Saturday, October 06, 2012

“Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Indonesia”

Peringatan 1000 hari Wafatnya Gus Dur
Jumat, 29 September 2012, sepertinya tidak biasa bagiku. Hari ini aku banyak kesel namun banyak tertawa. Seraya menyukseskan satu program di kantor yaitu meningkatkan kepedulian terhadap pengelolaan dokumen yang baik dan benar, aku banyak bercanda dan tertawa dengan rekan-rekan kerja bahkan dengan level manager sekalipun. Di sisi lain, kekesalan juga menumpuk. Kekesalanku memuncak ketika mendapat Blackberry Messanger (BBM) dari temanku dalam perjalananku menuju Benhil dari Gambir. Temanku ini meminta bantuan melalui BBM di pagi hari untuk membantu proses pindahan kos-nya di Benhil pada jam 5an sore nanti. Dengan sedikit malas aku mengiyakan karena mengingat hari ini adalah Jumat maka lalu lintas pasti akan sangat padat di daerah Thamrin-Sudirman. Aku tidak menumpang busway, aku menumpang bis dan harus membayar ekstra untuk itu. Setelah kemacetan panjang di Thamrin, akhirnya bis melewati Bundaran HI. Namun, kuterima BBM dari temanku tersebut yang isinya membatalkan bantuan yang diminta dan ditunda untuk keesokan harinya. Dengan sedikit kesal aku harus memutar balik perjalanan dan berjibaku di busway dengan para penumpang yang penuh sesak. Setibanya di Gambir, aku langsung mencari tempat makan langganan dan ternyata tutup. Akhirnya tidak ada pilihan lain, membeli nasi padang yang aku kurang suka.



Sesampai di kosku yang panas, kuterima sms dari teman yang mengajakku ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Ada peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur. Karena aku sendiri memang tidak ada kegiatan lain, aku pun setuju ikut. Makan, mandi, begitu mau naik taxi, uang di dompet kurang dari sepuluh ribu. Akhirnya ke ATM di Stasiun Gambir. Kucegat taksi dan kuarahkan ke TIM. Setelah tiba disana langsung bergabung dengan teman lamaku, sejak masih sekolah dasar. Acaranya sendiri menurutku kurang menarik, ntahlah, sejak aku di Bandung: seni, theater, puisi, dll kurang menarik perhatianku. Aku hanya menyukai bernyanyi dan bergabung di kelompok paduan suara. Sosialisme dan pluralisme hanya kata mati dan tak berarti bagiku. Gejolak kekerasan atas nama agama muncul dimana-mana dan terbanyak terjadi di Jawa Barat. Kisruh GKI Yasmin Bogor, penyerangan jemaat HKBP Ciketing, penyegelan gereja-gereja di Bekasi, penyerangan jemaat Ahmadiyah di Kuningan, dan masih banyak lagi. Aku bahkan lupa kalau dasar Negara ini adalah Pancasila, semacam terpatri di hatiku, ini adalah masalah mayoritas menindas minoritas. Perasaan ini terus berlanjut bahkan sampai aku mendapat kerja di sebuah BUMN di Jakarta.

Setelah dipaksa mengikuti ESQ Training selama dua hari yang sangat bernuansa Islami dan kami yang non-muslim tidak bisa menolak mengikuti kegiatan ini, mataku sudah kabur membaca kata pluralisme itu, telingaku mulai membenci mendengar kata bhineka tunggal ika. Aku merasa ditindas. Perasaan ini terus berlanjut ketika kami mengikuti program kewiraan. Yang non-muslim diwajibkan menunggu peserta muslim yang sholat berjemaah sementara peserta non-muslim khususnya Kristen sulit untuk melakukan jadwal saat teduh. Saya protes! Kelonggaran demi kelonggaran pun akhirnya diberikan.

Namun di saat-saat seperti itu, saya juga mulai merasakan bahwa sistem yang membuat kondisi seperti ini. Di sisi lain, saya melihat ada beberapa kelompok baik kecil maupun besar yang moderat yang juga rela membantu memperjuangkan hak-hak minoritas. Sebut saja diantaranya kelompok Jaringan Islam Liberal yang dipimpin Ulil Absar Abdalla, The Wahid Institute yang diinspirasi oleh pemikiran Gus Dur dan dipimpin oleh putrinya, Yenny Wahid, LBH Jakarta dan ELSAM. Dan setelah mengenal lebih jauh rekan-rekan calon pekerja yang kebanyakan muslim moderat yang berasal dari Jawa, pemikiran saya pun mulai berubah. Paradigma saya sebelumnya yang sempat anti pluralisme terbangun kembali. Dan hari ini, 29 September 2012, sejumlah orang berkumpul di Taman Ismail Marzuki, Cikini, untuk memperingati 1000 hari wafatnya Gus Dur. Apa sih istimewanya seorang Gus Dur?


Menurut sebagian orang, Gus Dur adalah Bapak Pluralisme! Masa pemerintahan Gus Dur sebagai Presiden yang sangat singkat namun membekas di hati para penganut Kong Hu Cu, jemaat Ahmadiyah dibela, umat Kristen dilindungi dan masih banyak lagi. Gus Dur menentang kaum mayoritas yang ekstrim dan membela orang-orang yang terpinggirkan. Gus Dur banyak mengubah nilai-nilai diantaranya setuju wanita jadi pemimpin, tidak mengharamkan mengucapkan dan menghadiri Natal, berbicara sebenarnya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Gus Dur juga adalah pecinta seni. Beliau dipilih sebagai anggota dewan penasihat Dewan Kesenian Jakarta karena kepeduliannya terhadap seni. Gus Dur sendiri lebih dikagumi setelah meninggal. Banyak orang Indonesia yang merasa kehilangan seorang Bapak Bangsa yang berani melawan penindasan dan diskriminasi. Gus Dur adalah tokoh yang banyak menginspirasi orang. Itulah sebabnya, peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur yang dipusatkan di TIM Cikini banyak mengulas mengenai sosok Gus Dur dimata sahabat-sahabatnya dan dimata orang-orang yang pernah dibelanya. Acara dimeriahkan oleh Glenn Fredly, stand up comedy, berbagai macam pertunjukan kesenian dan talkshow. Temanku sendiri, yang seorang sangat tidak peduli terhadap apapun, saya lihat menangis terharu ketika mengikuti acara ini. Hehehe.. lumayan lah buat mengisi malam minggu seorang yang jomblo seperti saya meskipun harus dibayar dengan tertinggalnya kartu ATM saya di Stasiun Gambir.

No comments: