Monday, December 29, 2008

Kasus Pembangunan Waduk Kedung Ombo, suatu Analisis!

Oleh: Kardoman Tumangger

A. LATAR BELAKANG

Ada dua tujuan utama hukum yaitu menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, hukum menjalankan beberapa fungsi yaitu hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan, hukum sebagai sarana pembangunan, hukum sebagai sarana penegak keadilan, dan hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan masyarakat. Antara keadilan dan kepastian hukum tidak dapat dipisahkan dan melekat secara erat layaknya dua keping sisi logam. Tetapi apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum maka salah satu tujuan tesebut akan diabaikan.
Hukum acara perdata atau hukum perdata formil adalah kesemuanya kaidah hukum yang menentukan danmengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil. Untuk mencapai tujuan hukum dari hukum perdata maka hukum acara perdata mutlak diperlukan. Hukum perdata berbeda sifatnya dengan hukum acara perdata yaitu hukum perdata bersifat mengatur sedangkan hukum acara perdata sifatnya memaksa. Sifat memaksa dari hukum acara perdata ini tidak dalam konteks hukum publik, tetapi sifat memaksa ini dalam konteks memaksa kepada para pihak apabila telah masuk pada suatu proses acara di pengadilan sebab apabila tidak ditaati maka akan merugikan kepada pihak yang berperkara.
Sumber hukum acara perdata hukum positif di Indonesia masih menggunakan produk hukum Belanda yaitu HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)/ RIB (Reglemen Indonesia Diperbaharui), Stb. 1941 No. 44 yang berlaku khusus untuk Jawa dan Madura dan R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten), Stb. 1927 No. 227 berlaku diluar Jawa dan Madura. Selain itu, beberapa ketentuan telah diatur dengan peraturan perundang-undang Indonesia pasca kemerdekaan. Disamping sumber hukum positif dikenal pula sumber hukum tambahan yaitu yurisprudensi MA, SEMA dan doktrin/ ajaran para sarjana terkemuka.
Bagi Indonesia yang menganut asas legalitas, undang-undang adalah sumber utama dalam menyelesaikan suatu perkara. Karena yang diatur di undang-undang adalah abstrak dan bersifat umum, maka hakim perlu melakukan penafsiran untuk menemukan dan membentuk hukum. Oleh karena itu, hakim diberi kewenangan terbatas untuk menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan untuk menerapkannya dalam keadaan yang konkrit. Penafsiran yang dilakukan oleh para hakim sebaiknya tidak melanggar asas-asas hukum dan rasa keadilan di hati masyarakat. Tetapi, apabila asas-asas hukum bertentangan dengan rasa keadilan dihati masyarakat, apakah hakim sudah tidak melaksanakan kewajibannya dalam mencari dan menemukan keadilan.

Dalam hukum acara perdata, diatur suatu asas yang membatasi hakim dalam memutus suatu perkara yang dituangkan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR yaitu: “Hakim itu wajib mengadili segala bahagian tuntutan.” dan “Ia dilarang akan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari apa yang dituntut.” Pasal ini menegaskan bahwa hakim tidak boleh memutus atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan perkara yang tidak dituntut. Dalam kasus Kedung Ombo yang Tim Penulis akan bahas, kita akan melihat bagaimana keadilan seorang hakim yang diakomodasi melaui ex aequo et bono akan bertentangan dengan ketentuan Pasal 178 (3) HIR ini. Kasus ini sangat menarik untuk dibahas karena ada berbagai ketimpangan dan cacat hukum dalam penyelesaian kasus ini, mulai dari gugatan, eksepsi, pembuktian, penemuan hukum sampai putusan yang telah sampai ke Mahkamah Agung. Dalam kasus ini, menggambarkan segolongan masyarakat miskin di daerah Kedung Ombo yang tidak mendapatkan keadilan dan tidak dianggap sebagai subjek hukum perdata. Ditambah lagi kasus ini telah dipolitisi oleh beberapa kalangan yang ingin mendapatkan keuntungan dari kasus ini. Akibatnya, sejak diputus mulai dari tingkat I di Pengadilan Negeri Semarang, tingkat II di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, tingkat III di kasasi Mahkamah Agung sampai upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, kesemua putusannya mengundang kontroversial. Dari segi hukum acara perdata sendiri, ada beberapa ketentuan yang disimpangi dan ada beberapa kaidah hukum yang ditemukan hakim.

B. KASUS POSISI

Pada tahun 1985 Pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 Megawatt dan dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektar sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo. Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989. Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989. Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Grobogan dan Boyolali. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.

Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Warga yang bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal ditengah-tengah genangan air.

Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hamman Ja’far, pengasuh pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi para warga yang masih bertahan di lokasi, dan membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak, serta membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya sudah menjadi danau.
Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991 dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan ini akhirnya sampai ke pengadilan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991 dan putusan Kasasi lebih memberi keadilan bagi rakyat, yang kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan No. 650.PK/Pdt/1994
Tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Sampai sekarang, kasus ini masih terkatung-katung karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan rasa keadilan dihati rakyat Kedung Ombo.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

Dalam kasus Kedung Ombo ini, ada banyak permasalahan yang dapat diidentifikasi dari segi asas-asas hukum perdata maupun dari segi asas-asas hukum acara perdatanya. Dari segi hukum perdata yang paling mengemuka untuk dibicarakan adalah mengenai ganti rugi, terutama mengenai tidak adanya kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi karena tidak adanya musyawarah yang mendudukkan pihak-pihak yang bersengketa sederajat sebagai subjek hukum perdata. Hal ini dapat kita ketahui karena pada saat itu, yaitu pada zaman Orde Baru, dimana Presiden Soeharto masih berkuasa, kedudukan penguasa sangatlah besar dan dapat bertindak sewenang-wenang. Akibatnya ada banyak rakyat diintimidasi, diteror atau dipaksa untuk menerima atau menandatangani segala sesuatu yang oleh sebagian besar rakyat Kedung Ombo tidak mengetahui mengenai permaslahan hukumnya. Akibatnya, meskipun sudah diputus oleh pengadilan dengan seadil-adilnya menurut pengadilan di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi dan bahkan Peninjauan Kembali, tetapi keadilan yang diembang oleh pengadilan tampaknya tidak dirasakan oleh masyarakat setempat. Itulah sebabnya, kasus ini tetap menjadi benang kusut yang harus diselesaikan dengan cara-cara yang damai dan lebih manusiawi. Selain itu, mengenai yang dimaksud dengan ganti rugi immateriil dalam hukum perdata apakah hanya yang disebutkan secara limitatif dalam Pasal 1370, 1371, 1372 Burgerlijk Wetboek (BW) atau apakah dapat ditafsirkan secara ektensif oleh hakim-hakim perdata.
Dari segi asas-asas hukum acara perdata, dikaitkan dengan kewenangan hakim dalam memutus suatu gugatan. Dalam suatu gugatan perdata, undang-undang menentukan isi dari sebuah gugatan yaitu identitas para pihak, posita (fundamentum petendi) dan petitum (Pasal 8 ayat (3) RV). Identitas para pihak harus dimuat secara jelas untuk menghindari terjadinya error in persona. Pada posita (fundamentum petendi) memuat gambaran yang jelas mengenai duduk persoalannya, dengan kata lain dasar gugatan harus dikemukan dengan jelas. Dalam petitum, harus lengkap dan jelas mengenai apa yang diinginkan/ diminta oleh penggugat agar diputuskan/ ditetapkan dan diperintahkan oleh hakim. Hakim dengan kewenangan yang dimiliki tidak diperkenankan memperbaiki, mengubah atau menambah dan mengurangi isi suatu petitum sesuai dengan yang diperintahkan undang-undang. Oleh karena itu, pihak penggugat harus betul-betul sudah memuat semua hal yang diinginkan agar diputus hakim. Hal ini berkaitan erat dengan ketentuan dalam hukum acara perdata yaitu Pasal 178 ayat (3) HIR yang menyebutkan: ““Ia dilarang akan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari apa yang dituntut.” Mengenai ketentuan ini hakim akan sulit apabila diperhadapkan dengan petitum dengan bunyi “minta keputusan hakim yang seadil-adilnya” atau dikenal dengan istilah ex aequo et bono.
Selain mengenai kewenangan hakim memutus gugatan, dalam kasus ini juga dipersoalkan mengenai pembuktian terutama mengenai beban pembuktian. Sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yaitu Pasal 163 HIR, bahwa “Barangsiapa mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantahi hak orang lain, haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu.” . Pada prinsipnya memang berlaku asas “barang siapa yang mendalilkan maka ialah yang harus membuktikan dalil itu”, tetapi pada praktiknya mengenai beban pembuktian tidaklah demikian. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai beban pembuktian ini, misalnya para pihak yang menderita lebih sedikitlah yang paling banyak dikenai pembuktian, atau pihak yang aktif melakukan perbuatan yang dikenai beban pembuktian. Dalam kasus ini, kebanyakan beban pembuktian dijatuhkan pada rakyat terutama mengenai hak kepemilikan tanah, bangunan, dan tanaman yang sifatnya turun-temurun. Selain itu, beban pembuktian mengenai perincian dan besarnya kerugian baik materiil maupun immateriil.

Demikianlah beberapa permasalahan yang menarik perhatian Tim Penulis untuk membahas kasus ini. Memang pada kenyataannya jarak antara teori dan praktik kadang-kadang sangat jauh. Apalagi, kalau dalam praktik telah dipengaruhi oleh faktor-faktor non-hukum lainnya maka kita sudah dapat membayangkan fungsi yang diemban hukum yaitu fungsi filosofis, fungsi yuridis, dan fungsi sosiologis hanyalah harapan semata.

D. PEMBAHASAN

Tim Penulis akan membahas kasus ini dengan menguraikan beberapa point penting dari putusan Kasasi dan putusan PK yang sudah memutus kasus Kedung Ombo ini. Sedangkan putusan Pengadilan Negeri Semarang dan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah yang membahas fakta hukumnya (judex factie) tidak akan terlalu dibahas mengingat bahwa yang ingin kita ketahui dari kasus ini adalah mengenai penerapan hukumnya (judex jurisch) yang adalah kewenangan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi di Indonesia.

PUTUSAN KASASI MA RI NO. 2263.K/PDT/1991
M E N G A D I L I
Mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon kasasi : 1. CITROREJO WACIMAN, 2. MARTOREJO YATNO, 3. KARYOREJO PAIDI, 4. PARMAN SOPAWIRO, 5. WITOREJO, 6. ATMO SOYO, 7. TOWIRONO SAPAR, 8. Ny. SUKIYEM WITOREJO, 9. Ny. RESO SEMITO KADIS, 10. KARTO NGADIMAN, 11. Ny.DJALAL alias DAMILAH, 12. POJOYO PACI (POJOYO), 13. PARTOWIKROMO WAKIYO, 14. ATMOREJO JAMAT, 15. Ny. SALIYAH DARMO SEMITO, 16. SUWARNO, 17. PAIMAN, 18. KUSAERI, 19. LADIYEM, 20. RONO PAWIROYADI, 21. G I M I N, 22. S U B I, 23. DARMO PARMHI, 24. TUKIMIN, 25. DARSONO, 26. SARWAN, 27. MULYONO, 28. SAKIMIN, 29.LADIYO, 30. B E J O, 31. SARMIN, 32. GITO GIMAN, 33. RUKIMIN, 34. Ny.WAKINEM, TERSEBUT.
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.143/Pdt/1991/PT.Smg. tanggal 19 April 1991 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990/PN.Smg. tanggal 20 Desember 1990.
MENGADILI SENDIRI :
• Mengabulkan gugatan para Penggugat seperti yang diuraikan diatas untuk sebagian.
• Menyatakan Tergugat I. PEMERINTAH R.I. qq MENTERI DALAM NEGERI RI.qq GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TENGAH dan tergugat II. PEMERINTAH R.I. qq MENTERI PEKERJAAN UMUM r.i. QQ DIREKTUR JENDERAL PANCAIRAN qq PIMPINAN PROYEK PENGEMBANGAN WILAYAH SUNGAI JRATUN SELUNA qq PIMPINAN WADUK KEDUNG OMBO, telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
• Menyatakan batal demi hukum :
1. Penetapan Consignatie No.430/cons/1988/PN.Boyolali tanggal 3 Desember 1988 atas nama Suyatno
2. Penetapan Consignatie No.444/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Karyorejo Paidi
3. Penetapan Consignatie No.599/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Karyorejo Pardi.
4. Penetapan Consignatie No.1655/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Resosemitosuli/B. Resosemito Darsih.
5. Penetapan Consignatie No.1588/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Darmironorejo/B.Resosemito.
6. Penetapan Consignatie No.598/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Sopawiro Parman
7. Penetapan Consignatie No.270/Cons/1989/PN.Bi. tanggal 3 Maret 1989 atas nama Parman Sopawiro CS 578.
8. Penetapan Consignatie No.1308/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Witirejo Moko.
9. Penetapan Consignatie No.272/Cons/1989/PN.Bi. tanggal 3 Maret 1989 atas nama Rono Dimejo/Admorejo Soyo CS 595.
10. Penetapan Consignatie No. 406/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Wongso Taruno Supangat.
11. Penetapan Consignatie No.1782/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Wongsotaruno.
12. Penetapan Consignatie No.1007/Cons 1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Pawirodiharjo.
13. Penetapan Consignatie No.1648/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Towirono Supar.
14. Penetapan Consignatie No.1016/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Resepawiro.
15. Penetapan Consignatie No. 437/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Towirono Supar.
16. Penetapan Consignatie No.1765/cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Kamsoronosemito/Sukiyemwitirejo.
17. Penetapan Consignatie No.1764/Cons/1988/PN.Bi tanggal 3 Desember 1988 atas nama B. Resosemito Kades.
18. Penetapan Consignatie No.1798/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B. Partodrono Jaliman.
19. Penetapan Consignatie No.603/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Partodrono Kaliman/Kartosemito Ngadiman.
20. Penetapan Consignatie No.1784/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Sowikromo.
21. Penetapan Consignatie No.196/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B. Partodronokaliman/Kartosemitongadiman.
22. Penetapan Consignatie No.560/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Todikromonadi/Ronokarsonadi.
23. Penetapan Consignatie No.1020/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Todikromomadi/Mitrorejoparji.
24. Penetapan Consignatie No. 564/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B. Jalal.
25. Penetapan Consignatie No. 602/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B.Jalal.
26. Penetapan Consignatie No.1485/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B. Jalal.
27. Penetapan Consignatie No.247/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Kamso Ronosemito.
28. Penetapan Consignatie No.1014/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Sowikromosadi.
29. Penetapan Consignatie No.750/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Sowikromosadi.
30. Penetapan Consignatie No.587/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Pajoyopagi.
31. Penetapan Consignatie No.1619/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Pajoyo alias Pagi.
32. Penetapan Consignatie No.245/Cons/1988PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Partodikromo.
33. Penetapan Consignatie No.890/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Partowikromo alias Wakiyo (KAS).
34. Penetapan Consignatie No.241/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B. Suliyah.
35. Penetapan Consignatie No.294/Cons/1988/Pn.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Pawirorejokardi/B. Resosemitosuli.
36. Penetapan Consignatie No.1659/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Pawirorejokardi/B. Resosemitosuli.
37. Penetapan Consignatie No.435/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Karsiyem.
38. Penetapan Consignatie No.439/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Suei Surodrono/Amat.
39. Penetapan Consignatie No.117/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Tirto Pawiro/Paimin.
40. Penetapan Consignatie No.1811/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Paimin.
41. Penetapan Consignatie No.1783/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Supoyo.
42. Penetapan Consignatie No.436/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Sarmin.
43. Penetapan Consignatie No.600/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Ciptoparji.
44. Penetapan Consignatie No.445/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Citrorejo Wagiman.
dengan segala akibat hukumnya.
• Menyatakan para Penggugat seperti yang diuraikan diatas (lihat halaman 129 amar) adalah pemilik sah atas tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman masing-masing sesuai dengan yang diuraikan diatas.
• Menghukum Tergugat 1 dan Tergugat 2 untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng :
a. yang timbul karena tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman-tanaman seperti yang diuraikan diatas yang telah ditenggelamkan (kerugian materiel) yaitu untuk tanah dan/atau bangunan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)/m2.
Sedangkan untuk tanaman-tanaman sebesar Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah)/m2 dengan catatan masing-masing Penggugat setelah mengecek kembali sesuai data luas tanah dan atau bangunan serta tanaman-tanaman pada waktu mengajukan permohonan eksekusi.

