Oleh:
Kardoman Tumangger
KASUS SEMBURAN LUMPUR PANAS PT LAPINDO BRANTAS
SIDOARJO, JAWA TIMUR
Permasalahan Lingkungan
Lumpur panas yang terus keluar dari rongga batuan didalam tanah, akan menghasilkan rangkaian dampak buruk, yang merusak lingkungan alam sekitarnya maupun lingkungan sosial, karena lokasi berdekatan dengan pemukiman dan ekosistem sungai Kali Porong. Bencana yang dimulai sejak 29 Mei 2006 hingga saat ini, dan apabila baru bisa teratasi dalam 4 bulan sejak pengeluaran lumpur pertama, maka volume lumpur yang diproduksi diperkirakan mencapai 4x30x25000 meter kubik, atau sekitar 3.000.000 meter kubik lumpur, yang setara dengan 600.000 truk besar. Disamping itu adanya limbah gas, seperti H2S, SOX, dan kemungkinan adanya methyl merkaptan, serta senyawa hidrokarbon lain seperti minyak, phenol maupun senyawa bahan berbahaya dan beracun (B3) lainnya, ada kemungkinan terdapat dalam limbah tersebut.
Oleh karena lokasi kejadian tersebut berada di sekitar pemukiman desa dan jalan tol maka dampak lingkungan sosial yang terjadi menjadi besar, meluas dan menyebar. Kasus tersebut relatif terlambat penanganannya, karena sistem tanggap darurat dan kepekaan pihak yang bertanggung jawab sangat rendah sehingga tim penanggulangan kasus ini baru dibentuk setelah 21 hari sejak terjadinya bencana. Kemungkinan keberhasilan tim penanggulangan kasus ini masih membutuhkan waktu lama, berarti akumulasi dampak sosial yang terjadi membutuhkan penanganan semua pihak secara bersama-sama. Cara penanganan kasus dengan koordinasi yang baik membutuhkan saling kepercayaan, tidak emosional dan sadar akan peran dan ruang lingkup tanggung jawab masing-masing pihak untuk mengambil solusi yang terbaik. Penanganan masyarakat yang terkena dampak langsung wajib menjadi prioritas yang harus dikerjakan oleh fihak yang bertanggung jawab, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Departemen ESDM dan masyarakat luas.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan sangat luas dan intensif, sebagaimana telah diberitakan dalam berbagai media/multimedia sudah cukup untuk memberikan bukti bahwa dampak penting yang terjadi perlu penanganan segera, dalam ukuran dimensi waktu dan ruang, guna mencegah dampak kerusakan lingkungan yang lebih luas. Pengamatan, pembahasan data dan informasi yang ada, serta prediksi dampak negatif kerusakan lingkungan dalam jangka panjang yang mungkin akan terjadi, maka DEWAN LINGKUNGAN HIDUP (DLH) JAWA TIMUR merumuskan sebagai berikut :
1. Kerusakan Lahan Subur
Sampai saat ini, lahan sawah yang sudah tergenang lumpur panas akan berpotensi semakin meluas, sesuai dengan topografi wilayah. Ukuran partikel lumpur jauh lebih kecil dibanding partikel tanah pertanian subur, sehingga partikel-partikel tersebut dapat mengisi rongga (voids) tanah yang berisi udara dan air, padahal rongga dalam tanah sangat diperlukan untuk aliran air tanah, hara-mineral dan oksigen. Dengan penutupan rongga (plugging) tersebut oleh lumpur, maka tanah sawah tidak bisa ditanami lagi, atau memerlukan waktu yang lama untuk memulihkan mutu dan struktur tanah seperti semula. Dampak lingkungan ini akan menimbulkan masalah sosial ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada lahan sawah tersebut, dalam jangka pendek dan menengah.
2. Kerusakan Air
Kerusakan air tanah maupun air permukaan berpotensi terjadi disekitar lokasi bencana, apalagi sungai kali Porong berjarak kurang lebih 3 Km dari pusat semburan lumpur panas. Air sebagai sumber kehidupan wajib dilindungi karena merupakan kebutuhan dasar penduduk disekitarnya, oleh karena itu pemulihan sumber air atau ekosistem perairan, sebagai akibat dari lumpur tersebut harus diprioritaskan. Kandungan air yang berada didalam lumpur berkisar antara 40 – 70 %, dengan kadar garam NaCL yang sangat tinggi, sehingga air sumur penduduk yang selama ini bisa digunakan untuk mandi, cuci bahkan untuk bahan baku air minum dapat berubah menjadi air payau. Air yang terperas dari lumpur, selain kandungan garam NaCl tinggi, dapat mengandung pula senyawa B3, antara lain phenol, hydrogen sulfide bahkan senyawa merkaptan maupun senyawa hidrokarbon yang lain. Sebagian besar senyawa B3 tersebut larut didalam air permukaan, sehingga dikawatirkan dapat meracuni tambak bandeng maupun tambak udang yang berada dibagian hilir, melalui aliran air irigasi maupun sungai.
Untuk melindungi petani sawah maupun petani tambak agar tidak mengalami kerugian, maka pengelolaan lumpur harus segera dilakukan berdasarkan hasil kajian ilmiah tentang toksisitas dan dampaknya terhadap lingkungan. Diupayakan dengan keras agar ekosisitem sungai Kali Porong tidak digunakan sebagai tempat buangan aliran air yang tercemar lumpur, hal ini untuk mencegah meluasnya dampak lingkungan dan akan menambah beban sedimentasi sungai maupun muara sungai Kali Porong.
3. Kerusakan Ekosistem yang Lain
a. Kemungkinan terjadinya luapan air yang terus menerus dari dalam tanah sehingga bisa menghasilkan danau (sebagaimana yang terjadi di Purwodadi), yang akan dapat mengubah struktur bentang alam, dengan segala akibat ekologis dan ekonomis lainnya.
b. Apabila jumlah luapan lumpur sangat besar, akan terjadi rongga dibawah permukaan tanah, sehingga perubahan struktur lapisan bawah tanah harus dicermati dan diteliti dengan benar, sebagai akibat dari kejadian luapan lumpur ini.
c. Lahan sawah berubah menjadi tanah yang lebih padat dan tidak subur, dan lahan dengan mutu kesuburan seperti ini hanya akan cocok ditanami tanaman keras atau tanaman pelindung, dan ada kemungkinan terjadinya perubahan fungsi peruntukan lahan, sebagai akibat kejadian luapan lumpur ini.
4. Gangguan Kesehatan Warga Sekitar
Selain lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu. Lily Pudjiastuti, anggota tim ahli ITS yang membidangi penanganan lingkungan menyatakan bahwa lumpur panas di Sidoarjo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Dia menjelaskan lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang, bila menumpuk di tubuh, bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker. Selain itu, jika masuk ke tubuh anak secara berlebihan, bisa mengurangi kecerdasan. Lily mengatakan, berdasarkan analisis sampel air di tiga lokasi berbeda, dari 10 kandungan fisika dan kimia yang dijadikan parameter, 9 di antaranya telah jauh melampaui baku mutu limbah cair sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jawa Tengah. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg. Padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg (Koran Tempo, 16/6/06).
Selain panas, dari uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur yang diambil 5 Juni dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur terdapat fenol. Guru Besar Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Prof. Mukono menjelaskan, fenol berbahaya untuk kesehatan. Kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal. Efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol, kata Mukono, bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal (Kompas, 19/6/06).
Permasalahan Hukum
Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut.
Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, tidak hanya dikenal dalam UU No.23/1997. Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Anti Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) juga mengatur pertanggungjawaban atas kejahatan korporasi. Sebagaimana dikutip dari makalah Patra Zen mengenai "Kejahatan Korporasi", Sally S. Simpson menyatakan "corporate crime is a type of white-collar crime". Sedangkan Simpson, mengutip John Braithwaite, mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai "conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law".
Mas Achmad Santosa (Good Governance Hukum Lingkungan: 2001) mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997.
Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.
Pada perkembangannya, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14/2007 yang membatasi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc. dalam memberikan ganti-rugi kepada warga korban, dengan berpedoman pada peta wilayah korban hingga 22 Maret 2007. Akibatnya, rakyat harus kembali menanggung beban untuk “membantu” PT Lapindo Brantas Inc. Sebab, APBN kembali tersedot guna menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, bukan faktor bencana alam.
Apapun ceritanya, PT Lapindo Brantas Inc. harus bertanggung jawab terhadap kebocoran gas yang telah merugikan masyarakat dan lingkungan yang ada disekitar Sidoarjo, baik yang telah dipetakan dalam peta wilayah korban tanggal 22 Maret 2007 maupun korban lain yang sampai sekarang terus bertambah akibat meluasnya lumpur tersebut.
PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH PT NEWMONT MINAHASA RAYA DI TELUK BUYAT
Permasalahan Lingkungan
Sejak 1986 – 2003, PT Newmont Minahasa Raya meninggalkan beban derita terhadap warga Teluk Buyat dan kerusakan lingkungan hidup yang tergolong berat. Adapun Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Teluk Buyat – Teluk Ratatotok (2004) adalah sebagai berikut:
1. Teluk Buyat tercemar arsen dan merkuri berdasarkan ASEAN Marine Water Quality Criteria 2004 yang berasal dari limbah tambang PT Newmont Minahasa Raya.
2. Keanekaragaman hayati kehidupan laut di Teluk Buyat menurun akibat pencemaran Arsen.
3. Terjadi akumulasi (penumpukan) Merkuri dalam makhluk dasar laut (benthos) di Teluk Buyat
4. Kadar merkuri dan arsen dalam ikan beresiko (kesehatan) bagi penduduk Teluk Buyat.
5. Kadar Arsen dalam air minum melampaui baku mutu PERMENKES
6. Kadar Logam Berat dalam udara di Dusun Buyat Pante secara keseluruhan paling tinggi dibandingkan desa lainnya.
7. Pembuangan tailing yang salah, menyebabkan kerusakan ekosistem laut berupa: (a) Kekeruhan yaitu pada zona euphotic, di mana pada zona tersebut terdapat lingkungan fitoplankton (produsen) yang butuh sinar matahari sebagai proses fotosintesis; (b) Penurunan jumlah dan kualitas keberadaan terumbu karang di Teluk Buyat; (c) Bioakumulasi (penumpukan terus menerus di dalam tubuh mahkluk hidup) dari sedimen pada biota laut di daerah euphotic; (d) Penurunan kandungan bentos dan plankton (fitoplankton dan zooplankton) akibat tingginya kadar Arsen (As) pada sedimen di Teluk Buyat; dan (e) Kematian ikan dalam jumlah lebih dari 100 (seratus) ekor di sekitar pipa pembuangan tailing di Teluk Buyat maupun terdampar di pantai; (3) Kesehatan masyarakat Buyat yang menurun dan berbagai macam penyakit menyerang tubuh mereka, akibat konsumsi air minum dan ikan yang mengandung logam berat (As dan Mn); dan (4) Tidak adanya surat ijin dari Kementerian Lingkungan Hidup dalam pembuangan limbah ke laut maupun pengolahan limbah (B3).
Permasalahan Hukum
PT Newmont Minahasa Raya telah melakukan perbuatan melawan hukum atas pasal 41 (1) junto pasal 45,46,47 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pencemaran Llingkungan, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Gugatan legal standing merupakan ikhtiar konkret penegakan hukum demi melindungi warga dari kerusakan lingkungan. Kematian Andini (6 bln), Abdul Rizal Modeong (14 thn), Ny Fatma, dan penyakit yang diderita oleh warga lainnya di dusun Buyat Pante dan Kampung Buyat, adalah fakta yang tidak bisa disangkal, bahwa penderitaan mereka bukanlah penyakit biasa, dan terkait erat dengan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Newmont Minahasa Raya.
Pada Selasa, 06 November 2007, bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Majelis Hakim Perkara Perdata dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum antara WALHI (Penggugat) melawan PT. Newmont Minahasa Raya, dkk. (Tergugat), telah mengeluarkan penetapan untuk membatalkan Sidang Pemeriksaan Lapangan di Teluk Buyat yang telah ditetapkan dalam persidangan sebelumnya (Kamis, 25 Oktober 2007).
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memenuhi permintaan PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) untuk dilakukan sidang lapangan (check on the spot) dalam sidang lanjutan gugatan perdata (legal standing) Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melawan PT Newmont Minahasa Raya dkk merupakan tindakan yang patut dipertanyakan urgensi dan manfaatnya. Padahal sidang kelanjutan kasus perdata melawan hukum PT NMR, yang digelar pada Kamis (25/10/07), sudah pada tahap pembacaan kesimpulan. Sebagaimana pemberitaan sebelumnya, sidang gugatan perdata WALHI melawan PT Newmont Minahasa Raya dkk yang telah berlangsung sejak bulan Maret 2007 di PN Jakarta Selatan pada Kamis, (25/10) lalu telah memasuki acara pembacaan kesimpulan dari para pihak. Dalam sidang tersebut Majelis Hakim telah memutuskan akan melakukan sidang pemerksaan lapangan bersama para Tergugat dan Penggugat pada Jumat, (9/11) bertempat di kawasan pertambangan PT Newmont dan Teluk Buyat.
PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH PT FREEPORT INDONESIA
DI PAPUA BARAT
Permasalahan Lingkungan
Dalam hal pencemaran dan perusakan Sungai Ajkwa, media pembuangan tailing PT. Freeport Indonesia telah menghasilkan limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) yang ditumpahkan Freeport dan telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang melampaui baku mutu total suspended solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum di Indonesia. Demikian pula audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, menemukan bahwa tailing dan batuan limbah Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam yang berbahaya bagi kehidupan akuatik. Bahkan sejumlah spesies akuatik sensitif di Sungai Ajkwa telah punah akibat tailing dan batuan limbah Freeport. Tiga tahun lalu WALHI telah menyampaikan hasil penelitiannya mengenai sebaran tailing PT. FI yang mencapai laut Arafura. PT.FI juga telah diajukan ke pengadilan oleh WALHI atas peristiwa jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon. Namun tidak ada tindakan hukum dari Pemerintah maupun perbaikan pengelolaan tailing oleh PT.Freeport Indonesia.
Pada tanggal 23 Maret 2006 tempatnya di mil 68 Kawasan Pertambangan Grasberg, Timika, Papua terjadio longsor yang mengakibatkan tiga orang tewas dan tiga puluh lainnya luka-luka. Hal ini menjadi bukti bahwa operasi pertambangan yang dilakukan oleh Freeport tidak aman dan mengakibatkan bencana longsor karena kerusakan lingkungan di sekitar daerah tambang.
Permasalahan Hukum
PT Freeport Indonesia sebaiknya menghentikan operasinya karena telah melakukan sejumlah pelanggaran hukum lingkungan. Contohnya:
1. PT Freport tidak memiliki izin pembuangan air asam tambang;
2. Jumlah padatan tersuspensi (TSS) yang dihasilkan dan dibuang ke sungai Ajkwa tidak memenuhi standar parameter TSS yang ditetapkan;
3. Belum mengantongi izin pembuangan limbah.
PT Freeport Indonesia telah melanggar beberapa ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 1997 Mengenai Pengelolaan Longkungan Hidup pasal 14, 15, 16, 17 mengenai Pelestarian Lingkungan Hidup dan dikenai pidana penjara paling lama delapan tahun denda paling banyak Rp 400.000.000,00.
PERUSAKAN PULAU SEBAIK, KARIMUN, RIAU
Permasalahan Lingkungan
Pulau Sebaik di Kabupaten Karimun, Riau sudah rusak parah, rtinya tidak hanya masalah pembabatan hutan yang rusak tetapi juga bio sistem mengalami kerusakan dan hampir rata dengan permukaan air akibat penambangan pasir darat.. Pasir darat itu kemudian akan diekspor ke Singapura. Pulau Sebaik kelihatannya gundul dan pepohonannya nyaris habis. Kerusakan pulau Sebaik tidak hanya berdampak pada lingkungan darat tetapi juga lingkungan laut.
Akibat kerusakan Pulau Sebaik hampir tenggelam sehingga perlu diperbaiki dengan cara reklamasi untuk mnencegah Pulau Sebaik dari kepunahan.
Permasalahan Hukum
Ada ketentuan hukum yang menyatakan bahwa pulau yang luasnya kurang dari 2.000 ha tidak boleh dieksploitasi, sementara luas Pulau Sebaik kurang dari 2.000 ha. Luas pulau Sebaik hanya sekitar 80 ha dan 70 ha ditambang pasir daratnya. Lahan 50 ha untuk penambangan dan 20 ha untuk infrastruktur, diantaranya tempat penimbunan, tempat pencucian pasir galian, dan penimbunan limbah galian.
Selain menimbulkan kerugian yang cukup besar akibat kerusakan yang sangat parah, PT Surya Cipta Rejeki, pengelola penambangan di Pulau Sebaik juga telah melanggar Keputusan Menteri (Kepmen) Departemen Perikanan dan Kelautan Nomor 18 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengawasan Pulau. Termasuk juga pelanggaran dalam hal Lingkungan Hidup sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000.
PERUSAKAN LINGKUNGAN DI KALIMANTAN SELATAN
Permasalahan Lingkungan
Di daerah perkotaan, seperti Banjarmasin, permasalahan pengelolaan lingkungan hidup semakin berkembang dan kompleks. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi menyebabkan meningkatnya permintaan akan ruang dan penggunaan sumber daya alam, yang pada gilirannya, mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam itu sendiri dan mengganggu keseimbangan lingkungan. Pertumbuhan kawasan kota yang begitu pesat tanpa dibarengi dengan penataan tata kota yang baik, menyebabkan semakin semrawutnya kota. Kawasan kumuh, drainase, sampah, polusi udara, rusaknya sungai, pencemaran air, merupakan momok bagi pengelolaan kota Banjarmasin yang sampai saat ini masih belum dapat diselesaikan dengan baik.
• Pengelolaan Sektor Tambang
Berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Selatan terkait kebijakan pengelolaan sektor tambang yaitu kasus pendangkalan sungai Asam-Asam Pelaihari akibat aktivitas penambangan batubara yang dilakukan oleh PT Jorong Barutama Greston; sejumlah warga Desa Batu Laki Kecamatan Padang Betung Kandangan mengeluh karena selama ini limbah bekas batubara yang turun ke Sungai Pangkulan mencemari sungai tersebut dan menyebabkan air menjadi keruh dan terasa asam dan kalat; pencemaran air laut dan pantai di sekitar lokasi tambang perusahaan PT Jorong Barutama Grenston yang sebenarnya dapat dibuktikan dengan adanya endapan debu batubara di pantai tersebut yang mengakibatkan warna air laut hitam.
Pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan, seperti debu, rembesan air asam tambang, dan limbah pencuciannya, terjadi hampir di semua lokasi pertambangan dan bahkan mencemari air/sungai yang dimanfaatkan oleh warga. Di Kotabaru, misalnya, ratusan warga Desa Gosong Panjang, Kecamatan Pulau Laut Barat, mempersoalkan pencemaran debu batubara yang ditimbulkan oleh kegiatan PT Indonesia Bulk Terminal (PT. IBT). Masyarakat minta tinjau ulang batas aman 529 meter hasil penelitian PPLH Unlam.
• Pengelolaan Sektor Kehutanan
Kerusakan hutan Kalimantan Selatan terus berlangsung, dari data Citra Lansat Departemen Kehutanan luas Areal Berhutan 987.041,14 Ha (2001) dan 935.900,00 (2002) hutan Kalimantan Selatan telah berkurang 51.141 Ha atau setiap harinya, kita kehilangan 140 ha luasan hutan atau 141 kali luas lapangan sepak bola. Dengan asumsi angka yang sama juga terjadi pada tahun 2003, maka luasan hutan yang tersisa berkisar 884.758,86 ha.
Fakta di lapangan kemungkinan menunjukkan angka yang lebih parah lagi, mengingat semakin maraknya praktek illegal logging dan penghancuran hutan oleh industri tambang. Kerusakan hutan ini akan terus berlangsung bahkan semakin parah mengingat kebutuhan industri kayu legal di Kalimantan Selatan 3.800.000 juta m3/tahun sementara kemampuan pasok hutan alam yang dianggap lestari versi Menhut 66.000 m3 (kebijakan kuota tebang) pada tahun 2003. Kebijakan Menhut tentu saja menimbulkan defisit kebutuhan kayu sebesar 3.734.000 m3/tahun. Jika seluruh kekurangan itu diambil dari hutan Kalimatan Selatan dengan asumsi 44 m3/ha (hutan kerapatan sedang), dapat dipastikan 10 tahun kita tidak memiliki hutan sedikit pun.
Kerusakan hutan juga diakibatkan oleh adanya aktivitas eksploitasi pertambangan, baik yang legal maupun yang ilegal. Banjir yang merupakan buah dari buruknya pengelolaan SDA hutan di Kalimantan Selatan, terjadi di hampir semua kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, ketika datang musim hujan bulan Desember 2003 lalu. Sedikitnya 3000 kepala keluarga mengamankan harta benda dan menyelamatkan ternak mereka. Dua buah jembatan rusak parah, ratusan hektar tanaman warga hancur, ribuan ekor ayam, dan puluhan ekor kambing warga mati terendam serta terbawa arus air. Banjir terjadi akibat hujan yang terus-menerus selama sepekan sehingga sungai Satui meluap dan menggenangi perkampungan. Ini bukti dari terjadinya kerusakan hutan di wilayah hulu yang mestinya berfungsi sebagai kawasan penyangga dan resapan air dan rusaknya kawasan hilir, seperti hutan rawa yang mestinya dapat berfungsi sebagai tandon air yang dapat menyerap air di musim hujan dan mengeluarkannya secara perlahan di musim kemarau. Selain itu, hal ini juga menunjukkan adanya perubahan iklim yang tidak menentu akibat terjadinya pemanasan global buah dari pencemaran udara dan hancurnya kawasan hutan yang juga berfungsi sebagai penyerap karbon.
Kebakaran Hutan dan Lahan, merupakan salah satu bentuk gambaran bagaimana buruknya pengelolaan lingkungan di Kalimantan Selatan.
Permasalahan Hukum
Pengelolaan lingkungan yang tidak baik di Kalimantan Selatan lebih diakibatkan oleh kurangnya penegakan hukum di wilayah tersebut. Kasus penambangan liar (illegal mining) yang mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan lebih diakibatkan oleh pemberian penguasaan kepada investor asing oleh Pemerintah Pusat, disamping belum adanya Peraturan Daerah yang melindungi kawasan hutan lindung yang agar tidak dilakukan penambangan karena bertentangan dengan UU Kehutanan No.41 tahun 1999.
Selain pengelolaan sektor pertambangan yang tidak baik, Kelimantan Selatan juga berhadapan dengan pengelolaan sektor kehutanan. Angka-angka illegal logging masih menunjukkan angka fantastis dan sangat meresahkan terutama pemerhati lingkungan hidup. Kasus pembalakan liar lebih diakibatkan kurangnya perhatian terhadap hutan baik oleh Pemerintah Daerah maupun pihak Kepolisian sendiri. Lemahnya penegakan hukum di bidang lingkungan dan keterlibatan aparat pemerintah dalam berbagai kasus pengelolaan Sumber daya alam (SDA) dan lingkungan semakin memperparah kondisi lingkungan di Kalimantan Selatan.
2 comments:
sekarang berbagai jurus para penghancur lingkungan buatkan seperti CSR,undang-undang,kegiatan sosial lainnya termasuk melobi ke para menteri dan pejabat negara. sekarang jurus yang ada dikutai timur mereka mensosialisasikan Amdal (Analisa Mengenai Lingkungan Hidup) yang hanya untuk memuluskan mereka untuk menghancurkan alam. bagaimanapun cara mereka memperbaiki alam tapi kalau cara kerja mereka tetap menggunakan sistem akumulasi modal tetap sama saja yang ada dampak dari penghancuran mereka seperti banjir
thanks banget buat artikel nya,
Post a Comment