Monday, August 06, 2012

Pulkam Trip – 1st Day (Jakarta – Medan – Sidikalang)

Setelah genap satu tahun aku mengikuti program pendidikan untuk menjadi pekerja di salah satu BUMN terbesar di Indonesia, maka aku mendapat cuti pendidikan selama sekitar satu minggu, terhitung sejak 24 Juli-31 Agustus 2012. Kalau saja perusahaan tidak membayar biaya tiketku untuk cuti, maka aku tentu tidak akan pulang kampung (pulkam) mengingat ongkos yang cukup mahal. Meskipun tiket kembali ke Jakarta harus kubayar sendiri, namun kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Sedikit informasi, sejak meninggalkan kampung halaman pada bulan Agustus 2006 dan menempuh pendidikan tinggi di Bandung, aku belum pernah dan bertekad tidak akan kembali ke kampung halaman sebelum menjadi “orang”. Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain. Pada tanggal 23 Februari 2012 sekitar Pukul 22.00 WIB atau hanya beberapa jam menjelang hari kasih sayang, Tuhan menunjukkan kasih sayang kepada Ayahku dengan menjemputnya ke pangkuan-Nya di surga setelah berjuang melawan sakit yang dideritanya selama lebih dari dua tahun. Aku masih ingat betul ketika Ibuku berkata: “Doman, Ayahmu sudah pergi. Meskipun demikian kamu jangan berkecil hati ya kalau kamu tidak bisa melihat Ayahmu untuk terakhir kali, bukan karena apa, tetapi karena kita tidak ada uang untuk membeli tiketmu pulang kampung. Lanjutkan kuliahmu dengan semangat.” Dan aku pun hanya berpasrah.
Dengan mata basah, aku mengirim sms kepada salah seorang temanku yang juga telah ditinggalkan ayahnya sewaktu dia masih SMA, berharap mendapat penghiburan dan membagikan pengalaman hidupnya bagaimana cara mengatasi masalah seperti ini. Lagi-lagi Tuhan berperkara lain. Melalui uluran kasih dari teman-teman semuanya, akhirnya aku berangkat pulang kampung untuk melihat Ayahku untuk terakhir kalinya. Aku ingat betul, lagu Michael Bubble “Let Me Go Home” menjadi lagu kesukaanku berminggu-minggu sebelum Ayah Aku meninggal karena kerinduanku pada Ayah dan Ibu serta kampung halaman. Akan tetapi,  pada saat itu, lagu itu berubah menjadi lagu yang paling Aku benci.
Memang Tuhan tidak salah mengijinkanku pulang ke kampung halaman. Tetapi maksudku bukan dalam kondisi yang demikian. Akan tetapi, kembali lagi ke kodrat manusia yang hanya merencanakan tetapi Tuhan yang akan menentukan. Seminggu di kampung halaman bukanlah perkara yang mudah untuk kulewati. Empat hari kuhabiskan hanya melihat jasad Ayah yang belum dapat dimakamkan karena harus menunggu seluruh keluarga berkumpul. Sisa 2 hari, Aku habiskan untuk bersantai bersama Ibu ke Taman Wisata Iman, membuang rasa lelah, penat dan kesedihan sebelum kembali ke Bandung melanjutkan perjuangan menulis skripsi.
*****
Pesawat Garuda yang kutumpangi akhirnya melaju dengan gagah membelah udara.  Tak terasa aku telah berada di dalam pesawat hampir 2 jam. Sebelum mendarat, burung besi itu harus berhadapan dengan cuaca berawan di Kota Medan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan kecil pada badan pesawat. Kuperhatikan rumah-rumah dan jalan-jalan di kota itu yang semula sangat samar dan kecil lama-lama menjadi lebih jelas dan besar. Beberapa menit kemudian, pesawat mendarat dengan mulus. Setelah mengambil barang dari bagasi, kutelpon Ibuku yang sudah menantiku di rumah. Percakapan terbilang singkat. Aku hanya memberitahukan bahwa aku telah mendarat dengan selamat dan Ibu sangat bersyukur karena diliputi kekhawatiran karena cuaca buruk di kota kopi, Sidikalang. Aku menuju parkiran taxi dan sempat memesan. Namun tercengang dengan harga yang ditawarkan, aku putuskan naik becak menuju Stasiun Datra di daerah Padang Bulan, Medan. Sedikit informasi, meskipun Bandara Polonia telah menjadi bandara internasional, akan tetapi tidak sulit untuk menemukan becak di sekitar bandara. Setelah nego harga sejenak, akhirnya aku diantarkan ke stasiun (baca: pool kendaraan untuk luar kota).

Perjalanan menuju Sidikalang tidak mudah. Kursi mobil Datra L300 yang kutumpangi basah sehingga aku harus melindungi celana dengan map plastik. Untuk keluar kota Medan juga sulit diakibatkan oleh kemacetan yang memperlambat jalan kendaraan. Ntah sejak kapan Medan menjadi sangat macet seperti ini. Perjalanan makin lambat ketika Datra tersebut berhenti untuk memperbaiki bagian sound system yang rusak. Tetapi ini bukanlah akhir dari penderitaan ini. Cuaca kota Medan yang sangat panas, ditambah beberapa penumpang yang merokok, macet, dan sikap supir yang ugal-ugalan, menghantar kami pada tabrakan kecil dengan sepeda motor yang dikendarai oleh seorang ibu dan ditumpangi oleh dua anaknya. Setelah keluar kota Medan, tabrakan maut hampir terjadi dengan mobil antar kota dalam provinsi (AKDP) lainnya di daerah Bandar Baru. Dan akhir dari semua ini adalah, Datra yang kami tumpangi terperosok ke dalam lobang yang sedang dipersiapkan untuk kabel FO di daerah Aek Popo.
Alhasil, mobil pun berhenti dan kami semua hampir lupa menarik napas. Diluar hujan sangat deras dan udara dingin yang sangat menusuk karena kami sedang berada di daerah pegunungan. Dengan berat hati semua penumpang harus turun dari kendaraan dan menunggu supir berjuang seorang diri mengeluarkan mobil dari galian. Setelah hampir setengah jam usahanya tidak membuahkan hasil, akhirnya kami dititipkan ke mobil yang lewat untuk diantar ke restoran dan menunggu disana. Satu setengah jam berlalu, sang supir datang ke restoran dan hendak mengantar kami ke Sidikalang. Akan tetapi semua penumpang kecewa dan minta supir pengganti. Singkat cerita, dengan supir pengganti, kami tiba dengan selamat di Sidikalang 3 jam lebih lama dari yang seharusnya. Ibuku sudah menunggu dan langsung memelukku erat kemudian menggiring aku ke perapian untuk menghangatkan tubuh.

No comments: