Kardoman Tumangger
A.Gambaran Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Pakpak
Masyarakat Pakpak merupakan suatu kelompok suku bangsa yang terdapat di Sumatera Utara. Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut Tanoh Pakpak. Tanoh Pakpak terbagi atas lima sub wilayah, yakni: Simsim, Keppas, Pegagan (semuanya terdapat di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat), Kelasen (Kecamatan Parlilitan - Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Manduamas dan Barus - Kabupaten Tapanuli Tengah) dan Boang (Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam). Dalam administrasi pemerintahan Indonesia saat ini, wilayah ini dibagi dalam dua provinsi (Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam) dan lima kabupaten/kota (Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam) yang mengakibatkan tidak ada daerah tingkat II yang penduduknya homogen orang Pakpak karena disegmentasi menjadi lima wilayah kabupaten/kota. Namum secara geografis wilayah atau hak ulayat secara tradisional yang disebut Tanoh Pakpak tersebut sebenarnya tidak terpisah satu sama lain karena semua daerah administrastifnya berbatasan langsung.
Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut lebuh dan kuta. Lebuh merupakan bagian dari kuta yang dihuni oleh klen kecil sementara kuta adalah gabungan dari lebuh-lebuh yang dihuni oleh suatu klen besar (marga) tertentu. Jadi setiap lebuh dan kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga lain dikategorikan sebagai pendatang.
Dalam sistem kekerabatan, orang Pakpak menganut prinsip patrilineal dalam memperhitungkan garis keturunan dan pembentukan klen (kelompok kerabatnya) yang disebut marga. Dengan demikian berimplikasi terhadap sistem pewarisan dominan diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Bentuk perkawinannya adalah exogami marga, artinya seseorang harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan orang semarga dianggap melanggar adat karena dikategorikan sumbang (incest).
Bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat Pakpak adalah bahasa Pakpak ( di Kelasen disebut Bahasa Dairi). Adapun salam sapaan khas Pakpak yaitu “Njuah-Njuah” yang artinya semoga sehat selalu. Bahasa Pakpak banyak kemiripan kosakata dengan Bahasa Karo. Namun, saat ini bahasa Pakpak banyak menyerap kosakata baik dari Bahasa Batak Toba maupun dari bahasa Indonesia bahkan dari bahasa asing. Hal ini diakibatkan penggunaan bahasa Pakpak semakin berkurang terutama di daerah Sidikalang dan Kelasen karena komunitas Pakpak itu sendiri yang enggan memakainya dalam pergaulan sehari-hari, perkawinan dengan suku di luar Pakpak, pengaruh lingkungan terutama yang lahir di luar komunitas Pakpak, selain itu akibat bahasa Pakpak sedikit yang menguasai sehingga cenderung orang Pakpak memakai bahasa lain sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Adapula orang Pakpak yang tidak berniat mempelajari bahasa Pakpak itu sendiri dengan alasan lahir dan tinggal di daerah yang bukan komunitas Pakpak. Menurut Penulis sendiri, apapun alasan dan penyebabnya, kita terutama generasi muda harus berjuang membuat budaya Pakpak lebih maju sehingga tidak dilindas globalisasi.
Sebutan Suku Pakpak juga sering disebut Pakpak Dairi. Penulis sendiri lebih setuju dengan penggunaan kata Suku Pakpak karena Dairi itu sendiri merupakan nama yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda pada saat menjajah Tanoh Pakpak, yang dinamai dengan Dairi Landen. Tanoh Pakpak dibagi-bagi dalam berbagai wilayah oleh Hindia Belanda sehingga dapat melumpuhkan perjuangan Raja Sisingamangaraja XII yang pusat perjuangannya di Pearaja dan beberapa daerah lainnya di Tanoh Pakpak. Dengan demikian, daerah administrasi Dairi Landen dapat dipisahkan dari daerah-daerah wilayah masyarakat Pakpak lainnya misalnya di Parlilitan (Humbang Hasundutan), Tongging (Karo), Boang (Aceh Singkil dan Subulussalam) dan Barus – Manduamas (Tapanuli Tengah). Beberapa suak lebih memilih penggunaan kata Pakpak sedangkan beberapa suak lainnya lebih memilih menggunakan kata Dairi, sehingga kata Pakpak Dairi sepertinya sering disandingkan dalam berbagai kesempatan, misalnya saja penamaan Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), ataupun nama-nama organisasi/kumpulan orang Pakpak sering memakai kata Pakpak Dairi.
Dalam kajian-kajian yang ada, Pakpak sering dikelompokkan menjadi sub etnis Batak yang terdiri dari Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Angkola. Hanya saja, beberapa Penulis Pakpak atau orang Pakpak itu sendiri kurang setuju karena istilah Batak terlalu umum pedahal subtansi kebudayaan dan sejarahnya menurut orang Pakpak itu sendiri berbeda satu sama lain. Kalau Penulis sendiri berpendapat bahwa kedua-keduanya dapat diterima karena hingga saat ini belum ada penelitian yang dipublikasikan dan bernilai ilmiah serta dapat diterima sebagai suatu fakta umum (opinion doctorum) apakah Pakpak itu sub etnis Batak atau merupakan etnis yang berdiri sendiri. Oleh karena itu tidak ada gunanya mempertentangkan manakah yang harus dijadikan acuan. Dari segi kebudayaan memang terdapat perbedaan konsep yang jauh, tapi dari perbedaan konsep itu dapat ditarik persamaan konsep. Misalnnya kepercayaan asli masyarakat Batak adalah percaya kepada Debata Mulajadi Na Bolon yang tidak dikenal dalam masyarakat Pakpak. Selain itu, konsep Dalihan Natolu juga tidak dikenal dalam masyarakat Pakpak. Sedangkan persamaannya juga banyak misalnya konsep exogami marga dalam perkawinan, konsep patrilineal dalam pewarisan, konsep marga-marga dan persaudaraan marga serta kearifan tradisional dalam pengelolaan lingkungan. Jadi Penulis tidak ambil pusing dengan manakah yang benar mengenai perdebatan diatas.
B.Sejarah Perkembangan dan Persebaran Kelompok Suku Bangsa Pakpak
Hingga saat artikel ini ditulis, belum ditemukan bukti yang autentik dan pasti tentang asal-usul dan sejarah persebaran orang Pakpak. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan beberapa variasi. Pertama, dikatakan bahwa orang Pakpak berasal dari India yakni pedagang-pedagang India yang menetap di Barus dan daerah Pantai Singkil dan selanjutnya masuk ke pedalaman sepanjang daerah Pakkat sampai ke Singkil dan beranak pinak menjadi orang Pakpak. Alasannya adalah bahwa adanya kebiasaan tradisional orang Pakpak dalam pembakaran tulang-belulang nenek moyang dan Barus sebagai daerah pantai dan pusat perdagangan berbatasan langsung dengan Tanoh Pakpak. Kedua, orang Pakpak berasal dari Batak Toba yang merantau ke Tanoh Pakpak. Alasannya karena adanya kesamaan struktur sosial dan kemiripan marga-marga seperti yang sudah dijelaskan diatas. Ketiga, orang Pakpak memang dari sejak zaman dahulu kala sudah ada. Alasannya didasarkan pada folklore dimana diceritakan adanya tiga zaman manusia di Tanoh Pakpak, yakni Zaman Tuara (manusia raksasa), zaman si Aji (manusia primitif) dan zaman manusia (homo sapien). Satu hal yang pasti umur masyarakat Pakpak itu hingga saat ini belum dapat ditentukan karena penemuan-penemuan bekas bekas tulang belulang yang dibakar dan mejan-mejan (patung batu) menunjukkan bahwa orang Pakpak sudah ada sejak Zaman Batu.
Sebagian oran Pakpak diperkirakan masuk ke Tanah Karo dan menetap disana. Ini dibuktikan dengan kedekatan bahasa antar Suku Karo dan Pakpak demikian juga marga misalnya Cibro (Sibero di Karo), Maha, Lingga (Sinulingga di Karo), dan lain-lain. Hal tersebut juga dikemukan seorang suku Karo yaitu Darwan Perangin-angin bahwa Ginting Sini Suka menurut cerita lisan Karo berasal dari Kelasen (Pakpak) berasal dari Lingga Raja di Pakpak. Sementara itu ada juga marga-marga Pakpak yang berasal dari Toba menetap di Tanoh Pakpak dan menjadi Raja Kuta seperti marga Kabeaken dari Habeahan (Pasaribu), marga Lembeng (Limbong), Sagala, Kaloko (Haloho), dan lain-lain.
Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pakpak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian besar yang disebut Suak, yaitu:
1.Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Simsim meliputi wilayah Salak, Situje, Situju, Kerajaan, Pergetteng-getteng Sengkut, Tinada dan Jambu. Marga-marganya antara lain Berutu, Padang, Solin, Cibro, Sinamo, Boang Manalu, Manik, Banurea, Sitakar, Kabeaken, Lembeng, Tinendung dan lain-lain.
2.Pakpak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Sidikalang, Siteelu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-Pungga, Tanh Pine,, Parbuluan, Lae Hulung. Adapun marga-marganya yaitu Angkat, Bintang, Capah, Ujung, Berampu, Pasi, Maha, dan lain-lain.
3.Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Pegagan meliputi Sumbul, Tiga Baru, Silalahi, dan Tiga Lingga. Adapun marga-marganya yaitu Lingga, Matanari, Maibang, Kaloko, Manik Sikettang, dan lain-lain.
4.Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Kelasen meliputi wilayah Parlilitan, Pakkat, Barus dan Manduamas. Adapun marga-marganya misalnya Tumangger, Tinambunan, Turuten, Maharaja, Pinayungen, Anak Ampun, Berasa, Gajah, Ceun, Meka, Mungkur, Kesogihen dan lain-lain.
5.Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Boang meliputi Aceh Singkil yakni Simpang Kiri, Simpang Kanan, Lipat Kajang dan Kota Subulussalam. Adapun marga-marganya misalnya Saraan, Sambo, Bancin, Kombih, Penarik, dan lain-lain.
Adapun marga-marga Pakpak yang hingga kini ada diketahui Penulis, yaitu:
Anak Ampun, Angkat, Bako, Bancin, Banurea, Berampu, Berasa, Berutu, Bintang, Boang Manalu, Capah Cehun, Cibro, Cibero Penarik,
Gajah, Gajah Manik, Goci, Kaloko, Kabeaken, Kesogihen, Kombih, Kudadiri, Kulelo, Lembeng, Lingga, Maha, Maharaja, Manik, Manik Sikettaang, Manjerang, Matanari, Meka, Mucut, Mungkur, Munte, Padang, Padang Batanghari, Pasi, Pinayungen, Simbacang, Simbello, Simeratah, Sinamo, Sirimo Keling, Solin, Sitakar, Sagala, Sambo, Saraan, Sidabang, Sikettang, Simaibang, Tendang, Tinambunan, Tinendung, Tinjoan, Tumangger, Turuten, Ujung.
C.Adat Istiadat dan Budaya Pakpak
Masyarakat Pakpak mengenal hubungan Peradatan “Sulang Silima” yang agak mirip dengan “Dalihan Natolu” di masyarakat Toba dan “Sangkep Enggeloh/Rakut Sitellu” di masyarakat Karo. Adapun unsur sulang silima itu adalah:
a.Sukut;
b.Dengan sebeltek Si kaka-en (Saudara sekandung yang lebih tua)
c.Dengan sebeltek Si kedek-en (Saudara sekandung yang lebih muda)
d.Kula-kula/ puang (Kelompok pihak pengantin perempuan)
e.Berru (Kelompok pihak pengantin laki-laki).
Ada beberapa jenis Upacara Adat masyarakat Pakpak dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1.Kerja Njahat (Upacara Dukacita)
Misalnya Upacara Kematian (males bulung simbernaik, males bulung buluh, males bulung sampula), Upacara Mengankat Tulang Belulang (mengokal tulan) dan Upacara Membakar Tulang Belulang (menutung tulan).
2.Kerja Baik (Upacara Sukacita)
Misalnya Upacara Kehamilan (memerre nakan pagit), Upacara Kelahiran (mangan balbal dan mengakeni), Upacara Masa Anak-Anak (mengebat, mergosting), Upacara Masa Remaja (mertakil/sunat, pendidien/baptis, meluah/naik sidi), Upacara Masa Dewasa, Upacara Perkawinan (merbayo) dan Upacara Memberi Makan Orang Tua (menerbeb).
3.Upacara-Upacara Lain
Misalnya Upacara Mendegger Uruk, Upacara Merintis Lahan (menoto), Upacara Memepuh Babah/Merkottas, Upacara Pembakaran Lahan (menghabani), Upacara Menjelang Penanaman Padi (menanda tahun), Upacara Mengusir Hama (mengkuda-kudai), Upacara Syukuran Panen (memerre kembaen).
Masyarakat Pakpak mengenal beberapa bentuk perkawinan, yaitu:
a.Sitari-tari (Merbayo atau Sinima-nima), merupakan bentuk yang dianggap paling baik atau ideal karena hak dan kewajiban pengantin laki-laki dan perempuan telah terpenuhi.
b.Sohom-sohom, upacaranya sederhana dan dihadiri keluarga terdekat saja, semua unsur adat terpenuhi tetapi secara ekonomi lebih kecil.
c.Menama, disini pihak keluarga perempuan tidak setuju, sehingga dicari jalan lain dengan kawin lari, sehingga sebagai tanda rasa bersalah pengantin cukup membawa makanan (nakan sada mbari) sebagai tanda minta maaf dan pada suatu saat nanti mereka akan mengadati.
d.Mengrampas, artinya mengambil paksa isteri orang lain, sanksi untuk laki-laki adalah membayar mas kawin yang tidak mempunyai batasan.
e.Mencukung, hampi sama dengan mengrampas.
f.Mengeke, mengawini janda dari abang atau adik laki-laki.
g.Mengalih, seorang laki-laki mengawini janda baik bekas istri abang atau adiknya maupun istri orang lain.
Dalam merbayo (Upacara Perkawinan) dikenal beberapa tahapan, yaitu:
1.Mengirit/ Mengindangi (Meminang)
2.Mersiberen Tanda Burju (Tukar Cincin)
3.Mengkata Utang (Menentukan Mas Kawin)
4.Merbayo (Pesta Peresmian)
5.Balik Ulbas
D.Kesenian, Kuliner dan Kerajinan Tangan Suku Pakpak
Seni Tari
Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” yang dalam Bahasa Toba disebut “Tortor” dan “Bahasa Karo” disebut “ La ‘ndek”. Tarian tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua, Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain. Selain itu, dikenal juga seni bela diri misalnya moccak dan tabbus.
Seni Musik
Seni musik yaitu seni alat musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk, Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, Delleng Sitinjo, Lae Une, Nan Tampuk Mas, dan lain-lain.
Sastra
Kesusastraan juga dikenal dalam adat Pakpak, terutama peribahasa dan pantun. Biasanya peribahasa berisi anjuran dan nasihat sedangkan pantun juga berisi anjuran dan nasihat meskipun ada pantun jenaka. Misalnya peribahsa yaitu ipalkoh sangkalen mengena penggel artinya dipukul talenan telinga terasa, maknanya yaitu untuk kita selalu menuruti, was-was dan tanggap terhadap nasihat yang berguna yang diberikan oleh orang yang lebih berpengalaman. Contoh pantu yaitu sada lubang ni sige, sada ma ngo mahan gerrit-gerriten, tah soh mi ladang dike pe, ulang ma ngo mbernit-mberniten artinya kemana[un kita merantau semoga tetap sehat selalu. Prosa juga lumayan berkembang ditandai dengan banyaknya cerita-cerita legenda yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi seterusnya. Contoh cerita rakyat Pakpak yaitu Cerita Simbuyak-buyak yang dikenal luas dalam masyarakat Kelasen, Cerita Nan Tampuk Mas yang dikenal masyarakat Keppas.
KulinerJenis-jenis makanan tradisional misalnya Pelleng (ada perbedaan dalam resep dan bentuk serta penyajian dari pelleng Pegagan dan Simsim) nasi yang dilumat dengan sendok dan berwarna kuning, Ginaru Ncor, Nditak (Tepung beras dicampur kelapa parut dan gula putih lalu dikepal dengan tangan), Pinahpah (padi muda yang dipipihkan), Ginustung, Sagun-Sagun (Tepung beras yang digongseng dengan gula pasir dan kelapa parut), Sambal Jeruk (durian yang diasamkan), Ikan Bingkis, dan lain-lain.
Kerajinan Tangan
Kerajinan tangan suku Pakpak sudah dikenal sejak jaman dahulu yaitu dengan adanya Mejan Batu (sejenis patung yang terbuat dari batu) yang terdapat hampir disetiap kuta. Selain itu ada juga “membayu” yaitu menganyam tikar, bakul, kirang (keranjang) dan lain sebagainya yang terbuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sawah. Selain itu kerajina rotan dan bambu juga banyak dikembangkan misalnya kursi, sangkar burung, bubu, tampi, juga keranjang. Kerajinan lainnya yaitu terutama di daerah Kelasen yaitu “meneppa” yaitu pandai besi terutama meneppa golok (pisau dan parang), pedang, kujur (tombak), cangkul, cuncun dan lain-lain.
Pakaian Adat dan Rumah Adat
Pakaian adat masyarakat Pakpak cenderung berwarna hitam. Untuk laki-laki (daholi) adalah baju lengan panjang dengan kerah mirip kerah Mandarin kemudian ada garis warna merah pada ujung tangan, pada daerah kancing baju, dan pada daerah lain sebagai tambahan. Untuk penutup kepala dipakai oles (kain adat) yang mempunyai rambu (rumbai) berwarna merah atau kuning yang dibentuk seperti peci dengan rambu kearah samping depan. Celana warna hitam dengan ukuran ¾ dipakai dengan mandar (sarung) sebagai penutup celana. Biasanya laki-laki menempatkan golok (parang) di pinggang sebagai aksesoris tambahan.
Untuk perempuan (perempun) memakai saong (penutup kepala) dengan bentuk “cudur” atau mengerecut ke bagian belakang. Posisi rambu olesnya berada di depan, bajunya juga berwarna hitam lengan panjang dengan hiasan payet berwarna kuning di depan, dibelakang dan dibagian ujung lengan. Untuk rok dipakai oles yang berwarna hitam dan ikat pinggang. Sebagai aksesoris tambahan pada tangan disematkan ucang-ucang (tas kecil) dan pada dada disematkan hiasan berwrna kuning keemasan.
Rumah Adat masyarakat Pakpak disebut Sapo Jojong, yaitu sebuah rumah panggung terdiri dari ijuk sebagai atap dengan atap yang bertingkat dua. Ornamen utamanya terdiri dari ukiran atau lukisan yang agak mirip dengan rumah adat Karo maupun Toba. Diatas pintu rumah biasanya ada gambar sepasang cicak dan payudara wanita yang melambangkan kesuburan. Bentuk rumah adat Pakpak cenderung mirip dengan rumah adat Karo.
E.Istilah Kekerabatan Pakpak
Istilah Kekerabatan Ego dengan Saudara Inti dan Keluarga Sekandung (Sinina)
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Bapa (Ayah), Inang (Ibu), Kaka/Abang (Kakak lk. Abang), Dedahen/Anggi (Adik laki-laki/adik pr.), Turang (Kakak/Adik pr. ), Mpung/Poli (Kakek), Mpung Daberru (Nenek), Patua (Sdr lk. tertua Ayah), Nantua (Istri Sdr lk. tertua Ayah), Tonga (Sdr lk. tengah Ayah), Nan Tonga (Istri Sdr lk. tengah Ayah), Papun (Sdr lk. termuda Ayah). Nangampun (Istri Sdr lk. termuda Ayah), Inanguda (Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Panguda (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Nan Tua (Sdr pr. Ibu yg lebih tua), Patua (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih tua).
Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Berrunya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Turang (Sdr Pr), Silih (Suami Sdr Pr), Beberre (Anak Sdr Pr), Berru (Anak Pr. Ego), Kela (Menantu Lk), Namberru (Sdri Ayah), Mamberru (Suami Sdri Ayah), Impal (Anak lk Sdri Ayah), Turang (Anak Pr .Sdri Ayah), Mamberru (Mertua lk. Sdri Ego), Namberru (Mertua Pr. Sdri Ego).
Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Puangnya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Puhun (Sdr Lk Ibu), Nampuhun (Istri Sdr Lk Ibu), Impal (Anak Lk/Pr Sdr Lk. Ibu), Sinisapo (Istri Ego), Silih (Sdr Lk Istri), Bayongku (Istri Sdr Lk Istri Ego), Puhun (Mertua Lk), Nampuhun (Mertua Pr), Kalak Purmaen (Menantu Pr), Purmaen (Anak Sdr Lk Istri Ego).
F.Eksistensi Suku Pakpak di Indonesia
Pada awal Penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, banyak teman-teman sekampus Penulis yang kurang bahkan tidak mengetahui Kota Sidikalang ada dimana. Apalagi ketika Penulis menjelaskan bahwa Penulis berasal dari satu suku bangsa di Sumatera Utara yaitu Suku Pakpak, semua makin kebingungan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya Penulis merasa senang akhirnya menemukan komunitas orang Pakpak di kota dimana Penulis melanjutkan pendidikan tingginya. Dalam scope besar, komunitas Pakpak di Kota Bandung menghimpun diri dalam Ikatan Keluarga Pakpak Dairi Silima Suak (IKEPDASIS) Bandung Sekitarnya yang telah berdiri tanggal 20 Mei 2008 ditandai dengan malam budaya dan pelantikan pengurus IKEPDASIS tersebut. Namun, dalam scope lebih kecil komunitas mahasiswa Pakpak membentuk Keluarga Mahasiswa Pakpak Bandung (KEMPABA) Sekitarnya yang merupakan kelanjutan dari Persadaen Simatah Daging Bandung Sekitarnya (PERTAKI) yang sudah tidak beraktifitas lagi sejak awal tahun 2006. KEMPABA didirikan tanggal 29 April 2007, penetapan AD/ART tanggal 27 Mei 2007 dan dilantik pengurusnya pada 05 Agustus 2007. Secara aklamasi pada tanggal 27 Juli 2008, KEMPABA menjadi bagian dari IKEPDASIS yang menangani Seksi Kepemudaan dan Kemahasiswaan. Hingga saaat ini, administrasi di KEMPABA belumlah rapi karena kurangnya sumber daya manusia dan modal untuk mengelolanya.
Hingga saat ini baik IKEPDASIS maupun KEMPABA belum dapat berbuat banyak buat kemajuan Pakpak di Kota Bandung, boleh dikatakan hanya sebagai wadah berkumpulnya masyarakat Pakpak Bandung saja. Namun hal ini tidaklah menyurutkan para pengurus untuk mempertahankan kondisi organisasi yang terseok-seok berjalannya. Hal ini merupakan bentuk kecintaan para founding father organisasi untuk mempertahankan eksistensi Suku Pakpak di Indonesia umumnya dan di Kota Bandung khususnya. Saat ini, di berbagai belahan Indonesia juga, komunitas Pakpak saling menghimpun diri dan mendirikan organisasi karena menyadari akan tertinggal Suku Pakpak di berbagai bidang terutama bidang pendidikan dan teknologi. Hanya saja, kebanyakan organisasi ini belum bisa berbuat banyak karena disebabkan beberapa faktor:
1. Kurangnya rasa cinta masyarakat Pakpak itu sendiri terhadap kebudayaan dan identitasnya sebagai masyarakat Pakpak, baik yang di daerah maupun yang di perantauan.
2. Kurangnya perhatian Pemerintah Daerah terkait (Pemda Dairi, Pemda Pakpak Bharat, Pemda Aceh Singkil, Wali Kota Subulussalam, Pemda Humbang Hasundutan, dan Pemda Tapanuli Tengah) dan orang-orang Pakpak yang sudah sukses di perantauan terhadap pelestarian dan inventarisasi kekayaan budaya Pakpak serta membantu perkembangan LSM dan NGO yang bergerak di kebudayaan Pakpak, serta masyarakat Pakpak yang memiliki kemampuan akademik tetapi termasuk golongan ekonomi lemah.
3. Kurangnya perhatian terhadap masyarakat Pakpak itu sendiri terutama yang masih tinggal di daerah dengan komunitas mayoritas Pakpak terhadap eksistensi kebudayaan Pakpak serta pengembangannya untuk mengimbangi kemajuan zaman.
Pernah suatu kali Penulis membaca testimonial seseorang di friendster PAKPAK berkata kira-kira demikian bahwa “Saya malu menjadi orang Pakpak. Dan Pakpak itu sendiri sekarang in sudah punah tidak berbekas. Dan Pakpak tidak pernah ada di hati saya.”. Saya awalnya terkejut, tetapi apabila direnungkan memang perkataannya benar adanya hanya saja dia mengungkapkan dengan lebih sarkasme danpenuh keberanian.
Pengalaman Penulis yang pernah mencari bantuan dana untuk pendidikan Penulis di Kota Bandung, diantaranya ke Pemda Dairi dan Pemda Pakpak Bharat serta beberapa orang Pakpak yang sudah sukses. Namun, ternyata Penulis masih kurang beruntung. Dari Pemda Dairi sama sekali tidak ada tanggapan sedangkan dari Pemda Pakpak Bharat memahami proposal Penulis tapi tidak dapat membantu karena secara teritorial Orang Tua Penulis tinggal di Kota Sidikalang. Sedangkan beberapa kepada orang-orang Pakpak yang sudah sukses, tidak ada tanggapan sama sekali. Hal ini pernah membuat kecintaan Penulis terhadap Pakpak dan orang-orang Pakpak menjadi pudar karena solidaritas orang Pakpak itu memang sangat rendah sekali. Tapi setelah Penulis pikir-pikir lagi, itulah alasan yang membuat Penulis justru semakin mencintai Pakpak serta orang-orang Pakpak.
Dari pantauan Penulis, hingga saat ini Pemerintah Daerah terutama Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat belumlah dapat dikatakan berbuat banyak terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyrakat Pakpak. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kebijakan Pemda yang tidak mlindungi hak ulayat rakyat Pakpak serta lebih menguntungkan pendatang. Saya terkesan dengan beberapa daerah dimana Pemdanya komitmen untuk melestarikan kebudayaan di daerahnya misalnya Pemda Karo, Pemda Bali, Pemda Bantul, dan lain-lain yang benar-benar menjamin kelestarian budaya daerah tersebut. Hal tersebut kiranya sudah dapat menjadi bahan acuan bagi Pemda Dairi dan Pemda Pakpak Bharat. Karena pihak yang pertama kali bertanggung jawab dan paling besar tanggung jawabnya terhadap hilangnya segala potensi baik sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), maupun sumber daya budaya (SDB) di Tanoh Pakpak adalah para pemimpin di daerah tersebut.
Masalah lainnya adalah ada banyak pihak yang komitmen untuk berbuat banyak terhadap kemajuan budaya serta SDM masyarakat Pakpak akan tetapi mereka adalah orang yang tidak punya dana dan kesempatan untuk itu. Sedangkan bagi orang-orang Pakpak yang sudah sukses, memiliki dana dan kesempatan untuk itu tetapi tidak berbuat apa-apa terhadap kampung halamannya atau bahkan tanah kelahirannya. Untuk itulah, orang-orang Pakpak sekarang ini harus maju baik di segi modal keuangan maupun dari sumber daya manusia. Dan untuk mewujudkannya tidaklah dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau kelompok demi kelompok, tetapi harus saling bergandengan tangan terutama para stake holder’s yaitu Pemerintah Daerah, LSM/ Non Government Organization (NGO), Cendikiawan Pakpak serta orang-orang Pakpak yang sukses dan memiliki modal (capital) yang bisa dipergunakan untuk membangun Pakpak menjadi lebih baik lagi.
Harapan Penulis bagi para Pembaca, apa yang Penulis telah tuliskan dalam kesempatan ini bukan karena memiliki kemampun lebih apalagi hendak menggurui. Artikel ini hanya sebagai bentuk kecintaan Penulis terhadap budaya Pakpak dan orang-orang Pakpak itu sendiri. Biarlah buah tangan ini menjadi cerminan bagi kita orang-orang Pakpak entah berperan sebagai apa dan berada dimana saat ini, tetapi memiliki waktu untuk membaca tulisan ini punya sedikit waktu untuk merenungkan apa yang telah saya tulis ini. Betapa kayanya Pakpak akan sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya budaya, akan tetapi sepuluh tahun kemudian akan hilang tanpa bekas apabila tidak dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan sejak dini. Apalah hendak dikata, Penulis ingin meraih bulan tetapi tangan tak sampai.
Penulis mahasiswa Semester V Tingkat III di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Anggota IKEPDASIS dan salah satu pendiri KEMPABA. Dapat menghubungi penulis di Jalan Gelatik Dalam 33A/151A, RT/Rw 01/04, Kel. Sadang Serang, Kec. Coblong, Bandung. Alamat di Sidikalang, Jalan Air Bersih Gang Pertanian No. 8, Sidikalang, Kab. Dairi. Kritik saran dialamatkan via e-mail doman_tumangger@yahoo.com.
1 comment:
halo,
saya fitri br tumangger jg, yg tinggal di dago...mungkin kemarin2 anak2 ikepdasis pernah ke rumah ya...
tulisan yg ini bagus...saya jg lg nyari2 ttg adat lengkap pernikahan pakpak...ada
info ga?klo ada, mohon krm ke email dong, syafiet@gmail.com
Tks ya..
Post a Comment