b. kerugian yang timbul yang bersifat immateriel yaitu sesuai dengan petitum secara ex aquo et bono sebesar Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
• Menyatakan para ahli waris agar diberi kesempatan untuk menentukan apakah pihak yang bersangkutan akan melanjutkan acara permohonan kasasi yaitu nama Todikromonadi.
• Menyatakan para Penggugat (19 orang) yaitu :
1. Ny. Resosemito Sali (semula Penggugat 4).
2. Ny. Wongso Taruno Supangat alias Kusmini (semula Penggugat 8).
3. Kamsorono Semito (semula Penggugat 15).
4. Partorejo Wahyo Paimin (semula Penggugat 16).
5. Ny. Sutinem binti Sowikromo (semula Penggugat 17).
6. Ny. Pawirorejo Karti (semula Penggugat 22).
7. Ny. Tjutji Surodrono (semula Penggugat 23).
8. Ny. Karsiyem (Karsiyem Suwarno) (semula Penggugat 24).
9. Ngatmin (semula Penggugat 31).
10. Sakimo (semula Penggugat 35).
11. Parnorejo (semula Penggugat 37).
12. Supiyo (semula Penggugat 38).
13. Parno (semula Penggugat 40).
14. Suyadi (semula Penggugat 41).
15. Saryono (semula Penggugat 43).
16. Suwoyo (semula Penggugat 45).
17. Rahyono (semula Penggugat 46).
18. Parno (semula Penggugat 49).
19. Cipto Parji (semula Penggugat 51).
Dinyatakan tidak dapat diterima.
• Menolak gugatan selebihnya.
Menghukum termohon kasasi/tergugat asal untuk membayar semua biaya perkara baik dalam tingkat pertama dan banding maupun dalam tingkat kasasi dan biaya perkara dalam tingkat kasasi ditetapkan sebanyak Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 28 Juli 1991 dengan Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang H.AM.Manrapi, SH. Dan R.L. Tobing SH. Sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri oleh H. AM. Manrapi, SH. Dan R.L. Tobing SH. Hakim-Hakim Anggota dan Sulaiman AF, SH. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

PUTUSAN PK MA RI NO. 650.PK/PDT/1994
• Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa Peninjauan Kembali (P.K) atas perkara kasasi Waduk Kedung Ombo ini, dalam putusan menilai bahwa putusan kasasi no. 2263.K/Pdt/1991 tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan dan selanjutnya Majelis Peninjauan Kembali akan mengadili sendiri perkara ini.
• Pendirian Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung ini didasari oleh alasan yuridis yang intisarinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
• Badan Peradilan, mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi, dalam putusannya tidak diperkenankan mengabulkan gugatan melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat. Bilamana hal ini dilanggar, maka putusan tersebut adalah bertentangan dengan Ketentuan ex pasal 178 (3) H.I.R dan juga pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985.
• Dalam gugatan Penggugat a.quo, petitumnya/tuntutannya disusun sbb:
a. Tuntutan primair atau
b. Tuntutan Subsidair,” ex aequo et bono”.
Hakim dalam menghadapi petitum yang demikian itu, maka sesuai dengan tertib Hukum Acara Perdata, bila Hakim ingin memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam tuntutan subsidairnya, maka Hakim tidak boleh mengabulkan tuntutan subsidair tersebut melebihi daripada isi tuntutan primairnya (ex pasal 178(3) H.I.R jo pasal 67 (C) Undang-undang no.14 tahun 1985).
• Merupakan jurisprudensi tetap Mahkamah Agung :
Dalam suatu gugatan perdata yang petitumnya terdiri dari Tuntutan Primair dan Subsidair (ex aequo et bono), maka untuk ketertiban hukum acara, seharusnya Hakim hanya memilih salah satu, yaitu : Apakah tuntutan primair ataukah tuntutan subsidair yang akan dikabulkan, bukannya Hakim menggunakan kebebasan yang diberikan oleh tuntutan subsidair untuk mengabulkan tuntutan primair, dengan mengisi kekurangan yang ada pada tuntutan primair. (Periksa Mahkamah Agung No.882.K/Sip/1974 tanggal 21 Maret 1976).
• Mengenai tuntutan “ganti rugi”, maka Mahkamah Agung telah menentukan dalam jurisprudensinya, (MA-RI No.495.K/Sip/1975) sbb :
“Tuntutan Ganti rugi, baru dapat dikabulkan, apabila Penuntut dapat membuktikan di persidangan tentang perincian adanya kerugian dan berapa besarnya kerugian tersebut.”
• Dalam kasus Waduk Kedung Ombo ini, Majelis Kasasi dalam putusannya, mengabulkan Ganti Rugi Immateriil. Pemberian ganti rugi immateriil ini, adalah bertentangan dengan hukum, karena :
- Tidak dituntut oleh Penggugat dalam surat gugatannya.
- Tidak ada bukti perincian adanya kerugian dan berapa besarnya kerugian yang diderita.
- Disamping itu juga tidak berdasar pada pasal 1370 - pasal 1371 dan - pasal 1372. B.W. yang menentukan bahwa ganti rugi immateriil itu, hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja sepert : kematian, luka berat dan penghinaan.
Kurang cukup dipertimbangkan (Onvoldoende gemotiveerd).
• Dalam putusan Majelis Kasasi salah satu amarnya :
“Menyatakan Batal Demi Hukum Surat Penetapan Consignatie ..... dst.” Amar putusan ini, ternyata tidak dituntut oleh pihak Penggugat. Disamping itu, pertimbangan hukum Majelis Kasasi tentang masalah consignatie dinilai tidak tepat, dengan alasan sebagai berikut :
- Consignatie dalam kasus ini dilakukan dalam rangka pembebasan tanah untuk kepentingan umum atas tanah warga desa, sehingga dapat diterapkan ketentuan consignatie dalam B.W dan R.V :
- Menurut Hukum Adat, Hak Milik Tanah mempunyai fungsi sosial. Bilamana Negara membutuhkan tanah untuk kepentingan umum, maka tanah hak milik tersebut harus diserahkan.
- Sesuai dengan PERMENDAGRI no.15 tahun 1975, warga desa yang tidak mau menerima uang ganti rugi yang telah ditetapkan Panitia, maka agar supaya proyek pembangunan tidak tertunda dan tidak terbengkalai, serta hangusnya anggaran negara yang telah disediakan untuk proyek tersebut, sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung RI No.578/1320/BB/II/UMTU/Pdt, maka uang ganti rugi tersebut dapat ditawarkan dan diconsignatiekan di Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan TAP MPR III/1993, dimana digariskan bahwa Hukum harus menunjang Pembangunan Nasional.
- Terhadap pemilik tanah yang tidak bersedia menerima uang ganti rugi yang telah diconsinagtiekan tersebut, maka menurut hukum, seharusnya pemohon consignatie melakukan langkah lanjutan berupa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap termohon consignatie, dengan tuntutan agar consignatie tersebut dinyatakan sah dan berharga. Putusan ini tunduk pada banding dan kasasi. Dalam kasus ini ternyata majelis kasasi memberikan putusan : menyatakan penetapan consignatie batal demi hukum. Putusan yang demikian ini tidak dapat dibenarkan.
• Pada saat gugatan kasus Kedung Ombo ini diperiksa ditingkat kasasi, telah terjadi perubahan peraturan yaitu PERMENDAGRI No. 15 Tahun 1975, diganti dengan KEPPRES No. 55 Tahun 1993. Berdasar atas azas “Lex posteriori derogat legi priori,” maka akan diterapkan ketentuan dalam KEPPRES No.55 Tahun 1993. Peraturan yang baru ini lebih menguntungkan, karena bilamana tidak tercapai kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah, harus diikuti acara ex pasal 21 KEPPRES 55 tahun 1993, dimana uang ganti rugi ditetapkan berdasarkan harga umum setempat, yang tentu harganya lebih tinggi daripada harga yang ditetapkan oleh Panitia Pembebasan Tanah menurut PERMENDAGRI no. 15 tahun 1975. Bilamana harga ganti rugi masih juga belum disetujui, maka dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi menurut Undang-undang No. 20 tahun 1961.
• Berdasar atas pertimbangan di atas, Majelis Peninjauan Kembali berpendapat bahwa dengan berlakunya KEPPRES no. 55 Tahun 1993, maka hendaknya ditempuh prosedur seperti tersebut diatas, sehingga gugatan ini dinyatakan tidak dapat diterima.
• Akhirnya Mahkamah Agung dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali, memberikan putusan sbb :

Mengadili
- Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali.
- Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Juli 1993 No. 2263.K/Pdt/1991.
Mengadili Sendiri :
Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima.

ANALISIS TIM PENULIS

Dari putusan PK MA tersebut dapat ditarik abstrak hukum yang dapat dijadikan kaidah hukum, yaitu:
a. Dalam gugatan perdata, maka Hakim tidak diperkenankan memberikan putusan yang melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat. Ex pasal 178(3) H.I.R. jo pasal 67(C) U.U. no. 14 Tahun 1985.
b. Petitum gugatan perdata yang terdiri dari tuntutan primair dan Subsidair (ex aequo et bono) maka Hakim hanya boleh memilih salah satu, yaitu mengabulkan primair atau subsidairnya. Hakim tidak dapat menggunakan kebebasan yang diberikan oleh tuntutan subsidair untuk mengabulkan tuntutan primair dalam mengisi kekurangan yang ada pada tuntutan primair-nya.
c. Tuntutan ganti rugi dalam gugat perdata, barulah dapat dikabulkan, bila si Penuntut dapat membuktikan dalam persidangan, Penuntut dapat membuktikan dalam persidangan, tentang perincian adanya kerugian dan berapa besarnya kerugian tersebut.
d. Ganti Rugi Immateriil, sesuai dengan dengan pasal 1370 - pasal 1371 dan pasal 1372 B.W. hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja, yaitu : kematian, luka berat dan penghinaan.
e. Dalam hal pembebasan tanah berdasar pada PERMENDAGRI no. 15 tahun 1975, bila ganti rugi ditolak oleh yang bersangkutan, maka uang tersebut dapat diconsignatiekan ke Pengadilan Negeri dengan alasan :
1. untuk mencegah tertundanya/terbengkalainya proyek pembangunan yang sudah ditetapkan.
2. untuk menghindari hangusnya uang proyek.
f. Hukum berfungsi menunjang pembangunan nasional.
g. Pada saat perkara sedang diperiksa, terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka hakim seharusnya memakai peraturan yang paling menguntungkan, sesuai dengan berlakunya asas: “Lex posteriori derogat legi priori”.
h. Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara dalam tingkat Peninjauan Kembali adalah bukan merupakan Peradilan Tingkat Keempat.

Dari uraian diatas, adapun yang ingin Tim Penulis kritisi adalah mengenai beban pembuktian yang dalam hal ini dibebankan kepada penggugat (rakyat Kedungpiring) berupa pembuktian mengenai perincian adanya kerugian dan besarnya kerugian. Dalam gugatan yang dilayangkan rakyat Kedungpiring yang dikuasakan kepada Puspoadji, S.H., adalah direktr dari LBH Semarang, telah memuat secara terperinci mengenai perincian adanya kerugian dan besarnya kerugian. Bahkan ditingkat kasasi, majelis kasasi sudah memuat dalam putusannya mengenai bentuk kerugian yang dialami masyarakat Kedungpiring. Adalah sangat mudah untuk memperlihatkan apa kerugian yang dialami dan berapa besar kerugian itu, misalnya bangunan, tanah dan tanaman yang ditenggelamkan pedahal musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi belum dicapai.

Selain itu, Tim Penulis juga merasa pemahaman kerugian immateriil oleh majelis PK sangatlah terlalu sempit dan limitatif karena didasarkan pada Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata) pada Pasal 1370, 1371, dan 1372 yaitu berupa kematian, luka berat dan penghinaan. Dalam pandangan Tim Penulis, bahwa kerugian tersebut hanyalah sebagian kecil dari bentuk-bentuk kerugian immateriil. Dengan demikian, penafsiran yang dipakai majelis PK untuk mengadili dan memutus perkara itu hanyalah penafsiran gramatikal saja. Menurut hemat Tim Penulis, kerugian immateriil dapat juga berbentuk tidak dapat beraktifitasnya seseorang bukan karena keinginannya maupun karena kelalaiannya misalnya pedagang tidak bisa berdagang, petani tidak bisa bekerja, anak-anak tidak bisa sekolah, stress atau depresi, rasa takut karena diteror dan diintimidasi, hilangya kesenangan yang seharusnya diraih, atau hal-hal lainnya akibat penenggelaman daerah Kedungpiring tersebut. Demikianlah seharusnya kita harus menafsirkan ketentuan dalam undang-undang tidak cukup dengan penafsiran gramatikal saja, kita juga dapat melakukan penafsiran ekstensif secara terbatas.

Pada asasnya upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan ekseskusi menurut Pasal 207 ayat (3) HIR j.o. Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Upaya hukum luar biasa ini yaitu perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial dan terhadap sita jaminan dan peninjauan kembali. Lembaga Peninjauan Kembali dalam hukum acara perdata sebelumnya tidak dikenal dalam HIR/RV, tetapi kemudian dalam UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 66 - Pasal 74. Dalam Pasal 67 disebutkan alasan-alasan mengajukan peninjauan kembali, yaitu:

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. Apanila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnyatelah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Berdasarkan bunyi Pasal 67 bagian c dan f, maka majelis hakim Peninjauan Kembali menerima permohonan PK dari Pemerintah RI c.q. Mendagri c.q. Gubernur Jateng dan Pemerintah RI c.q. Menteri PU c.q. Dirjen Pengairan c.q. Pimpro Waduk Kedung Ombo. Adalah memang kekeliruan majelis kasasi untuk mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut oleh penggugat, tetapi sangat disayangkan ganti rugi yang tidak sesuai dan tanpa musyawarah sepertinya kurang diperhatikan oleh hakim-hakim majelis PK tersebut. Itulah sebabnya mengapa hingga kini kasus itu seperti benang kusut yang belum dirapikan atau bahkan seperti duri di dalam daging bagi masyarakat yang merasa hak-haknya sama sekali tidak dilindungi bahkan dijajah oleh pemimpinnya sendiri.
Peninjauan kembali hanya dapat diajukan sekali saja. Oleh karena itu, pupus sudah harapan masyarakat Kedung Ombo untuk memperoleh hak-haknya sebagai pemilik sah dari tanah, tanaman dan bangunan yang ditenggelamkan akibat pengairan waduk tersebut. Apalagi, ganti rugi yang dititipkan ke PN Semarang yang dianggap sebagai bukti pengalihan hak milik tersbut tidak diambil oleh mereka. Sebenarnya masih ada satu upaya yang dapat ditempuh yaitu dengan mengajukan Gubernur Jateng ke PTUN sehingga yang diproses adalah perkara administrasinya. Hanya saja, mereka kelihatannya terlalu lelah dengan keadaan yang harus dihadapi.

KESIMPULAN


Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik, yaitu:
1. Apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, maka berdasarkan putusan PK MA RI tersebut dapat ditarik kesimpulan, maka kepastian hukum adalah prioritas meskipun dirasakan sangat tidak adil.
2. Dalam memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas hukum perdata maupun asas-asas hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.
3. Dalam menjatuhkan suatu putusan, hakim harus benar-benar menjaga indepensi dan kemandiriannya sehingga tidak menyebabkan keputusan yang diduga telah dipolitisi oleh sekelompok orang yang kurang manusiawi.

DAFTAR PUSTAKA


Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia.
Tresna, R. 2000. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita.
Subekti, R. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Pradnya Paramita.
http://www.id.wikipedia.com

1 comment:

David Pangemanan said...

PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen akan sangat dirugikan karenanya. "Perlawanan Pihak Ketiga" mungkin salah satu solusinya.
Permasalahannya, masihkah Anda mau perduli??

David
HP. (0274)9345675