Monday, August 06, 2012

Pulkam Trip – 5th Day (Silangkitang-Sidikalang)

Pagi-pagi sekali, suasana sudah hiruk pikuk. Tiga ponakanku sudah bersiap-siap berangkat sekolah. Sedikit malas, akupun terbangun dan mereka pamitan sambil kuberikan uang jajan. Akupun harus bersiap-siap karena hari ini akan kembali ke Sidikalang. Setelah makan pagi dan acara foto bersama, kami pun dijemput AKDP CKB yang akan mengantar kami ke Sidikalang. Karena keterbatasan waktulah, maka cutiku yang hanya seminggu aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mengunjungi saudara dan famili sebanyak-banyaknya. Meskipun kadang-kadang kunjungan hanya dalam hitungan jam.
Sesaat sebelum pulang ke Sidikalang

Jam dua siang kami sampai di Sidikalang. Aku langsung mandi karena aku tidak akan berani untuk mandi di sore hari di kota kopi yang terkenal sangat dingin ini. Kuambil handuk dan sabun kemudian ditemani Bonggi, anjing peliharaan kami, aku berlari ke sumur di belakang rumah, menuruni sisi-sisi jurang. Sumur yang kelihatan kotor dengan warna air kecoklatan ini adalah sumber air yang menghidupi aku dan keluarga, yang membesarkanku hingga SMA, sampai saat ini masih kami gunakan. 
Sumur yang menjadi sumber air bersih bagi keluargaku

Kami tidak mampu untuk berlangganan air dari PDAM. Kehidupan yang demikian sulit hingga saat ini masih dijalani oleh Ibuku beserta ponakanku Dewi, yang sedang menempuh pendidikan SMA disana, dan seorang anak kos yang tinggal di rumah kami. Tapi tidak pernah kusesali dan sampai saat ini pun aku belum bisa berbuat apa-apa untuk mengubah kondisi ini. Kunikmati tetes demi tetes air yang membasahi badanku yang memang bau dan warnya sangat berbeda dengan air yang biasa aku gunakan selama kuliah di Bandung atau sesudah bekerja di Jakarta.
Bonggi, anjing yang menjadi teman setia ke sumur
Sementara Ibu berangkat ke pasar, aku pun ingin berjalan-jalan di kota Sidikalang, kota tempat tinggalku hingga lulus SMA. Waktuku memang singkat dan tidak akan cukup untuk memotret seluruh bagian yang kuanggap penting dari kota ini, karena pada sore harinya aku akan berkunjung juga ke rumah Uda dan Inang Uda Simbolon di Basecamp III, Jl Runding, sekitar 2 kilometer dari rumah.  
Dewi (ponakan) & Mega (anak kos) di SMA N 2 Sidikalang
Kami terpaksa berjalan kaki pulang pergi karena angkutan memang sudah berhenti beroperasi di kota ini sejak jam enam sore. Mereka adalah orang yang paling berjasa dalam memberangkatkan aku kuliah ke Bandung. Tanpa jasa mereka, aku tidak akan pernah seperti sekarang ini. Mereka membelikan tiket pesawatku ke Jakarta, memberikan uang sekitar 2,5 juta untuk biaya hidup pertama kali di Bandung. Di Bandung juga aku tinggal di kos Bang Rico, anak sulung dari Uda dan Inang Uda ini, selama dua tahun sebelum akhirnya aku mandiri. Selama kuliah juga, aku juga sering mendapat bantuan dana dari mereka. Jadi waktu yang sangat singkat selama berada di Sidikalang tak akan kulewatkan begitu saja tanpa singgah ke rumah mereka.
*****
Minggu pagi, 29 Juli 2012, udara sangat cerah. Pagi-pagi sekali kami akan ziarah ke makam Ayahku. Setelah membawa air bersih dan alat untuk membersihkan makam, kamipun berangkat. Hanya sekitar 10 menit kami sudah tiba disana. Setelah kami membersihkan makam, berdoa, kamipun langsung pulang karena harus bersiap-siap untuk beribadah ke gereja yang hanya sekitar tiga ratus meter dari rumah. 
Ibu dan Aku di depan Makam Ayah
Sepanjang perjalanan aku melihat banyak sekali iring-iringan manusia yang menuju ke gereja. Tidak seperti di kota, nuansa hari Minggu disini terasa sekali, ada puluhan mungkin ratusan orang, yang didominasi kaum ibu dengan kebaya, berangkat ke gereja. Aku sendiri kurang paham, mengapa jumlah kaum Ibu yang ke gereja dua kali lebih banyak dari pada jumlah kaum bapak. Apakah ibadah ada kaitannya dengan gender? Ntahlah, mungkin perlu dilakukan suatu penelitian terhadap fenomena ini. Ibadah di gereja ini sama sekali tidak berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika aku beribadah terakhir kali disini. Ada koor Simatah Daging (kaum muda), Kaum Ibu (Gloria dan Perari Senen) dan Kaum Bapak (Mannen dan Haleluya).
Simatah Daging GKPPD Sukadame
Sepulang gereja, kami merencanakan akan mengunjungi ladang yang berjarak sekitar enam kilometer dari rumah. Ladang yang terletak di daerah perbatasan Kab. Dairi dan Kab. Pakpak Bharat ini dulunya sungguh terawat, ditanami berbagai macam tanaman buah, sayur dan palawija. 

Rombongan Menuju Ladang
Tapi itu adalah sekitar 4 tahun yang lalu. Ketika Ayah masih sehat dan tinggal di ladang untuk mengurus ladang. Ayah, semasa hidupnya, hanya berkumpul bersama kami di rumah, satu kali dalam seminggu, yaitu hari Minggu saja. Senin sampai Sabtu dihabiskan di ladang karena akan menghemat ongkos perjalanan. Baru saat ini terpikir olehku, apa yang terlintas dalam benak Ayahku, yang selama 6 hari sendiri di ladang dan hanya bertemu kami sehari dalam seminggu, itu pun karena akan ibadah Minggu. Itupun dilakukan dengan berjalan kaki sebelum akhirnya ada sepeda tua yang dapat dikayuh, hadiah dari seorang keluarga jauh kepada kami.
Berfoto dengan latar gubuk tempat tinggal Ayah (Alm) sehari-hari

No comments: