi dapat kita pergunakan yurisprudensi sebagai sumber hukumnya.
No comments:
Post a Comment